Site icon PinterPolitik.com

Pengakuan Kemerdekaan dari Belanda Percuma?

mark rutte jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte, di sela penyelenggaraan KTT Peringatan 45 Tahun ASEAN-Uni Eropa di Gedung Europa, Brussels, Belgia pada 14 Desember 2022 lalu. (FOTO: Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden RI)

Pemerintah Belanda melalui Perdana menteri (PM) Mark Rutte resmi mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Di satu sisi, Pemerintah Belanda masih tidak mengakui apa yang telah diperbuatnya di masa lalu sebagai kejahatan perang. Lantas, apa yang membuat Belanda seolah setengah-setengah dalam menyelesaikan “dosa masa lalu” dengan Indonesia? 


PinterPolitik.com

Perdebatan panjang selama 78 tahun antara pemerintah Indonesia dengan Belanda mengenai tanggal proklamasi kemerdekaan RI tampaknya akan segera berakhir.  

Hal ini setelah pada tanggal 14 Juni 2023 lalu tepatnya di Parlemen Belanda (Tweede Kamer) pemerintah Belanda lewat Perdana Menteri (PM) Mark Rutte secara resmi mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia.  

Selama ini, Belanda mengakui tanggal kemerdekaan Indonesia sesuai dengan tanggal penyerahan kedaulatan Konferensi Meja Bundar yaitu 27 Desember 1949. 

Perbedaan tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI telah menjadi perseteruan panjang antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Tidak diakuinya tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia mengakibatkan periode perang selama tahun 1945-1949 tidak dianggap sebagai bentuk agresi militer terhadap sebuah negara berdaulat.  

Menurut perspektif Indonesia, periode 1945-1949 dikenal sebagai “Perang Kemerdekaan” yang ditandai dengan serangkaian kekerasan oleh tentara Belanda terhadap masyarakat sipil. Sementara itu, Belanda menyebut tahun 1945-1949 sebagai periode “bersiap”. 

Lambat laun, di tahun 2022 Belanda mulai mengakui apa yang dilakukannya, namun hanya dengan frasa  “kekerasan ekstrem” setelah terbitnya hasil penelitian yang berjudul Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950.  

Penelitian ini dilakukan oleh tiga lembaga think tank asal Belanda yaitu Netherlands Institute for War, Holocaust, and Genocide Studies, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, dan Netherlands Institute of Military History. 

Perdebatan mengenai dugaan kekerasan yang dilakukan tentara Belanda selama perang kemerdekaan pertama kali muncul di tahun 1969 setelah media Belanda mewawancarai seorang veteran bernama Johan Engelbert (Joop) Heuting. 

Dalam wawancara tersebut, Heuting secara gamblang mengakui adanya praktik eksekusi dan kekerasan yang dilakukan tentara Belanda terhadap masyarakat sipil selama melakukan penyerangan ke Yogyakarta pada bulan Desember 1948. 

Di Balik pengakuan adanya kekerasan dan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia muncul ketidakpuasan dari kalangan akademisi Indonesia. Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Margana menganggap Pemerintah Belanda masih setengah hati mengakui kesalahannya di masa lalu.  

Menurut Sri Margana sikap pemerintah Belanda masih abu-abu lantaran tidak menyetujui tindakan yang telah mereka lakukan di masa lalu sebagai “kejahatan perang”. 

“Artinya, secara yuridis mereka masih mengakui kemerdekaan itu adalah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949 itu,” ujar Margana yang seolah menyayangkan pengakuan setengah hati Belanda. 

Justifikasi Belanda untuk tidak menyetujui istilah kejahatan perang dikarenakan pada waktu itu Konvensi Jenewa 1949 belum disepakati. 

“Masa kekerasan itu terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Kesimpulannya kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis,” begitu terjemahan penyataan  Rutte di Parlemen Belanda pada tanggal 14 Juni 2023 lalu. 

Sikap Pemerintah Belanda yang tidak mengakui kejahatan perang selama masa pendudukannya di Indonesia menimbulkan kekecewaan di pihak Indonesia dan memunculkan pertanyaan.  

Kira-kira apa yang membuat Belanda seolah masih setengah hati untuk mengakui perbuatannya di masa lalu? Apakah ada maksud lain dari diakuinya tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia? 

Bukan Berfokus Pada Indonesia? 

Keputusan PM Mark Rutte untuk mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari tekanan politik di dalam negeri Belanda itu sendiri.  

Partai-partai progresif selama ini memberikan perhatian terhadap masalah keterlibatan Belanda dalam melakukan kolonialisme di masa lalu. Misalnya, partai hijau Belanda GroenLinks yang selama ini aktif menekan pemerintah Belanda untuk bertanggung jawab atas penjajahan yang dilakukan di Indonesia dan Suriname. 

Selain itu, kelompok intelektual dan kaum muda juga seringkali menekan Pemerintah Belanda agar mengakui apa yang telah mereka perbuat di masa lalu sebagai sebuah kejahatan.  

Apabila melihat tekanan politik dari dalam negeri sebagai faktor pendorong pemerintah Belanda mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia, tampaknya pengakuan ini bukan berfokus pada Indonesia. 

