Selain hilirisasi nikel, bisnis perdagangan karbon adalah bentuk ekonomi hijau Presiden Joko Widodo. Bisnis ini dinilai mampu meraup keuntungan yang besar untuk Indonesia. Akan tetapi, sejumlah pihak melayangkan kritik terhadap keseriusan pemerintah dalam menangani isu lingkungan.
“I hate imperialism. I detest colonialism. And I fear the consequences of their last bitter struggle for life.” ― Soekarno, To Build The World a New (1957)
Pada bulan Juni lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK) Siti Nurbaya mengadakan pertemuan virtual dengan petinggi Bank Dunia. Dalam pertemuan tersebut, pihak Bank Dunia mantap menyatakan dukungannya terhadap proyek perdagangan karbon di Indonesia.
Beberapa pihak memang menyebut perdagangan karbon memiliki potensi pendapatan yang cukup besar bagi Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, pernah menyebutkan bahwa, dengan cadangan karbon sekitar 75%-80%, Indonesia dapat menguasai perdagangan karbon dunia.
Adapun isu lingkungan dan ekonomi hijau (green economy) sudah sering disinggung Jokowi dalam beberapa kesempatan. Ekonomi hijau secara sederhana dapat diartikan sebagai salah satu model pendekatan ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan diharapkan mampu mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) beberapa kali menekankan bahwa pemerintah akan mulai berfokus pada ekonomi hijau dengan menjalankan hilirisasi industri nikel. Bijih nikel adalah sumber bahan baku dari baterai ion litium yang dapat digunakan untuk mobil listrik masa depan yang ramah lingkungan. Salah satu upaya yang memperlihatkan keseriusan Jokowi adalah larangan yang diberlakukan dalam ekspor bijih nikel.
Selain fokus pada hilirisasi nikel, Jokowi dengan konsep ekonomi hijaunya juga sedang menyusun peraturan terkait perdagangan karbon. Seperti diketahui, praktik jual-beli sertifikat emisi karbon juga dinilai mampu mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat industrialisasi.
Secara sederhana, dalam praktik perdagangan karbon, negara-negara atau industri maju dapat membeli sertifikat atau membayar kerusakan lingkungan akibat asap karbon dioksida (CO2) yang dihasilkannya. Dengan demikian, tujuan dari perdagangan karbon adalah untuk mengurangi emisi karbon dan dampak dari perubahan iklim.
Skema perdagangan karbon umumnya dibedakan menjadi beberapa jenis, seperti cap and trade, offset, dan Clean Development Mechanism (CDM). Cap and trade dan offset masuk dalam pasar karbon jenis wajib, sedangkan CDM masuk ke pasar karbon jenis sukarela.
Baca Juga: Nikel sebagai Bargaining Power Jokowi?
Dalam cap and trade, negara atau perusahaan memiliki kewajiban menurunkan emisi hingga mencapai batasan (cap) atau kuota yang telah ditetapkan. Jika emisinya di bawah cap, maka negara atau perusahaan tersebut dapat menjual trade sisa kuota emisinya ke negara atau perusahaan lain. Jika emisinya di atas batasan, negara atau perusahaan tersebut wajib mengurangi (offset) emisi karbon sebesar sesuai batasan yang berlaku.
Sementara, CDM adalah skema yang dilakukan negara maju dengan cara membuat proyek ramah lingkungan di negara berkembang yang memiliki hutan luas. Dalam CDM setiap proyek harus menghasilkan sesuatu yang positif terhadap pembangunan berkelanjutan di negara tempat proyek berada. Lalu, hasil penurunan emisi dari proyek tersebut diverifikasi agar kredit karbon terbit. Kredit karbon yang disebut Certified Emission Reduction (CER) inilah yang nantinya akan diperjualbelikan.
Skema CDM tersebut sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 2005. Di Indonesia, CDM dilakukan dengan mekanisme offset. Dari sana, pihak pembeli memperoleh kredit Certified Emission Reduction (CER) dari proyek CDM. Akan tetapi, praktik CDM selama ini hanya dinikmati oleh pihak luar Indonesia.
Sementara itu, pada Maret 2021 lalu, pemerintah Indonesia mengadakan uji coba skema cap and trade. Uji coba tersebut dilaksanakan di 80 pembangkit listrik tenaga uap milik PLN dan produsen listrik swasta. Meskipun belum ada peraturan yang jelas, sejumlah pihak menilai ini langkah yang berani dan menunjukkan keseriusan dari pemerintah terkait perdagangan karbon di Indonesia.
Namun, bukan tidak mungkin, dukungan Bank Dunia di balik perdagangan karbon ini bisa menguntungkan sejumlah pihak tertentu. Mungkinkah ada pihak yang berkepentingan di balik dukungan Bank Dunia tersebut? Lantas, apa konsekuensi lanjutan dari kebijakan perdagangan karbon ini?
