Baru-baru ini beredar dukungan untuk memasangkan Ganjar-Puan untuk Pilpres 2024. Apakah itu menunjukkan pendukung Ganjar Pranowo mulai terdesak? Apalagi, saat ini Ganjar tengah diterpa isu insiden di Desa Wadas.
“The secret of political bargaining is to look more strong than what you really are.” — Subhas Chandra Bose, nasionalis India
Gesekan antara Ganjar Pranowo dan Puan Maharani, atau mungkin lebih tepatnya pendukung keduanya mulai kentara dibaca publik sejak April 2021. Gesekan ini tidak lepas dari fenomena pendulum. Setelah sebelumnya PDIP mengusung sosok non-trah Sukarno, berbagai elite partai banteng menilai sudah saatnya bola pendulum kembali ke sisi trah. Akhir masa jabatan Joko Widodo (Jokowi) di 2024 dinilai sebagai momentum pendulum tersebut.
Tidak heran kemudian, kendati berbagai survei dengan jelas menunjukkan keunggulan elektabilitas Ganjar, Puan tetap menjadi prioritas PDIP. Ini misalnya terlihat dari tebaran baliho Puan Maharani yang disebut sebagai pesan kesatuan kader dalam mendukung sang Ketua DPR RI.
Setelah sebelumnya sempat meredup, isu gesekan kembali mencuat namun dengan tone yang berbeda setelah wacana menduetkan keduanya muncul ke permukaan. Berbagai kader PDIP, khususnya di Jawa Timur (Jatim) membentuk Laskar Ganjar Puan (LGP).
“Tentu relawan, kader LGP dari seluruh 38 kabupaten/kota ingin mendukung Mas Ganjar dan Mbak Puan maju di Pilpres 2024,” ungkap Saleh Ismail Mukadar, Ketua DPD LGP Jatim pada 5 Februari.
Senada, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo yang telah lama diketahui mendukung Ganjar memberi usulan agar Ganjar dan Puan dipasangkan, sehingga tidak lagi ada gesekan antara pendukung keduanya.
“Mestinya Ganjar (calon presiden), Mbak Puan wakilnya. Karena Ganjar pengalaman di pemerintahan dua periode. Mbak Puan pengalaman membuat regulasi,” ungkapnya pada 7 Februari.
Secara normatif, Ketua DPP Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto yang diketahui lantang mendukung Puan, menyebut setiap pihak berhak berspekulasi terkait pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
“Tapi bagi kami, seluruh kader PDI Perjuangan akan menunggu bakal paslon presiden dan wakil presiden dari Bu Ketua Umum (Megawati Soekarnoputri), sebagaimana keputusan forum tertinggi partai, kongres,” ungkap Pacul pada 9 Februari.
Di sini persoalannya menjadi menarik. Mengapa setelah sebelumnya redup, wacana memasangkan Ganjar-Puan tiba-tiba mencuat? Kemudian yang terpenting, jika pendukung Ganjar percaya diri dengan elektabilitas sang Gubernur Jawa Tengah (Jateng), mengapa justru mereka yang melempar proposal politik?
Mencari Titik Temu
Untuk menjawabnya, kita dapat membaca Thirty-Six Stratagems, yakni 36 strategi Tiongkok kuno yang digunakan dalam politik, perang, dan interaksi sipil. Dalam bab 4 Melee Stratagems (混戰計, Hùnzhàn jì), khususnya strategi nomor 19, disebutkan remove the firewood from under the pot (釜底抽薪, Fǔ dǐ chōu xīn). Artinya, keluarkan/jauhkan kayu bakar dari tungku masak.
Strategi ini dilakukan ketika berhadapan dengan musuh yang sangat kuat. Untuk menghadapinya, tentu tidak bijak dengan bertarung secara langsung, melainkan dengan melemahkan kekuatan musuh dengan cara meruntuhkan pondasi dan menyerang sumber dayanya.
Munculnya narasi Ganjar-Puan dapat dibaca sebagai usaha menjauhkan kayu bakar. Maksudnya, karena sadar posisi Puan begitu kuat, ia adalah putri mahkota, tidak mungkin pendukung Ganjar menyerangnya secara langsung, itu sama saja dengan bunuh diri. Apalagi, tebaran baliho Puan jelas merupakan indikasi kuat bahwa tone PDIP tidak mengarah ke Ganjar.
Oleh karenanya, alih-alih menyerang langsung, yang dilakukan adalah melemahkan. Sadar Puan lemah pada sisi elektabilitas, pendukung Ganjar kemudian memainkan poin tersebut sebagai serangan strategis.
