Polemik Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, bergulir menjadi perdebatan sejarah. Seolah sejarah yang dituliskan tentang Serangan Umum Satu Maret yang menjadi landasan peristiwa Keppres tersebut belum final. Lantas, mungkinkah perdebatan tersebut muncul karena indikasi bahwa peristiwa sejarah dibuat abu-abu oleh penguasa?
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Februari 2022, tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menjadi polemik dikarenakan tidak mencantumkan nama Presiden Soeharto, terkait peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Seperti yang kita tahu, sosok Soeharto dinilai memiliki peranan penting dalam peristiwa Serangan Umum Satu Maret (SUSM) tahun 1949 di Yogyakarta. Beralasan, jika beberapa pihak mengajukan pertanyaan tentang keberadaan nama Presiden Soeharto yang tidak disebutkan dalam Keppres.
Sedangkan, dalam Keppres tersebut dicantumkan sejumlah nama tokoh yang berperan dalam peristiwa saat agresi Belanda II tersebut. Yakni Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Menko Polhukam Mahfud MD pasang badan dengan menyebut Keppres bukan buku sejarah. Meski Mahfud menjamin nama Soeharto tidak hilang dalam catatan sejarah, khususnya peristiwa SUSM, tapi polemik terlanjur bergulir dan ditanggapi oleh ahli sejarah.
Sejarawan Bonnie Triyana, mengatakan, bahwa saat peristiwa SUSM, komunikasi antara pimpinan Indonesia sangat baik dan didasarkan pada semangat bersatu tanpa ada saling ego komunikasi. Setiap tokoh memiliki perannya masing-masing tanpa ada sentralisasi salah satu pihak.
Bonnie ingin menggambarkan bahwa dalam peristiwa sejarah semua tokoh punya peran masing-masing yang harus dilihat. Hal ini penting untuk memberikan jawaban atas keresahan banyak pihak yang melihat sejarah tidak sentralistik dan bukan hanya milik penguasa yang sedang berkuasa.
Pakar psikologi politik Andik Matulessy, mengatakan sejarah selalu ditulis oleh penguasa dan pemenang. Meskipun demikian, dalam konteks Keppres yang disinggung di atas, Andik menyarankan agar dapat memberikan penjelasan yang objektif terkait peniadaan nama Soeharto.
Polemik ini menjadi trigger untuk membaca ulang sejarah, khususnya peristiwa SUSM. Lantas, sebenarnya seperti apa peristiwa SUSM itu terjadi, dan bagaimana kita dapat menarik benang merah dari peristiwa tersebut?
Sejarah Nafas Eksistensi Bangsa
T. B. Simatupang dalam bukunya Laporan Dari Banaran, Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan, mengisahkan pengalamannya dalam perjalanan perang gerilya melawan Belanda. Buku ini disusun dari awal Agresi Militer II terjadi hingga klimaksnya adalah kembalinya Jenderal Soedirman ke Yogyakarta.
Simatupang menceritakan gagasan serangan di Yogyakarta diinisiasi oleh Kolonel Bambang Sugeng yang menjadi komandan divisi yang membawahi Yogyakarta dan sekitarnya. Kolonel Bambang Sugeng menemui Simatupang sebagai komandannya pada 28 Februari 1949 dan memberikan isyarat penyerangan atas daerah yang diduduki oleh Belanda.
Dipilihlah Yogyakarta sebagai lokasi serangan umum dikarena Yogyakarta saat itu berstatus sebagai ibu kota Indonesia. Saat itu Belanda juga terus melakukan propaganda terhadap Indonesia dengan mengasingkan presiden, wakil presiden, dan sejumlah menteri. Menurut Simatupang, serangan itu sangat disetujui karena akan memberikan dampak diplomasi.
Selain itu, peran-peran penting tokoh lain juga perlu dicatat dalam peristiwa SUSM, seperti Ahmad Yani, Slamet Riyadi dan Gatot Subroto yang saat SUSM bertugas untuk menghalau bantuan Belanda untuk masuk ke kota Yogyakarta.
Tapi peran tokoh yang lain seolah tidak terekam dalam peristiwa tersebut, seolah hanya ingin memperlihatkan satu sosok yang sangat berperan dalam SUSM. Hal ini diperkuat pula oleh akses referensi masyarakat yang pada saat itu masih sedikit.
