Melihat situasi politik Indonesia yang semakin tidak karuan, maka kita membutuhkan konsensus baru untuk meredam pengaruh oligarki dalam sistem demokrasi di negara ini.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]G[/dropcap]ubernur Papua, Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dalam kasus Pilkada Tolikara. Hal ini disebabkan karena ia berusaha mengajak masyarakat Tolikara untuk memilih pasangan calon tertentu dalam Pemilihan Bupati Tolikara. Hal ini dianggap sebagai langkah awal untuk memperkuat posisi dan peluangnya untuk kembali menjabat sebagai gubernur pada Pilkada dua tahun mendatang, demikian informasi yang disadur dari kompas.com. Polemik pesta demokrasi di tanah Papua ini menjadi potret nyata tentang ketimpangan pada tubuh demokrasi yang digerogoti oleh virus oligarki. “Quo Vadis” (mau di bawah kemana) demokrasi di Indonesia?
Lika-liku Demokrasi di Indonesia
Praktik demokrasi yang sejatinya memiliki keberpihakan terhadap kepentingan rakyat telah mengalami perkembangan dari zaman ke zaman, terutama di Indonesia. Dengan berpijak pada nilai-nilai luhur pancasila dan semboyan bhinneka tunggal ika, Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara kesatuan yang menganut paham demokrasi pancasila. Sejak zaman Soekarno, Soeharto hingga kini praktik demokrasi mengalami perkembangan secara signifikan.
Pelaksanaan demokrasi di zaman orde lama yang bernaung di bawah konsep NASAKOM yang dinilai akan berbeda dengan negara-negara komunis lainnya karena telah dipadukan dengan paham sosialis. Konsep yang semula diharapkan mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan rakyat, justru pada kenyataannya menahbiskan Soekarno sebagai penguasa tunggal, seperti yang diulas dalam eramuslim.com.
Berbeda dengan zaman Soekarno, Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto berusaha menampilkan wajah demokrasi secara baru. Demokrasi zaman Soeharto, rupanya bernaung di bawah kepentingan kaum kapitalis yang berujung pada menumpuknya utang negara. Pembatasan maupun pemboikotan kesempatan untuk beraspirasi baik lisan maupun tulisan dan dominasi ABRI dalam aneka bidang kehidupan serta praktik KKN menjadi ciri khas dalam rezim ini. Pasca Soeharto, merupakan momen yang menentukan bagi perkembangan demokrasi di nusantara.
Dengan alih-alih untuk memberantas praktik KKN dan berikhtiar untuk menangkal status quo yang tumbuh subur di zaman Soeharto, demokrasi di zaman reformasi justru menemui arah yang terjal nan berliku. Sekali pun telah berhasil membuka peluang bagi masyarakat untuk beraspirasi secara terbuka dan penghapusan dominasi ABRI dalam segala lini, namun praktik KKN justru menemukan lahan yang potensial untuk tumbuh di zaman ini. Selain itu, praktik politik yang mengatasnamakan kepentingan pribadi atau sekelompok orang sudah tak lagi menjadi hal baru di zaman ini.
Kebebasan pers justru menjadi bumerang bagi pemerintah sebab ada oknum-oknum tertentu yang menyebarkan komentar berbau SARA di media sosial bahkan ada yang sampai menghina presiden maupun kapolri. Situasi semacam ini menjadi tanda bahaya tak hanya bagi kinerja pemerintah maupun aparat berwajib melainkan juga tanda waspada bagi budaya toleransi komunal yang seharusnya menjadi ciri khas dari kearifan budaya masyarakat Indonesia yang majemuk.
Praktik Oligarki dalam Pilkada Mengancam Demokrasi
Praktik KKN dan munculnya ormas-ormas yang intoleran maupun radikal serta isu SARA tidak sekedar hanya wacana, malahan telah menjadi ‘habitus baru’ dalam dunia pemeritahan maupun perpolitikan Indonesia di era reformasi ini. Ketimpangan yang merasuki sistem kehidupan pada umumnya maupun sistem demokrasi pada khususnya dipengaruhi oleh virus oligarki yang menyelinap dalam diri maupun kebijakan para pemimpin negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Maka dengan demikian, demokrasi yang ideal kehilangan wajah aslinya. Oligarki seperti yang diungkapkan oleh Jeffrey A. Winters dalam buku Oligarchy. Winters mendefinisikan oligarki sebagai “bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di tangan minoritas kecil”.
