Site icon PinterPolitik.com

Penangkapan KAMI, Ujian bagi Gatot?

Penangkapan KAMI, Ujian bagi Gatot?

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo (Foto: Liputan6)

Sudah ada delapan anggota KAMI yang ditangkap polisi saat ini. Dengan adanya penegasan dari Moeldoko beberapa waktu yang lalu agar KAMI tidak mengganggu stabilitas politik, mungkinkah penangkapan ini adalah perwujudan dari penegasan tersebut? Lalu, sebagai bagian dari KAMI, apa langkah Gatot Nurmantyo?  


PinterPolitik.com

Sejak awal kemunculannya, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sudah mendapatkan berbagai penilaian negatif. Ini tidak terlepas dari anggota KAMI yang notabene merupakan mereka yang sudah lama beroposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pelabelan barisan sakit hati kemudian menjadi tidak terhindarkan.

Gejolak awal kemudian muncul setelah KAMI melakukan deklarasi di berbagai tempat. Dengan adanya larangan berkumpul karena pandemi Covid-19, justifikasi untuk mendiskreditkan langkah KAMI dengan mudah diperoleh. Apalagi, petinggi KAMI seperti Gatot Nurmantyo justru menyibukkan diri dengan melempar narasi kontroversial perihal ancaman kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menjelang 30 September kemarin, Gatot juga tiba-tiba melempar narasi dengan mengaku bahwa dirinya dilengserkan dari pucuk pimpinan TNI karena perintah untuk menonton film pemberontakan G30S/PKI.

Pergerakan KAMI ini, terutama Gatot, kemudian memantik Kepala Staf Presiden (KSP) yang juga senior Gatot di TNI, Moeldoko untuk memberikan tanggapan. Menariknya, Moeldoko menyinggung perihal adanya kalkulasi negara terkait gerakan yang menggangu stabilitas politik nasional.

Konteks yang disinggung Moeldoko tampaknya telah teraktualisasi. Pasalnya, saat ini sudah terdapat delapan anggota KAMI yang ditangkap pihak Kepolisian karena diduga terkait dengan kerusuhan unjuk rasa menolak UU Ciptaker beberapa waktu yang lalu.

Menariknya, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyebutkan bahwa KAMI sebenarnya telah lama diincar. Selain itu, Neta juga menduga bahwa penangkapan ini juga bertujuan untuk menguji nyali Gatot. Lantas, mungkinkah demikian?

Demonstrasi adalah Momentum?

Meskipun terdengar tendensius, pernyataan Neta sekiranya layak untuk direnungkan. Melihat gelagat yang ada, memang terdapat langkah-langkah untuk menghalau pergerakan KAMI. Pada 19 Agustus lalu, misalnya, relawan Jokowi-Ma’ruf Amin mendeklarasikan Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA).

Kendati deklarator KITA menolak disebut sebagai tandingan KAMI, publik tentu dapat membaca bahwa dengan dipilihnya akronim KITA, itu memiliki makna yang lebih bersifat inklusif daripada akronim KAMI yang terdengar eksklusif.

Setelah deklarasi KITA, berbagai bentuk penolakan deklarasi KAMI, baik lisan maupun tindakan seperti demonstrasi kemudian tampak terlihat. Pada demonstrasi penolakan deklarasi KAMI di Surabaya beberapa waktu yang lalu, Gatot bahkan dengan tegas menyebutnya sebagai massa bayaran.

Menimbang pada peristiwa-peristiwa tersebut, dugaan Neta bahwa KAMI memang diincar sejak lama boleh jadi adalah suatu kebenaran. Yang lebih menarik adalah, Neta menduga bahwa demonstrasi kemarin adalah momentum untuk menangkap para anggota KAMI.

Dugaan Neta tersebut dapat kita pahami melalui politik catur. Saat ini, permainan catur telah dijadikan metafora untuk memahami situasi dan strategi politik. Hugh Patterson dalam tulisannya The Politics of Chess menyebutkan, baik dalam catur ataupun politik, menghindari serangan yang prematur adalah taktik yang penting untuk meminimalisir risiko kekalahan. Artinya, suatu pergerakan harus dilakukan dengan cermat.

Konteks yang disebutkan Patterson ini menjadi jawaban mengapa para anggota KAMI tidak segera ditangkap sejak awal. Pasalnya, jika itu dilakukan pemerintah akan dibaca publik telah melakukan suatu tindakan represif atas gerakan kritik. Ini jelas akan memicu gelombang sentimen anti-demokrasi di tengah publik. Dengan kata lain, itu adalah gerakan yang prematur.