Akibatnya, ingatan masyarakat akan terkesan tersentralisasi terhadap satu sosok saja. Ditambah lagi dengan adanya film Janur Kuning yang memperlihatkan peran Soeharto begitu dominan. Sehingga ingatan kolektif akan tertuju kepada Soeharto, dan jika muncul sosok lain, seolah ingatan kolektif ini diuji dengan sosok tersebut.
Film Janur Kuning menggambarkan Soeharto sebagai inisiator SUSM. Jenderal Soedirman digambarkan sebagai pemimpin besar yang selalu meminta pendapat Soeharto. Sedangkan peran politik Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai penguasa Yogyakarta dikesampingkan begitu saja.
Budi Irawanto dalam bukunya Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer Dalam Sinema Indonesia, mengungkap bahwa tema perjuangan dan heroisme militer sangat menonjol dalam film-film propaganda, sedangkan peran sipil dikerdilkan. Sejarah SUSM punya puzzle yang terpencar, perlu penyatuan keterpisahan puzzle sejarah, seperti melihat peran masing-masing tokoh secara holistik.
Sobana Hardjasaputra dalam tulisannya Sejarah dan Pembangunan Bangsa, mengatakan sejarah mencakup trimatra (tiga dimensi waktu), yaitu past, present, future, karena sejarah merupakan proses kausalitas yang berkesinambungan. Sejarah penting untuk dipahami secara baik dan benar sebagai bahan pembelajaran dalam proses pembangunan bangsa.
Polemik ini menggambarkan secara terang bahwa dalam sejarah ada puzzle yang hilang atau mungkin disembunyikan, dan ini berhubungan dengan kekuasaan yang menaunginya. Lantas, seperti apa upaya untuk membuat puzzle sejarah seolah selalu berada di grey zone?
Mengembalikan Puzzle Sejarah
History has been written by the victors. Sejarah ditulis oleh para pemenang. Adagium yang konon pertama kali dikemukakan oleh Winston Churchill tersebut, seolah mengobarkan skeptisisme radikal terhadap tulisan-tulisan sejarah yang mayoritas diakui reliabel.
Jika diteliti lebih dalam, terdapat dua paradigma yang muncul dari adagium tersebut. Pertama, terdapat bias yang amat disengaja dalam tulisan-tulisan yang mewakili para “pemenang”, dan dengan demikian tulisan-tulisan sejarah tidak mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Kedua, kita sebagai pembaca sejarah perlu berada pula di pihak para losers untuk mendapatkan sudut pandang historis yang lebih murni.
Daniel Woolf dalam bukunya New Dictionary of the History of Idea, menyimpulkan bahwa memang ada hubungan yang sangat dekat antara pengaruh para penguasa dengan penulisan sejarah. Tetapi, penulisan sejarah tidak selalu dilakukan oleh para pemenang.
Dikarenakan kemajuan teknologi dan banyaknya akses referensi terhadap arsip dan bukti-bukti sejarah lainnya, berbagai sudut pandang dapat menjadi landasan dalam upaya untuk menulis sejarah. Tentunya upaya ini untuk mendekati objektivitas dari kebenaran sejarah.
Sejarah memang tak pernah utuh dan selalu ada fragmen-fragmen yang hilang, bahkan diganti dengan apa yang penulis inginkan. Sejarah itu realitas di masa lalu, di dalamnya tentu ada kejadian-kejadian yang begitu similar dengan masa sekarang, sehingga sering terjadi kesalahan yang tidak disengaja dalam menuliskan sejarah.
Filsuf Albert Camus, mengatakan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada realitas, untuk kemudian ditulis atau diceritakan, maka ia sedang melakukan penghitungan pada sesuatu yang tanpa batas. Dengan kata lain, kita harus bisa menceritakan setiap sudut tanpa melewatkan sedikitpun setiap titik dari tiap kejadian dalam realitas tersebut.
Sejarah memang takkan pernah utuh dan selalu akan ada yang terlupa dan dilupakan. Namun, pada titik tertentu, sejarah yang bisa kita katakan sebagai simbol ketidakutuhan justru akan mampu menjadi satu pemantik bagi bangsa kita untuk tetap berpikir kritis dan selalu mencari apa itu kebenaran dari sebuah peristiwa sejarah.
Sehingga perlu adanya bantuan seluruh elemen masyarakat untuk berperan memberikan perhatian terhadap puzzle sejarah yang tercecer agar ditemukan kembali. Usaha ini yang akan membuat sejarah nantinya sulit untuk ditentukan oleh penguasa, disebabkan terkontrol. Karena sejarah seharusnya dituliskan secara utuh dan apa adanya.(I76)