Kepemimpinan perempuan di dunia politik memang masih bisa dihitung jari. Tetapi apa pola yang hampir selalu ada?
PinterPolitik.com
[dropcap]W[/dropcap]an Azizah Wan Ismail, sah menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan Malaysia. Mahatir Mohammad yang resmi terpilih sebagai Perdana Menteri (PM) pada 9 Mei lalu, sudah jauh-jauh hari “melamarnya” untuk menduduki posisi tersebut.
Dibandingkan dengan Mahatir Mohammad dan Anwar Ibrahim, Wan Azizah memang belum mendapat perhatian lebih. Selama ini, dunia politik Malaysia terfokus pada tiga tokoh laki-laki, yakni Mahatir Mohammad, Najib Razak, dan Anwar Ibrahim. Walau begitu, sosok Wan Azizah Wan Ismail bukan berarti tak layak untuk ditelusuri.
Wan Azizah Wan Ismail barangkali tak pernah punya rencana atau bayangan, bila politisi adalah karir yang akan ditekuninya di kemudian hari. Bagaimana tidak? Sejak sekolah, perempuan berusia 66 tahun ini fokus ingin menjadi dokter. Ia menuntaskan sekolah di St. Nicholas Convent School dan Tunku Kurshiah Tinggi di Seremban, Malaysia. Selanjutnya ia melanjutkan studi kedokteran di Royal College of Surgeons di Irlandia dan mendapatkan anugerah medali emas di bidang kebidanan dan ginekologi.
Tak mengherankan bila kemudian perempuan cemerlang kelahiran Kedah tersebut, ditasbihkan sebagai dokter terbaik. Wan Azizah menggeluti profesi kedokteran 14 tahun lamanya, hingga di tahun 1993 dirinya memutuskan terjun ke dunia politik. Keputusan itu diambilnya bersamaan dengan sepak terjang sang suami yang sedang ranum di pemerintahan Malaysia, Anwar Ibrahim dipercaya Mahatir Mohamad menjadi wakil Perdana Menteri.
Saat itu, Wan Azizah ambil bagian sebagai penanggung jawab Makna (Majilis Kanser Nasional atau Dewan Kanker Nasional). Selanjutnya, karir politiknya mulai berjalan mulus dengan jabatan sebagai Ketua Partai Keadilan Rakyat dan berhasil mendapat bangku dalam parlemen Permatang Pauh untuk periode 1999-2000.
Wan Azizah juga menjadi perempuan kedua yang memimpin parpol atau Partai Buruh setelah Ganga Nayar. Ganga Nayar sendiri adalah pendiri dan ketua Partai Buruh di tahun 1978, ia juga menjadi perempuan pertama yang mendirikan dan menjadi ketua parpol di Malaysia.
Saat Anwar Ibrahim mulai menemui kerikil akibat kritik vulgarnya pada Mahatir, Wan Azizah ikut kompak dengan berdiri sebagai pemimpin oposisi di Dewan Rakyat pada Maret 2008. Pada Juli 2008, ia memutuskan mundur dari pemimpin oposisi untuk memberi jalan kepada suaminya memenangkan pemilu pada Agustus 2008.
Sepak terjang Wan Azizah yang kini menjadi perempuan pertama dengan jabatan tertinggi di pemerintahan Malaysia, mengingatkan pula pada sosok Megawati Soekarnoputeri. Ia juga mendapatkan “status” sebagai perempuan pertama yang punya jabatan tertinggi, yakni presiden, sekaligus juga sebagai pemimpin salah satu partai terbesar di Indonesia.
Selain kesamaan “status” yang diterima, hal yang tak bisa dipisahkan lainnya adalah keberadaan nama laki-laki berpengaruh yang menyokong posisi mereka dalam dunia politik. Sepak terjang politik Anwar Ibrahim, selaku suami Wan Azizah yang berliku, vokal, dan dramatis, turut memberi dirinya kepercayaan untuk menduduki beberapa jabatan di pemerintahan. Anwar Ibrahim juga memiliki basis massa yang cukup besar karena dahulu, selalu berada di posisi oposisi pemerintah.
Tak jauh berbeda, Megawati pun juga ditawari terjun ke dunia politik karena nama ayahnya. Sosok Megawati di dunia politik pun, awalnya hanya dimanfaatkan sebagai antitesis rezim Orde Baru, sebelum akhirnya ia mampu menciptakan basis massa sendiri dan berbalik memukul pihak yang berusaha melumpuhkannya. Tetapi sekali lagi, Megawati memang punya kekuatan karena nama Bung Karno di belakangnya.
Lantas selain Megawati, apakah pola yang sama juga ditemukan lagi di tempat lain? Mengapa pula nama besar atau keberadaan laki-laki di belakang politisi perempuan bisa memberi kepentingan tersendiri?
Pemimpin Perempuan dan Dinasti Politik di Asia
Bagi Claudia Derichs dan Mark Thompson dalam Dynasties and Female Political Leaders in Asia, kepemimpinan perempuan di negara yang paternalistik dan patrialkal sangat menarik dan mengundang perhatian para peneliti dan media Barat. Di saat yang bersamaan pula, mudah dilacak bagaimana latar belakang sosok pemimpin perempuan yang berada di tampuk kekuasaan, ternyata masih memiliki hubungan atau relasi tertentu dengan politisi laki-laki.
