Peristiwa pengeroyokan polisi oleh massa ormas Pemuda Pancasila menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Apakah peristiwa ini menjadi indikasi kemunduran civil society di Indonesia?
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh ormas Pemuda Pancasila (PP) di depan Gedung DPR RI menjadi atensi publik. Hal ini tidak lepas dari kericuhan yang terjadi akibat insiden pengeroyokan seorang anggota polisi. Kepala Bagian Operasi (KBO) Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Dermawan Karosekali menjadi korban pengeroyokan dan mengalami luka berat setelah dianiaya massa dari ormas Pemuda Pancasila.
Setelah pengeroyokan, Karosekali langsung dibawa ke Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur. Menurut pihak rumah sakit, Karosekali menderita trauma di perut akibat pengeroyokan yang dilakukan massa Pemuda Pancasila.
Fenomena ini ditanggapi oleh Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik, yang menyebut peristiwa seperti ini dapat dikategorikan sebagai hate crime. Reza mendefinisikan hate crime sebagai suatu kondisi penyerangan yang dilakukan oleh seseorang karena sudah memiliki sentimen negatif terhadap sesuatu. Dalam konteks pengeroyokan aparat polisi, Reza memperingati adanya kejahatan kebencian yang diduga melatarbelakangi tindak penganiayaan.
Pertikaian berujung kekerasan yang turut melibatkan ormas Pemuda Pancasila sudah berulangkali terjadi. Sebelumnya, dalam catatan pemberitaan, ormas ini sempat terlibat bentrokan dengan ormas Forum Betawi Rempung di Ciledug, Tangerang pada 19 November 2021.
Alih-alih menjadi sebuah komponen masyarakat madani, di mana ormas selalu diidentikkan sebagai bagian dari civil society, seringkali ormas malah menjadi lokus dari sebuah konflik yang di pertontonkan di tengah masyarakat.
Lantas, seperti apa posisi ormas yang dianggap sebagai bagian dari civil society?
Ormas Adalah Civil Society?
Tidak dipungkiri pandangan umum tentang istilah ormas, berujung pada pengertian organisasi massa atau organisasi kemasyarakatan. Sering pula kita mengidentifikasi ormas adalah bagian dari civil society, di mana civil society dipahami secara sederhana sebagai masyarakat sipil, bukan pemerintah dan bukan militer.
Eryanto Nugroho, dalam tulisannya Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil Indonesia, mengatakan, civil society (masyarakat sipil) adalah sebuah konsep yang tidak sederhana, hal ini disebabkan karena ada istilah “sipil” di dalamnya, yang tak jarang dipahami bahwa ini soal dikotomi antara sipil-militer.
Menurut Nugroho, konsep masyarakat sipil bersifat multi-dimensi, dan sarat perdebatan. Hal ini dikarenakan konsep ini dapat ditarik pengertiannya hingga ribuan tahun ke belakang. Dimulai dari Aristoteles (politiken koinonian), Cicero (societas civilis), Hobbes, Locke, Hegel, Marx, Ferguson, de Tocqueville, Gramsci dan sederetan pemikir penting lainnya.
Hal ini menjelaskan bahwa diskusi tentang konsep masyarakat sipil, diwarnai sejarah perdebatan dari para pemikir klasik maupun modern, yang hadir dari berbagai spektrum pemikiran. Dampak perdebatan ini juga berujung pada penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia.
Banyak pemikir Indonesia yang punya beragam pemahaman berbeda tentang masyarakat sipil. Terdapat Nurcholis Madjid yang menerjemahkan civil society sebagai “Masyarakat Madani”, Soetandyo Wignjosoebroto dengan “Masyarakat Warga”, dan Mansour Fakih memilih menerjemahkan sebagai “Masyarakat Sipil”.
Sedangkan Lingkar LSM dalam portal resmi, mendefinisikan civil Society yang berangkat dari istilah Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) diartikan sebagai Non Governmental Organization (NGO), yang lebih banyak menunjukkan tentang apa saja yang bukan termasuk, bukan malah menunjukkan apa saja yang termasuk di dalamnya. Maka, disepakati untuk menggunakan istilah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) atau Civil Society Organization (CSO), sebab lebih kompatibel dan akomodatif terhadap keberagaman OMS.
Jika ditelusuri, perbedaan sektor masyarakat sipil juga dapat dibedakan dari sektor negara (state) dan sektor pasar (market). Menariknya, sektor masyarakat sipil juga punya nama lain, yang mencerminkan keluasan lingkup dan perbedaan cara pandang atas sektor ini, yaitu Sektor Nirlaba (Nonprofit Sector), Sektor Ketiga (Third Sector), Sektor Kesukarelaan (Voluntary Sector) dan berbagai nama lainnya.
