Brigadir Jenderal Endar Priantoro resmi “dipecat” dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal April lalu. Pencopotan ini menuai konflik antara Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dengan KPK untuk kesekian kalinya. Apakah pencopotan Endar menjadi “sinyal” kuasa Ketua KPK Firli Bahuri?
PinterPolitik.com
“The exercise of one coercion always makes another inevitable” – Anders Chydenius
Pencopotan Brigjen Endar dari KPK kembali beredar di tengah badai yang menerpa KPK dalam beberapa bulan terakhir. Bagaimana tidak? Di tengah performa KPK yang semakin dinafikan oleh publik sebagai akibat dari kontroversi Firli, pencopotan Brigjen Endar pada gilirannya memicu gesekan dengan POLRI soal perpanjangan posisi Endar.
Endar yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Penyelidikan KPK dicopot oleh Firli per tanggal 31 Maret lalu. Pencopotan oleh Firli dilakukan atas dasar penempatan posisinya di KPK, di mana Firli berdalih bahwa Endar diberhentikan dari KPK karena habis masa jabatannya pada tahun ini.
Namun, Brigjen Endar membalas pencopotan ini dengan melaporkan Firli kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Pelaporan ini didasarkan pada dugaan pelanggaran etik Firli yang mendahului keputusan Listyo Sigit Prabowo memperpanjang masa jabatan Endar di KPK pada 29 Maret lalu. Alhasil, pelaporan oleh Endar memulai kembali “gesekan” dari kedua instansi tersebut.
Terdapat dugaan yang santer di mata publik bahwa pencopotan ini erat kaitannya dengan perbedaan sikap Endar mengenai kasus Formula E, di mana perbedaan ini disinyalir menjadi alasan di balik pencopotan Endar.
Mengapa Firli bersikukuh mencopot Endar dari KPK?
Endar dan Polemik Formula E
Manuver Firli yang kontroversial dalam beberapa waktu terakhir memang sudah disaksikan oleh publik sejak terpilih pada tahun 2019 lalu. Sejak menjadi Ketua KPK, Firli beberapa kali dinilai melakukan tindakan yang kontradiktif dengan posisinya sebagai pejabat komisi anti-rasuah, mulai dari menaiki helikopter, menjenguk Lukas Enembe, dan lain sebagainya.
Terbaru, tentunya soal mencopot Brigjen Endar tanpa mempertimbangkan instruksi Kapolri sebelumnya. Dengan demikian, maka tak ayal apabila Firli kerap dilaporkan ke Dewas KPK karena perbuatannya.
Atas berbagai manuver yang ada, terdapat analisis yang menyebut Firli telah melakukan show of force atau tengah menonjolkan kekuatan atau kekuasaannya.
Pada konteks pencopotan Endar, misalnya, terdapat dugaan bahwa Firli melakukannya sebagai “sinyal” ia dapat mencopot siapapun yang berbeda sikap dengan dirinya. Selain itu, dengan menduduki posisi puncak di KPK, maka ia dapat melakukan pencopotan tersebut tanpa adanya tekanan hierarkis sebagaimana posisinya dulu di POLRI.
Tidak hanya show of force yang dilakukan oleh Firli, pencopotan ini juga memiliki hubungan yang erat dengan reinforcement theory yang mewakilkan adanya motif pemaksaan kehendak di balik pencopotan Endar.
Psikolog B. F. Skinner menyebutkan bahwa seseorang dapat melakukan tindakan yang buruk untuk mencegah hal buruk yang tidak diinginkan olehnya dan hal tersebut juga di satu sisi terdapat unsur pemaksaan kehendak supaya hal ini tercapai.
Pemaksaan kehendak dalam kasus ini lebih menonjol dari motif kasusnya itu sendiri, di mana pencopotan ini seolah dipaksakan oleh Firli cs untuk menyingkirkan anggotanya yang tidak satu suara mengenai kasus yang diusut KPK, terutama Formula E. Seperti diketahui bahwa ada dua orang yang menolak untuk menaikkan kasus ini ke ranah penyidikan, yaitu Endar dan Karyoto.
Namun Firli dan yang lainnya disebut “ngotot” untuk menaikkan Formula E sampai ke penyidikan. Meskipun telah dibantah KPK, banyak pihak menduga bahwa perbedaan sikap itu lah yang dijadikan dasar untuk mencopot Endar dari KPK.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pencopotan ini hanya melambangkan kekuasaan Firli semata di KPK ataukah ada motif lain di balik hal tersebut?
KPK sebagai “Milik” Firli Semata?
Kiprah Firli cs saat ini memang tidak bisa memenuhi harapan publik sebagai akibat dari pemotongan independensi KPK sejak 2019 dan hal ini juga didukung oleh berbagai persoalan yang menimpa komisionernya.
Hal ini lantas membuat KPK seolah menjadi instansi personal yang hanya bekerja di tangan Firli semata dan mendorong adanya citra personalistik dari instansi tersebut.
Jonathan Sozek dalam bukunya Politics of Personalism menyebutkan bahwa personalisme kerap dilakukan untuk menonjolkan signifikansi dirinya dalam setiap kegiatan maupun pada instansi yang bersangkutan.
Pada konteks ini, Firli dicap sebagai “identifikasi tunggal” dari KPK dikarenakan segala pemberitaan mengenai instansi tersebut tidak lepas dari nama Firli. Kontroversi dan kuasa menjadi dua topeng yang digunakan untuk menonjolkan perannya di KPK, termasuk pencopotan Endar dan sikapnya dalam merespons Formula E.
Namun demikian, sejatinya bisa dipahami bahwa pencopotan ini bisa jadi dilakukan karena dua alasan mengenai kejelasan kasus Formula E. Pertama ialah potensi aktor yang berada di balik kasus Formula E, di mana tarik-ulur mengenai pengusutan kasus ini masih berlangsung karena dianggap “menjegal” Anies Baswedan sebagai promotor pagelaran tersebut.
Di sisi lain, terdapat potensi bahwa kasus Formula E akan menyeret banyak nama apabila ditindaklanjuti oleh KPK dan hal tersebut mungkin saja terjadi.
Kedua ialah upaya mengembalikan prestasi KPK di depan publik yang saat ini kerap mengusut kasus yang “remeh”. Dengan melanjutkan pengusutan kasus Formula E, bukan tidak mungkin KPK ingin mengembalikan reputasinya.
Pasalnya, kasus Formula E dapat memberikan efek mercusuar karena sensasinya. Katakanlah terdapat penyelewengan dana dan banyak pihak terjerat, ini akan menjadi legacy bagi kepemimpinan Firli.
Apapun itu motifnya, yang jelas pencopotan Endar kembali memicu perselisihan kembali antara KPK dan POLRI untuk saat ini. Selain itu, kasus ini kembali menjadi “batu sandungan” Firli di tengah akhir masa jabatannya yang seharusnya meninggalkan warisan di KPK. (D90)