Annemari de Silva kemudian seakan melengkapi penemuan Derichs dan Thompson. Dalam tulisan Dynasty and Double Standards: Women Leaders in South Asia, disebutkan kepemimpinan perempuan Asia seringkali lekat dengan budaya politik dinasti. Menurut de Silva, laki-laki masih memiliki ruang (space) lebih luas dan lebar untuk menjadi pemimpin secara meritokrat, dibandingkan dengan perempuan. Politisi perempuan di Asia, masih harus bersandar dengan ikatan personal dan/atau relasi kekeluargaan dari laki-laki berpengaruh (powerful).
Jangkauan penelitian Annemari memang berada ditataran Asia Selatan saja, tetapi ternyata pola serupa sebetulnya juga ditemukan di Asia Tenggara dan juga Asia Timur. Di tataran Asia Tenggara, selain nama Megawati dan Wan Azizah, ada pula nama Aung San Suu Kyi, Corazon Aquino, Macapagal Arroyo, hingga Yingluck Shinawatra.
Aung San Suu Kyi yang saat ini terbelenggu kasus HAM Rohingnya, adalah anak dari pemimpin kemerdekaan sekaligus founding father Myanmar, Aung San. Corazon Aquino, yang dijuluki “Ibu Demokrasi Asia” adalah istri dari politisi kontroversial Filipina yang meninggal karena pembunuhan, Benigno Aquino Jr. Lalu Gloria Macapagal Arroyo adalah puteri mantan presiden ke-9 Filipina, Diosdado Macapagal. Hingga Yingluck Shinawatra yang saat ini dijatuhi delik korupsi, adalah adik mantan PM dan miliuner Thailand, Thaksin Shinawatra.
Bila meneruskan daftar, di bagian Asia Timur ada nama Park Geun-hye, mantan presiden Korsel yang dijatuhkan karena skandal korupsi. Geun-hye adalah anak dari presiden sekaligus diktator Korsel, Park Chung-hee. Belum lagi menyebut Benazir Bhutto dari Pakistan yang juga anak dari PM Zulfikar Ali Bhutto yang meninggal dieksekusi. Hingga yang terakhir adalah Indira Gandhi, PM perempuan pertama India yang juga puteri dari PM India pertama, Jawaharlal Nehru.
Beberapa pemimpin tersebut dipilih oleh rakyat dalam sistem demokrasi, dan tidak semuanya mendapatkan jabatan karena ditunjuk atau diwariskan begitu saja. Di Indonesia, bisa diingat dengan mudah bagaimana rakyat antusias dan berbondong-bondong memerahkan jalanan untuk mendukung dan memilih Megawati di masa Reformasi. Sementara Wan Azizah, punya jabatan karena ditunjuk langsung oleh Mahatir Mohamad.
Lantas, jika budaya politik dinasti memang benar menjadi sebuah pola dalam kepemimpinan perempuan di Asia, apakah lantas kepemimpinan tersebut menjadi buruk?
Antara Citra dan Kemampuan
Max Weber, sosiolog asal Jerman, pernah mengungkapkan teori mengenai kharisma. Menurutnya kharisma adalah sebuah kualitas personal individu yang dianggap tak banyak dimiliki orang, sehingga kharisma diperlakukan sebagai sebuah otoritas kekuasaan, nilai kekuatan super (superhuman) atau bahkan kekuatan supernatural. Dan kharisma ini, menurut Weber, selain menempel pada seseorang, ternyata bisa diturunkan atau diwariskan.
Pemimpin perempuan yang sudah disebutkan di atas, bisa dipastikan menerima apa yang Weber namakan dengan inherited charisma atau kharisma yang diturunkan. Kharisma pada akhirnya menjadi sebuah bentuk mekanisme supaya kekuasaan terus berlangsung dan langgeng.
Weber menambahkan bila kharisma bagi seorang laki-laki menjadi faktor yang dianggap berasal dari dalam dirinya. Sementara bagi perempuan, terutama bagi politisi perempuan, faktor kharisma tak dilihat sebagai faktor dari dalam diri melainkan ‘bawaan’ dari laki-laki yang ada di belakangnya. Elemen kharisma ini, di satu sisi menunjukan ketimpangan yang lebar, tetapi juga menjadi sebuah kekuatan tersendiri bagi pemimpin perempuan dalam budaya dinasti politik.
Keberadaan perempuan di panggung politik, memang lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Di Indonesia sendiri, partisipasi politik dan pemerintahan perempuan masih berkisar di angka 19,3 persen. Dari angka yang kecil tersebut, tentu keberadaan perempuan dalam dunia politik perlu diapresiasi dan berusaha ditingkatkan.
Tetapi selain apresiasi, perlu pula menyadari dan mengetahui bahwa ternyata hak politik perempuan harus disokong untuk mencapai kesetaraan akses. Penyokong ini, selain nama besar relasi keluarga dan juga kharisma yang diturunkan (inherited charisma), juga keberadaan keistimewaan ekonomi dan pendidikan. Tentu saja tak banyak yang memiliki previlese semacam ini.
Dengan demikian, pertanyaan apakah dinasti politik para politisi perempuan buruk, menjadi tidak relevan lagi. Pertanyaan yang perlu dihadirkan adalah sudah sejauh mana kekuasaan pemimpin perempuan ini bisa memajukan perempuan?
Sejarah sudah merekam dan mencatat sepak terjang para politisi perempuan yang disebutkan di atas. Jawabannya pun bisa dicari dengan mudah. Nah, apakah Wan Azizah akan kembali mengambil pola yang sama? (A27)