PinterPolitik.com
[dropcap size=big]M[/dropcap]inggu, 7 Desember 2014, sekitar pukul 11 malam Jaodah (55), seorang penganut ajaran Sapto Darmo, menghembuskan nafas terakhirnya. Rakyo, saudara Jaodah, segera pergi mencari tempat pemakaman yang layak bagi jenazah Jaodah yang meninggal lantaran sakit itu. Rencananya Rakyo beserta segenap keluarga akan menguburkan jenazah Jaodah di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Siandong.
Sekitar pukul 05.30 pagi Rakyo mendatangi kediaman Lurah Desa Siandong Taufik HS. Pak Lurah belum bisa ditemui karena masih tidur. Rakyo lantas pergi ke Kepala Kesra Desa Siandong. Sesampainya di sana Kepala Kesra menyuruh Rakyo untuk meminta izin ke Lurah.
Rakyo akhirnya memutuskan untuk menunggu Lurah.
Lurah yang dinanti Rakyo malah memberi kabar buruk bagi Rakyo. “Setelah bertemu pak lurah, pak lurah tidak memperbolehkan saya memakamkan ibu Jaodah di kuburan desa [TPU Siandong], karena saudara saya ini memeluk Sapto Darmo,” ujar Rakyo, seperti terlansir dalam elsaonline.com.
Setelah meminta penjelasan dari Lurah Taufik HS, Rakyo mengetahui, larangan penguburan jenazah Jaodah di TPU Siandong muncul atas permintaan tokoh Islam setempat, Kiai Haji Fahruri. Pak kiai melarang pemeluk agama selain Islam dimakamkan di tempat pemakaman umum itu.
Rakyo merundingkan larangan penguburan ini pada Darto, suami Jaodah. Mereka akhirnya sepakat untuk menguburkan jenazah Jaodah di pekarangan rumah.
Pengalaman pahit juga menimpa penganut Sapto Darmo lainnya di Brebes. Carlim (47), penganut ajaran Sapto Darmo yang tinggal di Desa Cikandang, Kabupaten Brebes, sempat kesulitan mendaftarkan anaknya masuk sekolah tingkat dasar. Ketika di sekolah, pun anaknya dipaksa harus mengikuti mata pelajaran dan ajaran pendidikan Agama Islam. Tentu ajaran tersebut tidak sesuai dengan ajaran Sapto Darmo.
Di tempat tinggal Carlim dan Rakyo di Kabupaten Brebes, saat ini jumlah penganut Sapto Darmo mencapai 192 orang. Dahulu, pengikutnya pernah mencapai ratusan ribu. Namun sejak 1965, karena tekanan politik penganut kepercayaan ini merosot cepat dan hanya dipraktekkan diam-diam.
Memasuki milenium baru, keadaan sedikit berubah. Semenjak reformasi ’98, penghayat kepercayaan mulai menampakkan identitasnya secara kultural melalui perayaan keagamaan dan pelaksanaaan ritual secara terbuka. Namun demikian, secara struktural, untuk urusan KTP misalnya, penghayat kepercayaan masih mengalami diskriminasi. Pasalnya, penghayat kepercayaan tidak dapat mencantumkan nama agamanya di KTP. Sebagian dari mereka memilih mencantumkan salah satu dari enam agama “resmi” yang diakui pemerintah: Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Islam, atau Konghucu. Sebagian lainnya memilih mengosongkan kolom agama.
Ihwal diskriminatif ini lah yang mendorong Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Adminduk 2006.
Dalam judicial review ini pemohon mempermasalahkan pengosongan kolom kepercayaan di KTP dan Kartu Keluarga (KK) yang terlegitimasi lewat kedua UU tersebut. Dalam Pasal 61 ayat (1) UU No 23 Tahun 2006 misalnya, disebutkan, KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.
Sementara pada ayat (2) pasal dan UU yang sama disebutkan, keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Pengosongan kolom agama ini pun kembali terlegitimasi untuk KTP elektronik (KTP-el). Dalam pasal 64 ayat (1) UU No 24 Tahun 2013 disebutkan, KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.
Sementara ayat (5) pasal dan UU yang sama disebutkan, elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Bagi para pemohon, seperti terlansir dalam berkas pemohon nomor 97/PUU-XIV/2016, pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum, utamanya dengan pasal 1 ayat (3), pasal 27 ayat (1), dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Meskipun hanya sebatas sebuah kolom di selembar kertas, pengosongan kolom agama pada KTP rawan mengakibatkan para penghayat kepercayaan, sebagai warga negara, tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta seluruh layanannya.