Penjelasan di atas barangkali dapat kita cermati di Indonesia dengan munculnya politik dinasti. Dimana otoritas eksekutif, legislatif dan yudikatif dikuasai oleh segelintir orang berduit dan berkepentingan politis. Salah satu contoh kasus yang diduga menjadi polemik atas kedigdayaan oligarki terhadap demokrasi saat ini adalah kasus pemilihan bupati Tolikara, Papua. Kisruh pemilihan bupati Tolikara berbuntut panjang. Nasib Lukas Enembe yang menjabat sebagai Gubernur Papua saat ini menjadi terancam. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan dikenai Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 juncto Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dengan hukuman maksimal 6 bulan kurungan penjara, berdasarkan ulasan dari harianindo.com.
Dalam kasus ini, kita dapat melihat bahwa konsep kebebasan berpendapat yang merupakan salah satu ciri khas demokrasi kehilangan rohnya. Hak masyarakat Tolikara untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu dibatasi. Mereka tak diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan pemimpin yang sesuai hati nurani karena diduga telah mendapat intervensi dari Lukas Enembe, Gubernur Papua saat ini.
(sumber : tabloidjubi.com)
Maka yang menjadi pelaku oligarkis (oligark) adalah gubernur Papua, Lukas Enembe, sedangkan masyarakat Tolikara dapat diidentifikasikan sebagai korban ‘politik kepentingan’ Lukas yang ingin mempertahankan otoritasnya sebagai orang no. 1 di propinsi Papua. Dengan demikian, Kasus pilkada Tolikara menambah deretan panjang noktah hitam tentang penyelewengan pilkada yang terjadi di negara ini atau dengan kata lain kasus pilkada Tolikara semakin menguatkan pengaruh oligarkis dalam tubuh demokrasi pancasila di Indonesia.
Demokrasi Deliberatif sebagai Konsensus yang Tepat (?)
Melihat situasi politik Indonesia yang semakin tidak karuan, maka kita membutuhkan konsensus baru untuk meredam pengaruh oligarki dalam sistem demokrasi di negara ini. Dengan meninjau situasi negara kita yang terdiri dari masyarakat majemuk, maka perlu ada penataan ulang relasi antara pemerintah dan masyarakat melalui konsep demokrasi deliberatif. Selain menjalin komunikasi yang intensif antara masyarakat luas dan pemerintah, perlu juga mengabaikan bahkan meniadakan segala bentuk denominasi fundamentalis yang bertentangan dengan ideologi negara dan demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif menjadi sebuah keharusan yang perlu dilakasanakan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mencapai situasi yang adil dan damai.
Pemerintah, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif perlu peka terhadap kepentingan masyarakat. Segala bentuk pengambilan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah perlu mengesampingkan kepentingan privat dan lebih mengedepankan kepentingan kolektif. Maka, pemerintah perlu memberikan ruang yang bebas bagi masyarakat untuk beraspirasi secara kritis dan sebaliknya masyarakat juga perlu menjalin kerja sama mutual dengan pemerintah untuk membuka jalan menuju keadilan dan kesejahteraan sosial. Selain itu, peran serta pers, LSM dan lembaga sosial lainnya menjadi penting sebab melaluinya masyarakat mampu memperoleh ruang untuk beraspirasi secara terbuka, lugas dan kritis. Namun, kita tak bisa memungkiri bahwa secara realistis situasi demokrasi Indonesia yang masih berusaha mencari ‘jati diri’. Praktik KKN semakin merajalela dan kehadiran ormas-ormas radikal yang mengancam kesatuan nasional serta polemik pilkada baik yang terjadi di Jakarta maupun di ujung Timur Papua mau menunjukkan bahwa usaha untuk mencapai negara paripurna, yang adil, damai dan sejahtera masih membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Dengan demikian, kasus Tolikara menjadi proyeksi dari potret oligarki nasional. Sistem oligarki yang mengganggu keseimbangan demokrasi Indonesia hingga kini dikuasai oleh beberapa dinasti yang terjalin dalam politik dinasti. Dinasti-dinasti poltik itu yakni dinasti Soekarno (Megawati), dinasti Djojohadikoesoemo (Prabowo), dinasti SBY (Agus Yudhoyono) dan dinasti Soeharto ( Tommy Soeharto) yang malahan bersekutu dengan Prabowo yang nota bene adalah mantan menantu keluarga cendana, sedangkan mengenai Jokowi, digadang-gadang sebagai dinasti politik pendatang baru. Maka upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara paripurna, yang demokratis — adil dan makmur — di masa mendatang akan menjadi pertarungan politik di antara kelima dinasti ini. Siapakah di antara mereka yang mampu membebaskan demokrasi dari pasungan oligarki di masa depan?
(Berbagai sumber/ K32)