Nah, dengan terjadinya kerusuhan saat demonstrasi penolakan UU Ciptaker kemarin, pemerintah kemudian mendapatkan momentum untuk menangkap anggota KAMI dengan dalih sebagai pihak yang terkait dengan kerusuhan. Dengan demikian, kendati tetap ada tudingan pemerintah telah berlaku represif, penangkapan tersebut dapat dibenarkan atas nama hukum.

Lalu, bagaimana dengan dugaan Neta lainnya bahwa penangkapan tersebut adalah uji nyali bagi Gatot?

In-Group Bias

Di kalangan eks Panglima TNI, Gatot memang harus diakui sebagai sosok yang paling memperlihatkan ambisi politiknya. John McBeth dalam tulisannya Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics bahkan menyebut Gatot merupakan satu-satunya Panglima TNI yang secara terang-terangan menunjukkan ambisi politik saat masih menjabat.

Manuver politik Gatot mulai terlihat ketika dirinya berusaha mengkonsolidasi kondusivitas keamanan bersama dengan Polri dan pemerintah saat demonstrasi 411 dan 212 pada 2016 silam. Sejak saat itu, Gatot dinilai membangun hubungan dengan kelompok-kelompok Islam yang memang tengah mendapatkan momentum kebangkitan.

Dengan pemerintahan Jokowi terlihat memiliki jarak dengan kelompok-kelompok Islam tersebut sejak kasus Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok, boleh jadi itu adalah awal keretakan hubungan Gatot dengan Istana. Apalagi, dengan KAMI yang mendapat dukungan dari kelompok tersebut, ini semakin mempertegas hal tersebut.

Saat ini, dengan Gatot semakin aktif melempar narasi yang menyudutkan pemerintah, seperti pemecatan dirinya karena instruksi menonton film G30S/PKI, besar kemungkinan Gatot telah menjadi sosok yang “menjengkelkan” bagi pemerintah. Oleh karenanya, seperti yang diduga Neta, penangkapan para anggota KAMI boleh jadi adalah sinyal bahwa Gatot adalah target selanjutnya.

Konteks tersebut dapat kita pahami melalui konsep yang disebut dengan in-group bias. Ini adalah bias kognitif yang membuat individu merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Menariknya, ketika individu telah merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu, ia juga merasakan apa yang tengah menimpa kelompoknya.

Misalnya, ketika kelompoknya dihina, ia akan merasa terhina. Ketika kelompoknya dipuji, ia juga turut berbangga. Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Kekerasan dan Identitas menyebut persoalan ini sebagai ilusi identitas. Akan tetapi, besar kecilnya emosi yang dirasakan tidaklah merata. Ini tergantung pada rasa keterikatan individu terhadap kelompok.

Nah, jika Gatot memiliki ikatan yang kuat dengan KAMI, boleh jadi Gatot tengah menerima efek emosi dari anggota kelompoknya yang ditangkap. Mengacu pada Sen, jika Gatot telah memahami KAMI sebagai identitasnya, keterikatan psikologis akan menjadi konsekuensi. Jika demikian yang terjadi, seperti yang disebut Neta, ini adalah uji nyali bagi Gatot.

Saat ini Gatot terlihat menunjukkan dirinya sebagai bagian dari KAMI. Ini terlihat dari usahanya mendatangi Bareskrim Polri untuk bertemu dengan Kapolri Jenderal Idham Azis. Sebelumnya, Gatot juga telah mengkritik Polri karena dinilai hanya membidik KAMI dengan digunakannya UU ITE.

Menariknya, dalam pernyataannya di Youtube Refly Harun, Gatot terlihat melunak. Bagaimana tidak, Ia mengungkit kenangan sewaktu masih menjadi Panglima TNI yang menerangkan presiden kesulitan meningkatkan investasi karena adanya tumpang tindih peraturan. Bahkan, Gatot juga menyebut UU Ciptaker memiliki tujuan yang mulia.  

Akan tetapi, tentu sukar menjustifikasi apakah Gatot telah terjebak dalam ilusi identitas tersebut. Pasalnya, ada pula analisis yang menyebutkan bahwa KAMI sebenarnya adalah tunggangan politik sang mantan Panglima TNI. Sebagaimana yang publik lihat, Gatot menunjukkan gelagat untuk maju sebagai kandidat calon presiden.

Dengan posisi Gatot yang tidak tergabung dalam partai politik, Ia jelas membutuhkan kendaraan politik untuk mendongkrak elektabilitasnya. Terlebih lagi, dengan Prabowo Subianto yang memilih masuk ke dalam pemerintahan, ini menjadi kesempatan emas Gatot untuk mendulang dukungan.

Di luar bagaimana hubungan emosi Gatot dengan KAMI, tentu menarik untuk mengikuti bagaimana pergerakan sang mantan Panglima TNI ke depannya. Terkait dugaan Neta bahwa Gatot bisa menjadi target tangkap selanjutnya, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version