HomeNalar PolitikPenamaan Omicron, WHO Khawatirkan Tiongkok?

Penamaan Omicron, WHO Khawatirkan Tiongkok?

World Health Organization (WHO) sebagai lembaga kesehatan dunia, harusnya  berada di atas segala kepentingan negara-negara. Banyak yang melihat bahwa dominasi dua kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok berdampak pada pegambilan keputusan WHO, salah satunya penamaan varian Omnicron. Lantas, benarkah dugaan tersebut?


PinterPolitik.com

Munculnya varian baru virus Corona varian B.1.1.529 atau Omicron menjadi atensi dunia. Varian ini diketahui telah terindetifikasi di  Indonesia. Varian Omicron pertama kali dilaporkan ke WHO dari Afrika Selatan pada 24 November lalu. Meskipun demikian, sampel awal ditemukan pada 11 November 2021 yang menunjukkan varian ini ada di Botswana, salah satu negara di Afrika bagian selatan. Virus diidentifikasi telah menyebar di Botswana, Belgia, Hong Kong, dan Israel. Varian ini disebut lebih berbahaya ketimbang varian Corona lainnya.

Profesor Tulio de Oliveira, Direktur Pusat Respons dan Inovasi Epidemi Afrika Selatan, mengatakan,  varian ini mempunyai konstelasi mutasi yang tidak biasa dan sangat berbeda dari varian Corona lain yang telah menyebar di seluruh dunia. Oliveira melanjutkan bahwa varian baru ini secara keseluruhan memiliki 50 mutasi, lebih dari 30 mutasi terdapat pada spike protein (taji protein). Bagian ini adalah alat yang digunakan virus untuk membuka pintu ke sel-sel tubuh manusia sekaligus yang disasar sebagian besar vaksin.

Satu hal yang menarik, selain dari pernyataan Oliveira yang menggambarkan bahwa sejauh ini varian Omnicron paling berbahaya, adalah pemilihan nama varian baru ini. Banyak yang menilai dalam memilih nama varian ini, World Health Organization (WHO) dipengaruhi oleh kekuatan politik. lantas, seperti apa politik nomenklatur WHO tersebut?

Politik Nomenklatur WHO

Sejak  awal, sekitar tahun 2019 mulai ditemukan beberapa mutasi dari  varian virus Corona. Peristiwa ini yang membuat WHO sebagai lembaga internasional yang bertanggungjawab dalam penanganan pandemi di dunia, mulai membuat daftar nama-nama varian dari virus Corona. Dengan berbagai pertimbangan, ditetapkan sistem penamaan sederhana untuk varian baru virus per Mei 2021. Setiap varian baru akan diberi nama sesuai huruf berurutan dalam alfabet Yunani.

Tujuan dari penggunaan alfabet Yunani untuk memudahkan bagi komunitas non-ilmiah untuk membahas varian Corona. Dengan demikian, salah satu varian pertama dengan mutasi signifikan yang pertama kali diurutkan di Inggris yaitu B.1.1.7 kemudian diberi nama Alfa. Sedangkan varian berikutnya yang muncul di Afrika Selatan pada tahun 2020 bernama Beta.

Dengan metode di atas, WHO menamai varian baru B.1.1.529 sebagai Omicron yang merupakan huruf ke-15 dalam alfabet Yunani. Huruf Omicron setara dengan huruf bahasa Inggris yang terdengar pendek “O”. Istilah varian Omicron digunakan memang dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat dunia. Namun, pemilihan nomenklatur ini mendapat kritik dari media sosial yang menilai WHO tidak konsisten atas kebijakannya.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Hal ini disebabkan karena WHO melewatkan dua alfabet dalam bahasa Yunani sekaligus. Dua alfabet tersebut adalah Nu dan Xi, melompat langsung menggunakan kata Omicron sehingga tidak urut seperti deretan alfabetnya. Sebagian orang menilai dua huruf tersebut dilewatkan agar tidak menyinggung perasaaan Presiden Tiongkok Xi Jinping.

Apalagi, telah lama berhembus dugaan, terdapat kedekatan secara politik antara WHO dengan Tiongkok. Banyak yang mengaitkan hubungan Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, ahli mikrobiologi asal Ethiopia yang kini menjabat Direktur Jenderal WHO, disebut-sebut memiliki koneksi dengan Tiongkok.

Kedekatan Tedros dengan Tiongkok dapat diikuti semenjak masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan Ethiopia pada tahun 2005-2012 dan sebagai Menteri Luar Negeri Ethiopia pada tahun 2012-2016. Kala itu, Dirjen WHO tersebut dianggap telah menjalankan banyak kerja sama dan kedekatan diplomatik dengan Tiongkok.

Selain itu, Tedros juga merupakan figur yang didukung oleh Tiongkok dalam pemilihan Dirjen WHO pada tahun 2017. Dukungan tersebut tetap kuat meski mantan Menkes Ethiopia tersebut dituding melakukan penutupan informasi terkait wabah Kolera di negara asalnya.

