UU Pemilu telah disahkan. Walaupun Presiden Jokowi unggul karena diusung partai-partai koalisi yang besar, namun posisi Jokowi justru tersandera di balik bayang-bayang politik kepentingan partai yang mengusungnya. Benarkah?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]B[/dropcap]anyak pihak menyebut Presiden Joko Widodo terkena jebakan kelompok tertentu dalam pembahasan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu (UU Pemilu). Jebakan ini ditengarai karena pemerintah ngotot mempertahankan dan menyetujui opsi ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) sebesar 20 persen di DPR dan 25 persen di tingkat nasional. Menurut Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, tingginya ambang batas pencalonan presiden dari pemerintah dapat menjadi jebakan bagi Jokowi di Pemilu 2019.
“Saya khawatir presiden sedang dijebak oleh pihak tertentu yang sedang memainkan kepentingan dalam UU pemilu. Kenapa? Kalau syaratnya 20/25 artinya presiden harus mempunyai partai yang sangat kuat untuk bisa mencalonkan dirinya. Sementara saat ini presiden tak memiliki partai,” ujar Feri pada Rabu (19/7).
Pakar Hukum dan Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai, pengesahan UU Pemilu yang membuka peluang calon tunggal di pemilu 2019 sebenarnya merupakan bagian dari skenario untuk menjamin terpenuhinya kepentingan partai pendukung Jokowi. Yusril menilai Jokowi akan tersandera karena akan bergantung pada koalisi partai, demi mendapat dukungan presidential threshold 20 persen.
“Partai-partai itu tidak punya kepentingan apapun dengan Jokowi. Tapi, nanti Jokowilah yang berkepentingan dengan mereka agar dapat dukungan presidential threshold 20 persen,” ujar Yusril, pada Jumat (21/7). Mantan Menteri Hukum dan Kehakiman itu memprediksi nantinya Jokowi harus mempunyai ‘deal‘ dengan partai pendukungnya demi lolos presidential threshold. Ia pun harus melobi partai-partai kecil jika terjadi kekurangan suara.
Selain sarat kepentingan kelompok tertentu, ambang batas pencalonan presiden juga dinilai tak relevan untuk digunakan dalam pemilu serentak. Penerapan ambang batas pencalonan presiden dapat dilakukan jika pemilu nasional tidak dilaksanakan serentak. Sebaliknya, ambang batas tak bisa diterapkan saat pemilu legislatif dan presiden berjalan bersamaan. Melihat isu yang beredar, maka pertanyaannya adalah apakah UU Pemilu menguntungkan Jokowi atau hanya untuk kepentingan partai politik tertentu?
UU Pemilu: Penyanderaan Demokrasi
Demokrasi bangsa ini sedang berada dalam bayang-bayang politik kepentingan. Jokowi sebagai presiden menyadari hal itu, namun ia belum bisa berbuat banyak lantaran berbenturan dengan kepentingan partai koalisinya. UU Pemilu yang telah ditetapkan masih menemui pro dan kontra dari pihak parpol yang mengusung pemerintahan saat ini dan pihak oposisi. Situasi ini bisa menjadi barometer untuk mengukur aktivitas politik Indonesia yang berpotensi terjadinya pemasungan demokrasi dalam ruang publik.
Pembahasan UU Pemilu ini turut memperlihatkan kepada publik, bahwa UU Pemilu tersebut hanyalah untuk kepentingan jangka pendek partai politik peserta pemilu di DPR dalam menghadapi Pemilu 2019. Bahkan UU pemilu ini dinilai berpotensi menjegal Jokowi, sebab wacana penguatan sistem presidensial dengan besarnya dukungan koalisi kepada satu capres, tak menjamin koalisi itu bertahan. Faktanya, di tengah perjalanan pemerintahan, parpol bisa bergabung di tengah jalan atau menarik dukungan. Oleh sebab itu, Jokowi perlu menjaga hubungan baik dengan partai-partai yang mengusungnya, untuk menghindari pembelotan seperti yang telah dilakukan oleh PAN.
UU Pemilu: Menjebak atau Menguatkan Posisi Jokowi?
