Mensos Risma melaporkan ke KPK terdapat 21 juta data ganda penerima bansos Covid-19. Tentu angka ini tidak sedikit dan memunculkan sejumlah pertanyaan mengenai buruknya pengelolaan data di instansi atau lembaga pemerintahan. Lantas turut menjadi perhatian, mengapa pemerintah buruk dalam perihal pendataan, terutama data vital? Apa implikasinya kepada kebijakan publik?
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini atau yang akrab disapa Risma melakukan pendataan untuk bantuan sosial kepada masyarakat akibat terdampak pandemi Covid-19. Dalam prosesnya, Risma mengatakan telah menemukan 21.156 juta data ganda untuk pengadaan bantuan sosial (bansos) tersebut.
Risma menyatakan data ganda tersebut telah dinonaktifkan. Risma juga meminta pemerintah daerah untuk melakukan penambahan bantuan karena data yang telah “ditidurkan” dapat menjangkau lebih banyak orang lain.
Permasalahan ini sendiri sudah diteruskan Risma ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, Risma juga telah berkoordinasi dengan kepolisian, Kejaksaan Agung, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Atas kekeliruan dalam pengelolaan data, Risma meminta agar pegawainya disiplin dan teliti dalam kelola data. Kesalahan dalam mengelola data tentu bisa merugikan masyarakat sebagai penerima bansos dan pemerintah sebagai pengada bansos, terutama pada masa pandemi.
Baca Juga: Demonstrasi, Jokowi Butuh Big Data?
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengkiritik lemahnya pengelolaan data bansos. Hal ini berakibat fatal karena tidak meratanya pembagian bansos dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Permasalahan data ini sendiri bukan merupakan masalah baru di Indonesia. Lantas mengapa hal ini terus terjadi? Apa dampak buruknya pengelolaan data pada kebijakan publik?
Buruknya Pengelolaan Data
Kementerian Sosial (Kemensos) sudah menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk bansos. Untuk wilayah Jakarta, pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 2,2 triliun. Bansos ini pun disebar di seluruh Indonesia.
Namun, untuk saat ini Risma mengakui bahwa pemerintah mengalami kesulitan salam penyaluran bansos ke daerah terpencil karena kesulitan aksesbilitas ke daerah-daerah, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Risma mengatakan nantinya bansos ini akan disalurkan hingga ke penduduk yang hidup di wilayah hutan.
Terkait pendataan target penerima bansos, sebenarnya sudah dikumpulkan oleh RT/RW masing-masing daerah. Namun, data tersebut tidak dipakai dan Mensos mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Akurasi data DTKS sering kali dipertanyakan. PKS selalu mengkritisi persoalan data penerima bansos, namun belum terlihat tanggapan lebih lanjut. DPR juga tidak menafikan fakta bahwa ada persoalan data ganda penerima bansos di dalam data milik Kemensos.
Secara umum, ada dua masalah atas tidak sinkronnya data, yakni inclusion error dan exclusion error. Inclusion error merupakan kesalahan akibat yang terdata bukan warga miskin. Selain itu, exclusion error merupakan kesalahan data akibat belum terdaftarnya warga miskin.
Selain itu ada simpang siur terkait penyimpanan data warga miskin. Ketika zaman Khofifah Indar Parawansa menjabat sebagai Mensos, sudah ada program satu pintu data kemiskinan. Data yang dikelola sekarang oleh Kemensos ini dikenal dengan DTKS.
DTKS sendiri mencakup 40 persen rakyat berstatus ekonomi paling bawah, termasuk Komunitas Adat Terpencil. Data tersebut digunakan sebagai basis data untuk program bansos, seperti Program Sembako, Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Pintar, dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN.
Khofifah sendiri sebelumnya telah menyatakan perlu adanya pembaharuan kualifikasi penerima bansos. Kemensos hanya berpegang pada DTKS, namun data DTKS sendiri diverifikasi datanya terakhir pada 2015. Tentu kondisi kala itu berbeda dengan saat ini, sehingga pada dasarnya data DTKS tidak valid karena belum di-update.
Baca Juga: Di Balik Permintaan Fotokopi e-KTP
Di dalam Kemensos sendiri pendataan untuk penerima bansos tidak hanya ada di DTKS. Ada beberapa bagian di Kemensos yang mengelola data serupa, yakni data Program Keluarga Harapan (PKH) dan data beras miskin (raskin).
Data vital yang tidak didata dan dikelola dengan baik oleh Kemensos berimplikasi pada implementasi kebijakan bansos menjadi tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Buruknya pengelolaan data mengakibatkan data ganda sebanyak 21 juta pada kebijakan bansos.
Tentu angka tersebut tidak sedikit. Banyak juga yang mempertanyakan mengapa data ganda tersebut baru terkuak setelah terpilihnya Risma sebagai Mensos. Tentu pemerintah juga mengalami kerugian karena data tersebut telah digunakan untuk program bansos sebelumnya.
Kerancuan pendataan sudah menimbulkan berbagai permasalahan sebelumnya. Pada awal bulan April, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan banyak data fiktif penerima bansos di tengah pandemi.