Tidak menutup kemungkinan, Tedros memunculkan kekuatan personal networking bagi Tiongkok untuk memengaruhi WHO. Dalam literasi ilmu politik, personal networking merupakan salah satu instrumen dari suatu kelompok kepentingan untuk mempengaruhi pengambilan kekuasaan.

Namun, kabar tersebut langsung dibantah WHO yang menilai alfebet Nu dan Xi bisa dengan mudah memicu kesalahan penyebutan. Menurut WHO, kata Nu terlalu mudah dikacaukan dengan new, dan Xi tidak digunakan karena itu adalah nama belakang yang umum. WHO juga menambahkan bahwa penamaan penyakit menurut aturannya disarankan untuk menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan pelanggaran terhadap siapa pun, termasuk kelompok budaya, sosial, nasional, regional, profesional atau etnis.

Meski WHO membantah keterkaitan yang disinggung di atas, tak dapat dipungkiri bahwa dalam percaturan politik internasional, dua kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, keduanya saling unjuk pengaruh. Lantas, seperti apa persaingan pengaruh kedua kekuatan Timur dan Barat itu?

Persaingan Timur dan Barat

Dalam sejarahnya, tidak sedikit rezim dan organisasi internasional memiliki kecenderungan untuk dipengaruhi oleh beberapa negara, khususnya negara yang memiliki kekuatan dominan. Bisa jadi, WHO kali ini juga mendapatkan pengaruh serupa dengan tumbuhnya kekuatan Tiongkok di panggung politik dunia.

Stephen D. Krasner dalam tulisannya yang berjudul Structural Causes and Regime Consequences, menjelaskan bahwa rezim internasional tetaplah menjadi instrumen bagi negara-negara untuk mengoptimalkan kepentingan dan kekuatan mereka.

Baca juga :  Betulkah Jokowi Melemah? 

Rezim internasional sendiri merupakan serangkaian norma, aturan, prinsip, dan prosedur pengambilan keputusan yang diyakini bersama oleh negara-negara dalam suatu area isu. Biasanya, suatu rezim internasional dibangun melalui institusi atau organisasi internasional yang mengatur rangkaian norma tersebut.

WHO, misalnya, merupakan organisasi internasional dalam rezim kesehatan dunia. Dengan kehadiran WHO, negara-negara dapat menjalankan kerja sama dalam menangani persoalan-persoalan kesehatan. Meski lembaga ini akhirnya terdengar seperti tempat terwujudnya tujuan kerja sama antarnegara, WHO tak serta merta bisa dianggap sebagai tujuan akhir politik luar negeri bagi beberapa negara.

AS selama bertahun-tahun memang merupakan negara yang memiliki pengaruh yang besar di panggung politik internasional. Dengan jumlah kontribusi terbesar, bukan tidak mungkin negara tersebut juga memiliki pengaruh yang besar di WHO.

AS merupakan pemberi dana terbesar di lembaga kesehatan dunia itu. Pada tahun 2017, Paman Sam memberikan kontribusi sebesar US$ 115,4 juta (sekitar Rp 1,56 triliun). AS menyumbangkan 22 persen dari total kontribusi yang WHO dapatkan dari negara-negara anggotanya.

Dana sebesar itu dapat memberikan kekuatan struktural (structural power) bagi AS. Mengacu pada pemikiran Susan Strange, kekuatan struktural dapat dipahami sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu negara untuk memengaruhi struktur interaksi melalui aturan-aturan yang dapat memodifikasi opsi-opsi yang dimiliki oleh aktor-aktor lain.

Bukan tidak mungkin, persaingan kedua kekuataan antara AS dan Tiongkok juga terjadi di WHO. Seperti yang disebutkan mantan konsultan WHO, Charles Clift pada 2014 lalu, WHO disebutnya terlalu politis dan demokratis. Beberapa waktu yang lalu, jurnalis Kai Kupferschmidt juga menyebut Tedros tidak mampu menyinggung pemerintah Tiongkok yang terkenal sensitif di masalah penolakan negeri Tirai Bambu terhadap delegasi WHO untuk menyelidiki virus Corona di Wuhan.

Pada kasus penamaan varian Omnicron, konteks seperti yang disebutkan Kai Kupferschmidt bukan tidak mungkin terjadi, yakni WHO tidak ingin menyinggung perasaaan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pada Februari 2020, ketika WHO memuji keberhasilan Tiongkok menangani Covid-19, Paman Sam juga diketahui tidak senang.

Pada 27 November, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memuji Afrika Selatan karena cepat mengidentifikasi varian Omicron dan membagikan informasi tersebut kepada dunia. Banyak yang menilai pujian itu adalah sindiran AS kepada Tiongkok karena menutup-nutupi informasi soal virus Corona.

Well, terlepas dari adanya intensi politik di balik penamaan varian Omicron, yang jelas perdebatan soal tarikan politik di WHO telah menjadi diskursus umum. Jika benar-benar ada, semoga tarikan-tarikan yang ada tidak menjadi ganjalan WHO dalam menjalankan fungsi dan perannya. (I76)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...