Penghayat Kepercayaan, dan Politik Rekognisi
Sidang judicial review ini sudah digelar enam kali sebelumnya. Pada sidang yang ketujuh ini, pemohon menghadirkan seorang dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Dr. Samsul Maarif sebagai saksi ahli.
Di hadapan 9 hakim konstitusi, Samsul menguraikan hubungan negara, agama, dan kepercayaan yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah politik Indonesia. “Sejarah relasi negara, agama, dan kepercayaan senantiasa berada dalam konteks politik rekognisi,” ujar Samsul.
Menurut Samsul, politik rekognisi adalah upaya politik oleh kelompok warga negara tertentu dengan menggunakan agama sebagai alat legitimasi kuasa, sekaligus bentuk tekanan dan kontrol terhadap kelompok warga negara lain – dalam konteks ini adalah penghayat kepercayaan. Politik tersebut dilakukan melalui mobilisasi dan tekanan publik atas nama identitas agama mayoritas. Negara yang diinfiltrasi politik rekognisi pada gilirannya mengeluarkan perundang-undangan atas nama politik agama pembeda warga negara. Pembedaan ini akhirnya menentukan mana mereka yang dapat dilayani dan yang tidak dapat dilayani.
Samsul menunjukkan fakta sosiologis sebagai pertimbangan. “[Di era Orde Lama] sudah muncul banyak kelompok yang waktu itu disebut dengan kelompok kebatinan. Bahkan [mereka] membentuk organisasi Badan Koordinasi Kebatinan (BKKI) yang melakukan hampir setiap tahun kongres. Yang hadir sampai jutaan,” ujar Samsul. Namun, pada tahun 1965, terbit UU Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (PNPS). UU ini, menurut Samsul, adalah upaya untuk mensucikan agama dalam pengertian bahwa agama itu tidak boleh dicemari, harus murni, atau bersih dari campuran apapun.
Masih di tahun yang sama, peristiwa 30 September 1965 berpengaruh besar bagi banyak penghayat kepercayaan. Ungkap Samsul, “Peristiwa 30 September menjadi momen, menjadi cerita suram bagi banyak penghayat kepercayaan. Gerakan anti komunisme muncul, penghayat kepercayaan dituduh sebagai bagian dari komunis. Sering kali fatal akibatnya, tiba-tiba hilang, dan seterusnya.” BKKI vakum karena terancam dengan proyek anti komunisme pada waktu itu.
Memasuki Orde Baru, Golkar membentuk suatu badan yang menghimpun penghayat kepercayaan. Semasa ini pula kolom agama belum ada di KTP. Baru pada 1978, agama mulai “diresmikan” melalui TAP MPR Nomor 4 Tahun 1978. Ketetapan itu juga menegaskan bahwa kepercayaan itu bukan agama. “Kepercayaan [digolongkan] sebagai budaya dan dipaksa untuk memilih salah satunya. Agama menjadi agama resmi. Kolom agama itu baru dimasukkan di KTP untuk menegaskan bahwa semua warga negara harus beragama hanya dengan lima agama itu,” ujar Samsul.
Dalam sidang, hampir semua hakim mengajukan pertanyaan. Menurut hakim anggota Wahiduddin Adams, pembedaan agama dan kepercayaan ada sejak Hindia Belanda melalui Pasal 131 juncto Pasal 163 IS. “[Antara] agama dan kepercayaan itu memang tidak kompatibel? Hal ini didasarkan bukan pada hubungan sosiologis, tapi didasarkan pada pandangan teologis, bahkan eskatologisnya,” ujar Wahiduddin.
Menanggapi pertanyaan ini, Samsul menjawab bahwa konsep agama yang teologis itu pun bukan tak mengalami konstruksi politik. Menurut Samsul, “Agama di Indonesia hari ini yang kita maknai, itu adalah warisan atau jiplakan dari Barat. Agama yang hari ini kita maknai adalah jiplakan dari Barat, bukan agama yang dimaknai oleh masyarakat Indonesia. Kalau kita tanya masyarakat Indonesia, apa itu agama? Banyak definisinya dan bukan seperti agama yang diatur oleh negara hari ini.”
Lebih lanjut Samsul menjelaskan bahwa definisi agama di Eropa dulu adalah untuk menegaskan superioritas Barat atas non-Barat. Sedangkan definisi agama di Indonesia adalah untuk menegaskan politik rekognisi: mengistimewakan kelompok warga negara tertentu dan sekaligus mendiskriminasi kelompok warga negara lain, seperti penghayat kepercayaan.
Samsul merekomendasikan agar permohonan perbaikan UU Adminduk 2006 diterima. “Kepercayaan perlu dicatatkan sebagai identitas, sebagaimana kelompok agama lain. Pembedaan tersebut adalah diskriminasi,” ujar Samsul. (Berbagai Sumber/H31)