Polarisasi politik yang terjadi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 jadi peringatan tentang bahayanya penggiringan opini di internet dan media sosial. Akankah Pemilu 2024 berakhir sama?
Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) sudah di depan mata. Kalau memang rencana awal penyelenggaraannya yang dilakukan pada Bulan Februari tahun 2024 benar-benar terwujud, maka kita hanya memiliki waktu tepat satu tahun sebelum ikut meramaikan pesta demokrasi terbesar di Indonesia tersebut.
Karena itu, bisa dikatakan di momen-momen seperti sekarang ini para aktor yang terlibat langsung dalam Pemilu sedang mempersiapkan amunisi dan strategi tempurnya secepat mungkin.
Tidak heran bila kemudian belakangan ini kita semakin sering melihat berita-berita soal politisi yang sedang sibuk beraktivitas bertemu dengan kelompok masyarakat tertentu atau sesama politisi, baik dari partai yang sama maupun partai lain.
Dan akibat berita-berita seperti itu pula perdebatan kerap terjadi di media sosial. Jangan jauh-jauh, di posting-an Instagram PinterPolitik saja, jika ada infografis yang membicarakan aktivitas satu politisi, kolom komentarnya pasti diisi oleh perdebatan sengit antara kelompok yang mendukung politisi tersebut dan kelompok yang tidak suka, atau memang ingin “menjatuhkannya”.
Yap, di era media sosial, ini “daging” dari perbincangan politik telah bergeser ke internet dan media sosial. Kalaupun ada pernyataan politik seorang tokoh dalam suatu acara yang meledak, sebagian besar perdebatannya tetap akan terjadi di internet karena adanya fitur share.
Nah, terkait itu, beberapa pihak sudah mewanti-wanti bahayanya penggiringan opini dan hoaks, atau berita palsu, yang kemungkinan terjadi saat 2024 nanti. Tokoh besar seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sempat mengatakan bahwa dirinya khawatir polarisasi ala “cebong-kampret” masih terjadi di pemilu nanti.
Tidak hanya Mahfud, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo juga mewanti-wanti agar polarisasi seperti Pemilu 2019 lalu jangan sampai terjadi lagi.
Untuk sekarang, mungkin kekhawatiran Mahfud dan Listyo belum terlalu relevan dengan kita karena toh kampanye politik masih dilakukan secara malu-malu.
Namun, penting untuk kita pertanyakan, apakah Pemilu 2024 akan lebih “panas” dan berbahaya dibanding Pemilu 2019?
Teknologi Akan “Hancurkan” Demokrasi?
Pantas bila kita mulai pembahasan ini dengan satu kutipan menarik dari salah satu ahli saraf ternama dunia, Abhijit Naskar: “algoritma tanpa hati nurani adalah pembantaian mental manusia.”
Besar dugaannya di pemilu nanti internet akan jadi alat andalan dalam proses politik. Bagaimana tidak, dalam keseharian kita, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, kita selalu mengakses internet, entah itu untuk posting di media sosial, memastikan kabar teman, atau sekadar berselancar belaka.
Terlebih lagi, negara kita adalah negara keempat dengan pengguna internet terbesar di dunia. Ini artinya dorongan untuk mengeksploitasi para peselancar dunia maya semakin kuat.
Dan, tentunya, di balik semua aktivitas tersebut, ada algoritma internet yang berperan besar.
Thomas Christiano dalam tulisannya Algorithms, Manipulation, and Democracy menyebutkan bahwa, dengan potensinya yang begitu luar biasa, algoritma menimbulkan beberapa tantangan terhadap demokrasi.
Dengan tiga fitur utama yakni penyaringan, hypernudging (pendorongan konten), dan microtargeting (penargetan konten), algoritma dapat menciptakan polarisasi pemilih yang kental dan dengan demikian berpotensi merusak tatanan masyarakat yang demokratis.
Dengan akses ke kekuatan algoritma, seseorang juga dapat dengan mudah menyebarkan berita palsu ke seluruh lapisan masyarakat, dan mirisnya orang yang jadi target dari berita palsu itu bisa saja sama sekali tidak mempertanyakan kebenaran berita yang ia dapatkan karena preferensi politiknya memang sudah jadi bagian dari target penyebaran konten tersebut.
Alhasil, Christiano mencurigai bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi dan semakin besar perhatian negara pada potensi kekuatan internet dan media sosial, tinggi kemungkinannya di masa depan tren politik akan berputar pada manipulasi opini publik di media. Sementara itu, publik akan tetap tenggelam dalam pandangan yang melihat media sosial sebagai “platform kebebasan”.