Wacana tentang calon presiden tunggal di pemilu 2019, diklaim sebagai bagian dari skenario untuk menjamin terpenuhinya kepentingan partai pendukung Jokowi. Jokowi dinilai akan tersandera karena akan bergantung pada koalisi partai agar mendapat dukungan presidential threshold 20 persen. Pendapat ini dapat dibenarkan berkaitan dengan posisi Jokowi pada pemilu 2014 silam yang diusung oleh PDIP dan koalisinya. Oleh sebab itu, bila ingin mencalonkan diri lagi pada 2019 nanti, Jokowi perlu melakukan deal-deal politik dengan partai-partai tersebut agar bisa mendapat dukungan presidential threshold 20 persen. Seandainya terjadi kekurangan suara, ia pun harus melobi partai-partai kecil lainnya.
Maka, ada kekhawatiran bahwa seandainya Jokowi tak paham dengan permainan partai-partai pendukungnya, ia bisa terjebak serta merugikan bangsa dan negara. Sarana untuk menjebak Jokowi bisa beraneka ragam, misalnya partai-partai pendukung bisa menagih jabatan mulai dari menteri, duta besar, komisi-komisi negara, direksi, hingga komisaris BUMN. Deal-deal politik ini tentunya berbahaya, karena akan membuka peluang bagi oknum-oknum pejabat korup untuk berkuasa dan membuat sistem demokrasi Indonesia menjadi mandek.
Terlepas dari segala bentuk deal-deal politik dengan partai pengusungnya, grafik elektabilitas Jokowi saat ini masih melampaui lawan-lawannya. Survei Harian Kompas pada 29 Mei 2017, menunjukan elektabilitas Jokowi berada di posisi pertama dengan 41,6 persen, diikuti Prabowo di posisi kedua sebesar 22,1 persen. Elektabilitas yang tinggi serta dukungan Golkar dan Nasdem, tentu menjadikan Jokowi di atas angin. Golkar dengan perolehan kursi di DPR sebesar 16,25 persen dan Nasdem dengan 6,25 persen saja sudah bisa membuat Jokowi melenggang sebagai capres dalam Pilpres 2019. Jumlah itu belum termasuk Hanura yang juga sudah mendeklarasikan dukungan ke Jokowi di pemilu 2019 dan PDI-P sebagai partai pengusung utama Jokowi di Pemilu 2014. Sedangkan bagi parpol lain, syarat itu cukup memberatkan karena beberapa partai telah menyatakan sikapnya untuk kembali mengusung Jokowi.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Mengenai ketentuan ambang batas sebesar 20-25 persen dinyatakan sah secara hukum dan tidak melanggar UUD 1945. Meski demikian, ambang batas pencalonan presiden perlu diturunkan untuk memberikan aspek keadilan bagi partai kecil. Hal ini bukan berarti wacana nol persen adalah solusi. Terlalu dini bila menilai UU Pemilu inkonstitusional maupun konstitusional karena butuh pengkajian ulang mengenai UU tersebut. UU Pemilu juga harus bebas dari segala bentuk kepentingan politik dan memperhatikan aspek keadilan dan kebebasan beraspirasi seluruh warga negara Indonesia. Maka, menurunkan presentase ambang batas pencalonan Presiden adalah mungkin untuk menciptakan pemilu yang lebih transparan, kompetitif dan adil.
Mengenai UU Pemilu menguntungkan atau merugikan posisi Jokowi, semua bergantung pada strategi yang dibangun Jokowi sejak saat ini hingga 2019 nanti. Demi mempertahankan peluang untuk maju lagi di pemilu 2019, Jokowi perlu mempertahankan hubungan baik dengan partai koalisinya. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi deal-deal politik karena memang ini satu-satunya gerbang bagi Jokowi untuk tetap diusung partai koalisi. Maka, di satu sisi, UU Pemilu membuka peluang bagi Jokowi untuk maju lagi di pemilu dua tahun mendatang, namun di sisi lain justru membelenggu kebebasannya untuk menangani kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum dari partai koalisinya. Oleh karena itu, posisi Jokowi saat ini serba dilematis.
Mari kita tunggu, kira-kira strategi apa yang akan dilakukan Jokowi ke depan untuk mempertahankan elektabilitas dan kualitasnya sebagai orang nomor satu di negara ini tanpa harus dibayang-bayangi oleh kepentingan politik partai yang mengusungnya.
(dari berbagai sumber/ K-32)