Selain itu, bansos dengan pengelolaan data yang buruk juga membuka peluang korupsi. Seperti pada kasus mantan Mensos Juliari Batubara. Lantas mengapa masalah pengelolaan data masih terjadi di Indonesia? Apakah memang ada “pembiaran” dari pemerintah terkait isu pengelolaan data?
Masalah Klasik?
Pengelolaan data menjadi masalah lama di Indonesia. Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII) Centre for Public Policy Research Arfianto Purbalaksono menilai keberadaan data memang sering diabaikan dalam proses pembuatan kebijakan di Indonesia. Ia menambahkan bahwa masalah pengelolaan data belum menjadi prioritas pemerintah.
Pengelolaan data di Indonesia mengalami berbagai tantangan. Misalnya masalah tumpang tindih data antara satu kementerian dengan kementerian lainnya. Selain itu, tidak ada standar data yang jelas antar lembaga pemerintah. Manajemen data yang berantakan juga mempersulit masyarakat mengakses data pemerintah.
Kurangnya kualitas sumber daya manusia juga menjadi penyebab lain. Misalnya terkait data kemiskinan, hanya 10 persen dari 514 pemerintah daerah yang terus memperbaharui datanya. Tingkat ketepatan data juga hanya mencapai 45 persen. Hal ini mengakibatkan kebijakan, seperi bansos Covid-19 menjadi tidak tepat sasaran.
Masalah pengelolaan data mengakibatkan berbagai permasalahan. Misalnya data ganda yang sudah menjadi langganan masalah menjelang pemilu. Pada tahun 2018, ditemukan 3 juta KTP ganda menjelang Pemilu 2019. Perihal data ganda pemilih juga terjadi menjelang pemilu 2014.
Baca Juga: Big Data, Solusi Corona Jokowi?
Selain itu, masih banyak penduduk Indonesia yang belum rekam e-KTP. Untuk di Surabaya sendiri, terdapat 63.247 orang belum melakukan perekaman data KTP elektronik (e-KTP). Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) terus menghimbau masyarakat untuk merekam data e-KTP.
Padahal, dokumen berupa e-KTP tentu penting untuk mengurus berbagai kebutuhan. Hal tersebut berupa akses perbankan, kesehatan, pekerjaan, hingga pendidikan.
Pentingnya data dalam pembuatan kebijakan dapat dijelaskan melalui tulisan Timothy Hogan dan kawan-kawan yang berjudul Data for Effective Policy and Decision-Makin in Indiana: Assessing Its Availability Accessibility, and Analysis. Dengan data, pemerintah dapat mengidentifikasi masalah, melakukan komparasi kebijakan serta progres dari kebijakan tersebut, menentukan strategi untuk menyelesaikan suatu masalah dan sebagainya.
Sulit untuk mewujudkan keputusan dan kebijakan yang tepat sasaran dari data yang tidak valid. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) juga mengaku mengalami krisis data sehingga sulit memetakan kemampuan dan kebutuhan siswa pada metode belajar jarak jauh, seperti kebutuhan membeli kuota, listrik, dan sebagainya.
Maria Goreti, senator Kalimantan Barat mengatakan bahwa banyak kepala daerah di Kalimantan Barat sulit membuat keputusan akibat masalah data yang tidak valid. Maria mencontohkan pada kesulitan yang dialami kepala daerah dalam menentukan Dana Alokasi Umum (DAU) karena disparitas data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan catatan sipil memiliki selisih hingga 10 persen.
Selain sulitnya membuat keputusan dan kebijakan yang tepat, data juga dibutuhkan untuk mengevaluasi sebuah kebijakan. Tulisan Prof. Margaret Sutton dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik menjelaskan pentingnya data untuk membandingkan outcome sebelum dan setelah kebijakan diberlakukan. Hal ini sulit dilakukan di Indonesia karena masalah ketersediaan data yang time series.
Untuk mengatasi permasalahan data, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Tertulis bahwa SDI menjadi solusi untuk tata kelola data yang akurat, terpadu dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui SDI, masyarakat juga akan mengalami kemudahan akses data antar instansi pusat dan daerah.
Baca Juga: Bukit Algoritma, Cita-Cita Semu?
Namun, SDI masih antara ada dan tiada karena sulit pada implementasinya. Ini karena adanya hambatan infrastruktur digital. Indonesia memiliki 2.700 pusat data yang tersebar di 630 kementerian atau lembaga. Data tersebut pun diolah oleh 27 ribu aplikasi sehingga menyulitkan pengintegrasikan data.
Data yang dimiliki setiap kementerian dan lembaga memiliki format dan metadata yang berbeda-beda. Adapun masalah ego sektoral di antar lembaga juga mengakibatkan enggannya lembaga untuk membagikan datanya.
Permasalahan data tidak dapat dianggap remeh. Melihat sejumlah akar permasalahan dalam mengelola data, Indonesia dapat dikatakan belum siap untuk Big Data dan pengintegrasian data pada SDI. Kebijakan Indonesia sulit diimplementasikan secara maksimal jika masalah pengelolaan data masih belum menjadi perhatian khusus dari pemerintah. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.