Lebih lanjut, ini adalah strategi nomor 17 yang berbunyi tossing out a brick to get a jade gem (拋磚引玉, Pāo zhuān yǐn yù). Artinya, melempar batu bata untuk mendapatkan batu giok. Ini adalah strategi jebakan dan memperdaya musuh dengan umpan. Dalam perang, umpan adalah ilusi atas sebuah kesempatan untuk memperoleh hasil. Poin elektabilitas adalah umpan agar pendukung Puan tergiur. Ini adalah pancingan agar wacana Ganjar-Puan dapat diterima.
Dalam diksi literatur modern, ini adalah usaha win-win negotiation. Nirmala Reddy dalam tulisannya Successful Strategies For A Win-Win Negotiation di Forbes, menyebut negosiasi bukan tentang satu pihak menang dan pihak lain kalah. Ini bukan zero-sum game, melainkan setiap pihak duduk bersama di meja untuk mendiskusikan kepentingannya dan menciptakan pertukaran yang saling menguntungkan satu sama lain.
Win-win negotiation jelas terlihat dari pernyataan FX Hadi Rudyatmo. Alih-alih kedua pendukung bergesekan dan saling menjatuhkan, lebih baik mencari titik temu dengan menyatukan Ganjar dan Puan Maharani.
Perang Strategi
Jika benar pendukung Ganjar tengah bertolak dari 36 strategi perang Tiongkok kuno, maka ada satu poin penting yang harus dicatat. Mengutip Sun Tzu dalam karyanya yang terkenal, The Art of War, strategi pelemahan tidak pernah terjadi secara satu arah, melainkan dilakukan oleh kedua belah pihak. Ini merupakan salah satu strategi paling mendasar dalam perang.
Saat ini, Ganjar tengah diterpa isu panas terkait polemik di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Mengutip pernyataan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 9 Februari, pernyataan Ganjar atas insiden tersebut merupakan bentuk kecacatan logika dan menunjukkan ketidakberpihakan seorang gubernur terhadap warganya.
Tanggapan itu bertolak dari pernyataan Ganjar yang menyebut, “Ini hanya pengukuran saja kok jadi tidak perlu ada yang ditakuti,” pada 8 Februari.
Atas apa yang terjadi, mengutip CNN Indonesia, seorang warga Wadas yang tidak ingin disebutkan namanya, menegaskan, “Itu bukan persoalan yang enteng Ganjar Pranowo terus dengan konferensi pers minta maaf pada warga merasa dibuat nggak nyaman.”
Menurut Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, Kapolda maupun Gubernur Jateng Ganjar Pranowo harus bertanggung jawab atas intimidasi dan represi yang diterima warga Wadas.
Secara cepat, mudah menyimpulkan bahwa isu yang sedang panas ini adalah objek serangan yang sangat strategis. Dalam unggahan infografis PinterPolitik tentang Ganjar di Instagram, misalnya, ramai berisi komentar tentang SaveWadas.
Pada kesempatan ini, pendukung Puan atau mereka yang kontra dengan Ganjar, dapat dengan mudah menjalankan strategi nomor 12 yang berbunyi take the opportunity to pilfer a goat (順手牽羊, Shùn shǒu qiān yáng). Artinya, ambil kesempatan untuk mencuri seekor kambing.
Disebutkan, selain memiliki fokus dan konsistensi dalam menjalankan rencana, pihak yang berperang juga harus bersikap fleksibel untuk memanfaatkan setiap peluang yang muncul, betapapun kecilnya.
Helen Margetts dalam tulisannya The unpredictability of politics in the age of social media, menyebut hadirnya media sosial telah membuat politik menjadi semakin sulit ditebak karena memperluas jangkauan tindakan partisipatif yang terbuka bagi warga negara. Hasilnya, dengan mudah terjadi mobilisasi massa maupun ledakan isu secara tiba-tiba.
Pada kasus isu Wadas, Ganjar sekiranya merasakan apa yang diperingatkan oleh Margetts. Kecepatan pembentukan isu dan pemberitaan saat ini membuat manajemen isu jauh lebih sulit dilakukan. Para pendukung Ganjar, hingga Ganjar sendiri, rasa-rasanya benar-benar tidak memprediksi isu ini menjadi ledakan. Itu jelas terlihat dari pemilihan diksi Ganjar, yang kemudian disorot oleh KontraS.
Sebagai penutup, dapat dikatakan tengah terjadi perang strategi antara pendukung Ganjar dengan pendukung Puan. Insiden Wadas yang saat ini tengah memanas menjadi pertaruhan sekaligus pembuktian sejauh mana kemampuan Ganjar, dan tentunya pendukungnya, dalam mengelola isu.
Mengutip Elizabeth Dougall dalam tulisannya Issues Management, jangan sampai isu Wadas mengkristal dan memberikan dampak destruktif bagi Ganjar yang tengah membangun citra untuk maju di Pilpres 2024. (R53)