Keputusan PM Mark Rutte untuk mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia boleh jadi hanya sekedar strategi political bridging untuk menarik dukungan dari kelompok yang berseberangan dengan ideologi partainya.  

Hal ini mengingat bahwa PM Mark Rutte berasal dari partai  People’s Party for Freedom and Democracy yang berhaluan konservatif liberal sehingga minim dukungan dari kelompok progresif. 

Menurut ilmuwan politik asal Amerika Serikat Jane Mansbridge, melalui political bridging seorang politisi mampu memperluas basis dukungan dari kelompok yang memiliki ideologi berbeda dengannya. 

Kegunaan political bridging sendiri sudah menjadi hal lumrah di dalam dunia perpolitikan. Hal ini misalnya dilakukan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron yang berusaha menarik suara dari kelompok Islam dengan tujuan mengalahkan lawan politiknya Marine Le Pen. 

Macron memanfaatkan wacana Islamophobia yang digunakan oleh Le Pen untuk menarik simpati dari kalangan umat Muslim Perancis. 

Di satu sisi, selama masa kepresidenannya, Macron juga beberapa kali mendapatkan kritik. Misalnya, keputusan Macron yang tidak memenjarakan jurnalis Charlie Hebdo setelah menghina Islam. 

Selain itu, sikap pemerintah Belanda menolak istilah kejahatan perang memiliki kemiripan dengan apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS) ketika melakukan intervensi militer di negara luar melalui apa yang kemudian dikenal sebagai exceptionalism

Robert Patman dalam jurnalnya berjudul Globalisation, The New US Exceptionalism and The War on Terror menilai exceptionalism telah dijadikan justifikasi bagi AS atas keterlibatannya dalam berbagai kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum internasional. Hal ini kemudian berujung pada kebijakan dan langkah politik luar negeri yang secara kasat mata menjadi berstandar ganda. 

Maka dari itu, melihat adanya maksud terselubung dari pengakuan tanggal proklamasi kemerdekaan RI tampaknya akan semakin menghambat usaha rekonsiliasi antara Belanda dengan Indonesia terutama terhadap para keturunan korban perang. 

Lantas, jika sampai pada interpretasi ini, apakah bangsa Indonesia akan semakin sulit untuk memaafkan apa yang telah diperbuat Belanda di masa lalu? 

Alat Politik, Mustahil Dimaafkan? 

Banyaknya korban di kalangan sipil tampaknya akan menjadi hambatan bagi masyarakat Indonesia untuk menerima permintaan maaf dari pemerintah belanda meskipun telah mengakui adanya kekerasan ekstrem dan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia.  

Dalam jurnal yang ditulis oleh Benedict Anderson berjudul Indonesian Nationalism Today and in The Future, pengalaman bangsa Indonesia menjadi negara jajahan dan mempertahankan kemerdekaan telah menjadi bagian dari identitas budaya nasional.  

Akan tetapi, seringkali beberapa tokoh populis di Indonesia memanfaat sejarah penjajahan Belanda dan perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk menciptakan polarisasi di masyarakat.  

Misalnya saja penyebutan atau Londo ireng (Belanda hitam) terhadap kelompok atau individu yang memiliki pandangan politik berbeda. 

Amos Sukamto dan Rudy Pramono dalam jurnalnya berjudul The Roots of Conflicts between Muslims and Christians in Indonesia in 1995–1997 menyebut selama era kolonial, penganut agama kristen di Indonesia sering dicap sebagai Londo ireng (Belanda hitam) atau pengkhianat karena dianggap memiliki kedekatan dengan penjajah Belanda.  

Amos dan Rudy juga menyebut hingga saat ini penggunaan frasa Londo ireng masih sering digunakan oleh para tokoh populis untuk menarik dukungan dari kelompok konservatif untuk menggambarkan kelompok yang dianggap sebagai “pengkhianat negara” karena latar belakang identitasnya. 

Apa yang dilakukan oleh sejumlah politisi di Indonesia itu dapat disebut sebagai Dog Whistle Politics

Matthew A. Baum dan Phil Gussin dalam bukunya berjudul Dog Whistle Politics: Multivocal Communication and the Politics of Disgust mendefinisikan Dog Whistle Politics sebagai penggunaan sinyal yang disamarkan dalam komunikasi politik untuk merangsang perasaan negatif terhadap kelompok tertentu tanpa secara eksplisit menyebutkan kelompok tersebut.  

Alih-alih memperkuat persatuan, sejarah perjuangan kemerdekaan justru digunakan untuk tujuan politis. Hal ini kemudian mengakibatkan masyarakat Indonesia tidak bisa mengambil hikmah dari peristiwa tersebut, tentunya secara relevan dan objektif di masa kini. 

Dampak dari Perang Kemerdekaan tidak hanya menjadi persoalan bagi Belanda tetapi juga Indonesia sebagai negara yang terjajah.  

Oleh karena itu, apa yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini tampaknya menunjukan ada hal yang lebih penting dari hanya sekedar pengakuan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. (F92) 

Exit mobile version