Ini kemudian dibuat lebih kelam lagi dengan adanya suatu konsep yang disebut search engine society. Alexander Halavais dalam tulisannya Search Engine Society menyebutkan bahwa meningkatnya kecurigaan publik terhadap unsur politik algoritma internet kerap melupakan satu hal krusial, yakni netralitas search engine atau mesin pencari.
Mesin pencari seperti Google adalah perangkat digital yang selalu kita gunakan tetapi banyak orang tidak sadar bahwa, di era politisasi teknologi seperti sekarang, mesin pencari tidak lagi menjadi alat yang netral akan bias politik.
Halavais menjelaskan bahwa mesin pencari seperti Google hampir bisa dipastikan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan kita secara objektif. Ada proses tarik ulur di belakang layar antara pemerintah dan Google dalam menentukan informasi seperti apa yang layak dikonsumsi seorang penduduk di suatu negara.
Tentu, alasannya tidak selalu buruk. “Kongkalikong” tersebut juga kerap dilakukan demi meredam munculnya gerakan separatis dan paham-paham yang rawan dipelintir menjadi gerakan ekstremisme.
Namun, layaknya pisau bermata dua, internet tidak selamanya digunakan untuk keperluan baik, melainkan juga selalu ada kemungkinan digunakan untuk hal tidak bertanggung jawab, seperti berperan dalam mengatur preferensi politik masyarakat dengan menunjukkan jawaban pencarian yang hanya condong ke satu pihak politik saja.
Nah, jika internet akan sedemikian berbahayanya untuk Pemilu 2024, kira-kira bagaimana atmosfer yang akan terbentuk saat hari-H nanti?
Pemilu 2024 Akan Lebih Sengit?
Presiden Eurasia Group Ian Bremmer dalam artikel videonya The 10 biggest world threats of 2023, ranked, melihat dampak buruk internet terhadap demokrasi di masa mendatang sebagai potensi ancaman malapetaka dunia terbesar ketiga pada tahun 2023.
Dengan membawa istilah weapons of mass disruption atau senjata disrupsi massal, Bremmer melihat teknologi penggiringan opini publik yang semakin canggih – seperti big data, algoritma, dan artificial intelligence – akan jadi faktor yang sangat krusial dalam menakar akan seperti apa arena politik di masa depan.
Bremmer tidak menuduh perusahaan teknologi sebagai pencipta “senjata mematikan”. Akan tetapi, kita pun tidak bisa menutup mata bahwa semakin hari semakin terbukti alat-alat tersebut memang dieksploitasi oleh aktor-aktor di belakang layar yang tidak bertanggung jawab. Kerusuhan 6 Januari 2021 di Amerika Serikat (AS) dan 8 Januari 2023 di Brasil jadi bukti nyata penggiringan opini yang destruktif. Hal serupa, menurut Bremmer, sangat mungkin terjadi dalam negara demokrasi.
Oleh karena itu, Bremmer melihat bahwa tahun-tahun politik mendatang akan jadi tahun-tahun terberat bagi negara demokrasi di seluruh dunia. Demokrasi semakin menjadi sumber kelemahan fragmentasi politik masyarakat dan sampai selama ini tidak ada yang bisa melakukan apapun untuk menangkal hal tersebut, bahkan entitas terkuat negara seperti pemerintah itu sendiri.
Kalau kita lihat keadaannya sekarang, bahkan satu tahun sebelum Pemilu 2024 diselenggarakan, kita sudah bisa temukan sendiri ada beberapa tokoh politik yang menyadari kekuatan besar internet dan teknologi. Ini dibuktikan dengan munculnya sejumlah pernyataan-pernyataan kontroversial yang selalu berhasil memantik perhatian dan amarah publik terhadap tokoh lawannya atau isu tertentu.
Di satu sisi, dengan berita-berita kontroversial tersebut, para tokoh politik tadi tetap bisa menjadi buah bibir masyarakat, dan ini jelas menguntungkan mereka
Tentu, kita tidak bisa seratus persen yakin motif tersebut memang digunakan oleh beberapa politisi. Namun, karena politik penuh dengan taktik dan strategi yang terkadang di luar dugaan, hal-hal tersebut bisa saja memang sedang dilakukan.
Pada akhirnya, tulisan ini jadi semacam peringatan bahwa dengan tren seperti sekarang, Pemilu 2024 sepertinya bisa jadi lebih panas dan kontroversial dibanding Pemilu 2019. Besar harapannya para pemegang kekuasaan di negeri ini tetap berpegang teguh pada hati nurani. (D74)