Seperti yang telah disinggung di atas, salah satu aktor di sektor masyarakat sipil adalah CSO atau OMS. OMS meliputi beragam jenis organisasi, mulai dari organisasi berbasis keyakinan (faith-based organisations), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi berbasis komunitas (community-based organisations), lembaga riset independen (independent research institutes), organisasi keanggotaan berbasis massa (mass-based membership organisations), organisasi relawan (volunteer organisations) dan lain sebagainya.
Masih dalam tulisan Nugroho, yang mengutip Salamon dan Sokolowski kemudian mendefinisikan ciri-ciri entitas yang terdapat dalam sektor masyarakat sipil sebagai berikut. Pertama, organizations. Memiliki struktur dan keteraturan dalam beroperasi (baik formal maupun informal). Kedua, private. Bukan bagian dari negara. Ketiga, not profit distributing alias nirlaba. Keempat, self-governing. Terdapat mekanisme tata kelola internal yang mandiri. Kelima, voluntary. Keterlibatan ataupun keanggotaan dalam organisasi itu bersifat sukarela, bukan karena suatu kewajiban.
Secara terbuka dan eksplisit, dapat diambil kesimpulan bahwa uraian di atas dapat diterjemahkan bahwa OMS tidak dapat begitu saja disempitkan pemaknaannya menjadi ormas. Ruang lingkup OMS lebih luas dibandingkan ormas.
Bersandar pada konteks polemik Pemuda Pancasila, sebagai sebuah ormas, seringkali terlibat konflik dengan pihak di luar dirinya. Muncul pertanyaan, kenapa hal itu dapat terjadi?
Alegorisasi Ekosistem Ormas
Untuk menjawab pertanyaan apa yang melatarbelakangi konflik-konflik di atas, spesifik pada ormas Pemuda Pancasila, dapat dijelaskan dengan pendekatan alegorisasi ekosistem.
Alegorisasi sebenarnya adalah istilah yang sering ditemukan dalam ilmu tafsir, di mana dalam menafsirkan sebuah teks atau simbol, kita dapat memahami teks melalui metodologi perumpamaan-perumpamaan. Alegorisasi ekosistem, adalah upaya untuk mengumpamakan bahwa objek yang diteliti mempunyai sebuah ekosistem, atau objek itu adalah bagian dari sebuah ekosistem.
Secara sederhana, pengertian ekosistem adalah suatu tatanan dan kesatuan yang secara utuh dan menyeluruh di antara segenap komponen lingkungan hidup. Komponen ini saling berinteraksi dan pada akhirnya membentuk kesatuan yang teratur dan dinamis. Jika kita memperhatikan di sekeliling kita, ada beragam interaksi mahluk hidup yang menghasilkan harmoni dan keseimbangan hidup. Pola hubungan ini menciptakan keterikatan antara komponen yang satu dan lainnya. Hal ini merujuk pada apa yang disebut dengan ekosistem.
Konflik antar ormas, sering terjadi dalam masyarakat kita. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti perebutan daerah kekuasaan maupun gesekan antar anggota yang melibatkan organisasi secara keseluruhan. Perlu kepemimpinan ormas yang bijak untuk mencegah permasalahan seperti ini.
Setidaknya, peristiwa seperti di atas sering terjadi dalam sebuah ekosistem yang memiliki komponen pembentuk, seperti produsen, konsumen dan pengurai.
Hubungan produsen-konsumen menjadi alasan terjadinya sebuah ekosistem, di mana terdapat ketergantungan dependen dari konsumen kepada produsen. Di sisi lain, terdapat pengurai, yakni organisme yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan.
Hukum dapat dijadikan aturan yang membuat ekosistem ini menjadi harmoni. Para ormas harus memiliki kesadaran taat hukum yang merupakan konsekuensi logis agar menjadi organisme yang cenderung membentuk harmoni atau keteraturan, bukan konflik atau kekacauan.
Keseimbangan adalah kunci, hal ini juga sebagai dorongan untuk menolak ungkapan-ungkapan yang tidak bertanggungjawab, yaitu ungkapan bahwa sesuatu jika telah dianggap bermasalah, maka dibubarkan. Meski sering kita dengar terjadi konflik yang disebabkan Pemuda Pancasila, ormas ini adalah organisme dari ekosistem bernegara kita. Organisme yang mempunyai fungsi tersendiri dalam ekosistem.
Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan bahwa kekacauan yang dilakukan oleh ormas, seperti peristiwa Pemuda Pancasila di atas, tidak serta merta dapat dimaknai sebagai kemunduran dari civil society yang merupakan pilar demokrasi di negara kita. Karena Civil Society adalah galaksi luas yang di dalamnya terdapat ormas sebagai salah satu planetnya. Hukum harus menjadi sistem norma yang menjamin ekosistem dalam masyarakat dapat berlangsung harmonis. (I76)