HomeNalar PolitikPencabutan Perpres Miras Jokowi Keliru?

Pencabutan Perpres Miras Jokowi Keliru?

Setelah menimbulkan kegaduhan, Presiden Jokowi mencabut lampiran ketiga Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang menyinggung soal lampu hijau bagi industri minuman keras di empat provinsi. Lantas apakah yang sesungguhnya dapat dimaknai dari polemik yang cukup menyita perhatian dalam sepekan terakhir ini?


PinterPolitik.com

Nyaris memantik keriuhan berkepanjangan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya melakukan intervensi atas regulasi yang telah Ia tandatangani sendiri.

Tak lain dan tak bukan ialah mengenai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, di mana itu merupakan aturan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pemantik gaduh sendiri ialah, terselipnya aturan yang membuka keran investasi minuman keras (miras) di empat provinsi, yakni Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua.

Secara teknis dan resminya, Kepala Negara mencabut Lampiran III poin 31, 32, dan 33 dalam Perpres tersebut.

Dalam sebuah rilis video di Istana Negara pada Selasa kemarin, pencabutan lampiran itu dilakukan Presiden Jokowi setelah menerima masukan dari ulama-ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan tokoh agama lainnya, plus masukan dari provinsi dan daerah.

Setelah memberikan respons keras atas ketidaksepahaman dengan poin investasi miras dalam Perpres yang jamak dinilai lebih banyak membawa kemudaratan, reaksi 180 derajat kemudian hadir merespons pencabutan lampiran itu.

Berbagai pihak mengapresiasi langkah responsif mantan Gubernur DKI Jakarta, mulai dari sejumlah pimpinan ormas Islam, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), para pengamat kebijakan, hingga partai politik (parpol).

Baca juga: Jokowi dan Paradoks Industri Miras

Selain responsif, impresi positif lainnya seperti pemimpin yang demokratis, aspiratif, dan mendengar kritik seketika tersemat kepada RI-1. Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari bahkan menambahkan, tudingan bahwa Pak Jokowi ini anti Islam juga terbantahkan dengan dicabutnya lampiran Perpres tersebut.

Namun di sisi lain, pencabutan lampiran itu sesungguhnya tidak “menyenangkan” semua pihak. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengutarakan hal itu dan bahwasannya memang terdapat sejumlah kalangan dari dunia usaha yang menginginkan agar investasi miras tetap dilanjutkan.

Bahlil sendiri menjabarkan bahwa dasar pertimbangan investasi miras itu sesungguhnya ialah masukan dari pemerintah daerah sendiri, beserta masyarakat setempat atas kearifan lokal.

Selain itu, regulasi juga berangkat dari beberapa minuman tradisional beralkohol yang memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi, namun upaya memaksimalkannya kerap terbentur karena pelarangan-pelarangan tertentu.

Dari serangkaian dinamika di atas, di balik pencabutan lampiran Perpres itu agaknya tampak tarik menarik hingga benturan tak terhindarkan dari sejumlah perspektif mengenai konteks agama, masyarakat, dan negara. Lantas, apa yang dapat dimaknai dari hal tersebut?

Penyokong Legitimasi Absolut?

Tak dapat dipungkiri, masukan dari tokoh agama menjadi variabel dominan yang membuat Presiden Jokowi pada akhirnya menganulir poin investasi miras dalam lampiran Perpres No. 20 Tahun 2021.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Terdapat satu aspek yang cukup disayangkan memang ketika keputusan pencabutan dilakukan begitu cepat tanpa melalui diskursus mendalam, komprehensif, dan berkelanjutan. Padahal secara substansial, poin investasi miras tersebut dinilai cukup positif dan Presiden maupun pemerintah hanya harus menyatakan intensinya secara terbuka dan inklusif.

Hal itu senada dengan apa yang disampaikan oleh Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan. Dirinya menilai, pencabutan lampiran tersebut terlalu tergesa-gesa, tanpa memaksimalkan proses sosialisasi.

Tahap sosialisasi yang luput itu yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman dan penolakan cukup keras dari sejumlah kalangan. Pihak yang kontra terhadap kebijakan pembukaan keran investasi miras, mayoritas lantas berlandaskan pada asas moralitas dan ketentuan hukum agama.

Nyatanya jika ditelaah lebih jauh, Perpres itu sendiri tampak sama sekali tak mengubah ketentuan mengenai konsumsi dan distribusi minuman beralkohol atau miras. Dan di sisi lainnya, minuman tradisional beralkohol yang potensial memberikan manfaat ekonomi menjadi lebih terarah dan terkendali pengembangannya dengan adanya aturan tersebut.

Baca juga: Sri Mulyani Pusing Janji Jokowi

Luputnya pemerintah dalam memaksimalkan proses sosialisasi secara komprehensif itu, pada akhirnya meninggalkan celah bagi sentimen generalisir yang berlandaskan moralitas dan agama untuk mendominasi diskursus tersebut.