Bayang-bayang AS dan Tiongkok?
Terkait hal tersebut, Direktur Utama Riset Bank of America Haim Israel pernah mengatakan bahwa “perang iklim” akan menjadi strategi dalam perang dagang dan perang teknologi antara Washington dan Beijing. Ia juga berpendapat perubahan iklim dan isu lingkungan akan menjadi tema ekonomi dan politik yang mendominasi di dekade mendatang.
Artinya, isu lingkungan isinya bukan hanya tentang menyelamatkan planet Bumi ini. Akan tetapi, bisnis lingkungan (termasuk perdagangan emisi karbon) dapat membuka jalan ke supremasi global.
Presiden AS Joe Biden dalam berbagai konferensi pers dan pertemuan sering mengungkapkan keseriusannya di isu lingkungan dan perubahan iklim. Sebelumnya, isu ini sempat ditinggalkan AS sewaktu Donald Trump masih menjabat menjadi presiden.
Beberapa pihak menyebut kampanye-kampanye Biden terkait isu lingkungan adalah upayanya untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari negara-negara Eropa. Sebab, Eropa memiliki politik hijau(green politics) yang kuat dan isu-isu lingkungan berhembus dengan kencang.
Baca Juga: Mungkinkah Jokowi Dorong Partai Hijau?
Jika dilihat sekilas, memang hilirisasi nikel dan perdagangan karbon akan memberikan untuk besar bagi Indonesia. Namun, di balik itu skema bisnis kapitalisme hijau berkedok ekonomi hijau tersebut, selalu ada yang menjadi korban. Korbannya adalah lingkungan dan masyarakat maupun masyarakat adat yang tinggal di sekitar lokasi bisnis kapitalisme hijau.
Perusahaan-perusahaan besar seperti Shell, Gazprom, dan Clinton Foundation sudah mulai mendanai sebuah proyek restorasi ekologi karbon di hutan Kalimantan. Banyak pihak yang menilai ini adalah upaya perusahaan-perusahaan tersebut mencuci dosa karena telah bertahun-tahun merusak lingkungan.
Yang ajaibnya lagi, di satu sisi, lahan hutan restorasi ekologi tersebut sempat terbakar karena imbas dari perusahaan sawit yang produknya dijual ke Unilever, Kraft, dan Pepsi. Memang, di Indonesia sendiri, kasus-kasus kerusakan lingkungan dan masyarakat sekitar yang diakibatkan perusahaan-perusahaan besar sangat marak terjadi. Dan perusahaan-perusahaan pertambangan, seperti batu bara dan nikel, tidak sedikit yang menjadi pelakunya.
Bukan hanya mencuci dosa dan merusak lingkungan, bentuk dari kolonialisme hijau lainnya adalah negara-negara maju berani mendikte (dengan alasan membantu) negara-negara berkembang tentang bagaimana menjalankan sistem ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Bank Dunia, misalnya, berkomitmen untuk membantu negara-negara dalam mempersiapkan, merencanakan, dan mengimplementasikan penetapan tarif harga karbon. Bank Dunia juga mengatakan bahwa mereka juga bisa turut berperan dalam penyusunan kebijakan yang katanya tidak akan memberatkan negara-negara berkembang. Ini patut dicurigai, bukan?
Lain halnya dengan Uni Eropa (UE). UE beberapa kali pernah berseteru dengan Indonesia terkait perdagangan yang ada kaitannya dengan isu lingkungan ini. UE menolak sawit-sawit Indonesia dengan alasan perkebunan sawit tidak ramah lingkungan. Mungkin alasan ini benar adanya, sebab faktanya memang seperti itu. Akan tetapi, UE malah marah ketika Indonesia melarang melakukan ekspor nikel.
Bentuk penjajahan baru ini bisa jadi sedang terjadi, di mana negara maju yang berinvestasi di proyek-proyek ramah lingkungan di Indonesia, mendikte tentang bagaimana Indonesia memelihara dan menjaga tanah dan kekayaan alamnya sendiri. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya penyebab perubahan iklim di dunia juga adalah negara-negara maju.
Belum lagi, dengan adanya rezim perdagangan karbon, negara-negara berkembang seperti Indonesia bisa saja semakin terkekang dalam hal pembangunan ekonomi. Pasalnya, bila izin emisi karbon negara berkembang telah dibeli, pembukaan industri baru yang membutuhkan emisi karbon bisa saja terhambat dengan adanya mekanisme tersebut.
Pada intinya, meski secara finansial perdagangan karbon dapat menguntungkan Indonesia, konsekuensi-konsekuensi ke depannya juga bisa menghambat dan membayangi negara itu sendiri. Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi juga perlu memikirkan berbagai pertimbangan bila perdagangan karbon ini diberlakukan. (R73)
Baca Juga: Menguak Siasat Kapitalisme Hijau Jokowi