Dan sekali lagi, intrik ini menguak kembali relasi antara agama dan negara di tanah air. Hubungan antara agama dan negara sendiri dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated atau penyatuan antara agama dan negara, intersectional atau persinggungan antara agama dan negara, dan secularistic atau pemisahan antara agama dan negara.

Donald Eugene Smith, profesor politik terkemuka Amerika Serikat menyatakan bahwa sebenarnya sekularisasi politik dan pelibatan agama dalam politik berjalan secara simultan.

Bahkan, sekularisasi politik dalam aspek dan dimensi tertentu terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, seperti pembentukan lembaga negara modern sebagai perwujudan sistem demokrasi yang menggantikan lembaga negara berbasis keagamaan, pembentukan partai-partai politik (parpol), penyelenggaraan pemilu, dan sebagainya.

Dalam Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy, Masykuri Abdillah menyebut bahwa adopsi sistem bertendensi sekuler, seperti sistem demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, dalam banyak hal dilakukan dengan pemberian legitimasi keagamaan melalui ijtihad dan penyesuaian-penyesuaian tertentu.

Muaranya, tanpa legitimasi itu, ide-ide atau “sistem sekuler” tidak akan mendapat dukungan sepenuhnya dari warga yang mayoritas beragama Islam. Dan di titik ini pula lah, “intervensi” aspek keagamaan, utamanya dari kelompok Islam, menjadi variabel yang begitu berpengaruh ketika masuk dan memberikan ide-idenya dalam tata laksana berbagai dimensi politik dan pemerintahan, termasuk penerapan regulasinya.

Lantas dari situ, seperti apa kiranya dampak dari pencabutan lampiran Perpres itu terhadap aspek yang lebih komprehensif dan substansial?

Pencabutan Sangat Disayangkan?

Kembali, justifikasi pihak yang menolak Perpres poin investasi miras sudah sangat jelas, yakni aspek moralitas dan keagamaan. Namun pertanyaannya, bukankah dengan terbitnya regulasi itu justru dapat menjadi pintu masuk instrumen pengaturan yang lebih baik?

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Mengingat bahwa realitanya, konsumsi dan peredaran miras di Indonesia seolah masih terkesan ambigu jika mengacu pada konteks agama secara paripurna yang dengan jelas melarangnya. Selain itu peredaran dan konsumsi miras pun cukup masif dan tak jarang tak terkendali akibat aturan hukum yang kurang jelas dan tak memadai.

Baca juga: Ma’ruf Amin dan Rezim Sertifikat

Karenanya, ketegasan dan sikap pro-aktif pemerintah untuk menerbitkan aturan yang benar-benar jelas terkait miras sesungguhnya menjadi penting untuk dikedepankan sebagai sebuah bentuk hukum responsif.

Hukum responsif sendiri merupakan model atau teori yang digagas oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick. Dalam Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, keduanya menyebut hukum responsif merupakan sarana atau respons terhadap dinamika sosial dan aspirasi publik. Tipe hukum semacam ini juga mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.

Pada konteks miras, aspek sosialisasi dan inklusivitas seperti yang disinggung peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan sebelumnya tampak menjadi begitu penting.

Tidak hanya setelah regulasi ditetapkan, tetapi juga saat aturan tersebut dirumuskan dan dapat dipahami serta diterima signifikansi maupun rasionalisasinya bagi kebaikan bersama.

Selain itu, menurut pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Teuku Riefky, investasi minuman beralkohol sangat baik dari sisi ekonomi karena dapat membuka peluang penyerapan tenaga kerja dan menambah pemasukan negara.

Menurutnya, jika dapat diatur dengan baik, mulai dari investasi hingga peredarannya, benefit yang didapatkan dari miras justru dinilai akan jauh lebih banyak dari pada mudarat dan efek lainnya.

Riefky menandaskan, untuk itu pemerintah harus bisa merangkul tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk dapat meyakinkan.

Pada titik ini, jika digali secara substansial, komprehensif, dan memperhatikan realita di masyarakat, regulasi dari pemerintahan Presiden Jokowi yang optimal dan terarah, baik itu dalam aspek konsumsi, peredaran, hingga investasi minuman beralkohol atau miras agaknya menjadi sesuatu yang esensial untuk dilakukan.

Dalam Extent of alcohol prohibition in civil policy in Muslim majority countries: the impact of globalization, Basma Al‐Ansari dan Anne‐Marie Thow menyebut bahwa kebanyakan negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Turki, Albania, hingga Uzbekistan tidak melarang minuman beralkohol atau miras. Akan tetapi mereka membatasi atau mengatur produksi, distribusi dan konsumsi alkohol dengan seperangkat regulasi yang baik.

Memang tidak mudah untuk melakukan sinkronisasi mengenai persoalan ini dengan kalangan keagamaan. Namun hal itu tak lantas mustahil untuk diupayakan dan dapat berujung kebaikan bersama bagi semua pihak. (J61)

Baca juga: Rezim Jokowi Kombinasikan Orwellian dan Huxleyan?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?