HomeNalar PolitikPemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dengarkan Artikel Ini:

Audio Ini dibuat menggunakan AI

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu? 


PinterPolitik.com 

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 adalah bagian dari proses demokrasi lima tahunan yang sangat penting untuk menentukan nasib bangsa Indonesia. 

Namun, sorotan internasional tiba-tiba mengarah pada netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan proses seleksi calon presiden yang kontroversial. 

Sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB menjadi panggung di mana pertanyaan tentang netralitas Jokowi dan legalitas pencalonan Gibran Rakabuming Raka mencuat. 

Anggota Komite HAM PBB dari Senegal, Bacre Waly Ndiaye memunculkan pertanyaan kritis terkait keabsahan pencalonan Gibran Rakabuming Raka. 

Selain itu, Ndiaye juga menuntut kejelasan mengenai pemeriksaan netralitas Jokowi dan aparat pemerintahan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. 

Hal ini disampaikan Ndiaye dalam Sidang Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss pada Selasa (12/3) lalu. Sidang komite HAM ini turut dihadiri perwakilan negara anggota, termasuk Indonesia.   

Ndiaye mempertanyakan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang lolos sebagai calon wakil presiden (cawapres).

hoaks sudutkan prabowo ditangkis as 1

Pertanyaan ini menyoroti transparansi dan integritas proses seleksi calon presiden. Selain itu, Ndiaye juga meminta kepastian mengenai pemeriksaan netralitas Jokowi dan aparatur pemerintahan dalam Pilpres 2024. 

Perwakilan Indonesia yang dipimpin Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan itu. Saat sesi menjawab, delegasi Indonesia justru menjawab pertanyaan-pertanyaan lain. 

Beberapa isu yang dijawab Indonesia antara lain tentang dugaan pengerahan militer ke Papua, kebebasan beragama, kasus Panji Gumilang, hingga kasus Haris-Fathia. 

Delegasi Indonesia juga menjawab soal hak politik orang asli Papua yang ditanyakan Ndiaye bersamaan dengan kasus pencalonan Gibran. 

Lantas, mengapa Komite HAM PBB tiba-tiba mengurus “dapur” demokrasi di Indonesia dan seolah intervensi Indonesia? 

Tak Berpengaruh ke Indonesia? 

Dewan HAM PBB telah menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap Presiden Jokowi yang dianggap gagal menjaga netralitas dan keadilan dalam pemilihan presiden. 

Penunjukan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dari Prabowo Subianto telah memicu perdebatan tentang potensi pelanggaran netralitas oleh Jokowi.  

Partisipasi Dewan HAM PBB dalam isu netralitas Jokowi kiranya menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap potensi pengaruh yang dimiliki oleh presiden yang masih menjabat dalam proses pemilihan. 

Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan. Hal ini karena pencalonan Gibran telah melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia minimum cawapres. 

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Tom Ginsburg dalam publikasinya yang berjudul The Role of Judicial Independence in Preserving Democracy: A Comparative Study menjelaskan pentingnya independensi yudikatif dalam menjaga demokrasi. 

Dalam publikasinya, Ginsburg menjelaskan teori netralitas dan independensi institusi hukum yang menyatakan bahwa netralitas pemimpin dan penyelenggara negara penting untuk menjaga integritas demokrasi. 

Ginsburg juga menekankan pentingnya independensi institusi hukum seperti MK untuk bebas dari pengaruh politik, tekanan eksternal, atau pertimbangan non-hukum dalam pengambilan keputusan.  

Mengacu pada penjelasan di atas, meskipun pencalonan Gibran menimbulkan pertanyaan dari Dewan HAM PBB tentang potensi pelanggaran netralitas, independensi MK seharusnya tidak perlu diragukan. 

Sebagai lembaga hukum yang independen, MK kemungkinan besar akan memastikan bahwa putusan mereka didasarkan pada pertimbangan hukum dan konstitusional yang objektif.  

Dengan menjaga independensi MK dan memastikan bahwa proses pemilihan dan penyelesaian sengketa berjalan secara transparan, kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi dan keadilan dapat dipertahankan. 

Dengan demikian, netralitas Jokowi dalam Pilpres 2024 terkait pencalonan Gibran kiranya tidak akan berdampak pada putusan MK. 

MK kiranya akan memutuskan berdasarkan pertimbangan hukum dan konstitusional, bukan faktor politik atau hubungan keluarga. 

Selain itu, pertanyaan yang diajukan oleh anggota Dewan HAM PBB kemungkinan juga tidak akan memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses demokrasi di Indonesia, terutama hasil Pilpres 2024. 

Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Komite HAM PBB tidak memiliki kewenangan untuk campur tangan dalam proses demokrasi di Indonesia. 

Indonesia telah melaksanakan prosedur demokrasi dengan baik, bahkan lebih besar dan kompleks daripada negara-negara seperti Amerika dan India.  

Selain itu, pelaksanaan pemilu di Indonesia telah dilakukan secara terbuka dan langsung, sehingga tidak mudah bagi pihak luar untuk menuduh adanya intervensi dari Presiden Jokowi atau aparat pemerintah lainnya. 

Oleh karena itu, jika negara-negara asing termasuk PBB ingin mengkritik demokrasi di Indonesia, seharusnya mereka belajar dari proses demokrasi yang berjalan di Indonesia. 

biarkan jokowi memilih

Bentuk Balas Dendam? 

Selain bertugas sebagai badan yang menentukan standar HAM di dunia, pertanyaan anggota Dewan HAM PBB itu tampaknya juga memiliki motif tertentu. 

Pertama, isu dan wacana dari Komite HAM PBB ini muncul pasca pidato Prabowo Subianto dalam orasi ilmiah dalam Wisuda Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) pada 29 Februari 2024 lalu. 

Dalam pidato itu Prabowo dengan tegas menyindir dan menyinggung soal ada negara di dunia yang pandai bicara HAM, tapi abai terhadap pelanggaran HAM di Palestina. 

Baca juga :  Endorse Jokowi = Hak Bernegara?

Atas dasar itu pertanyaan anggota Dewan HAM PBB itu tampaknya adalah aksi “balas dendam” dari Dewan HAM PBB. 

Mereka tampaknya ingin “memperingatkan” Indonesia untuk tidak terlalu jauh mengkritik HAM di Palestina, jika urusan HAM dalam negeri masih mengundang banyak pertanyaan. 

Kedua, pertanyaan anggota Dewan HAM PBB itu tampaknya juga memiliki motif tertentu terhadap Indonesia. Argumen ini bisa diperkuat dengan seringnya Dewan HAM PBB melakukan standar ganda dalam mengkritik suatu negara. 

Bradley Dowden dalam tulisannya yang berjudul Fallacies menyebutkan salah satu bentuk dari kekeliruan fundamental dalam penilaian terhadap konteks tertentu yaitu double standard fallacy atau kekeliruan standar ganda. 

Itu merupakan situasi ketika satu pihak memberikan penilaian terhadap satu konteks yang sama atau saling terkait namun dengan tolok ukur, panduan atau standar yang berbeda. 

Dalam konteks Dewan HAM PBB, mereka sering kali berbeda menyikapi dalam berbagai kasus pelanggaran HAM. 

Salah satunya adalah, Dewan HAM PBB pernah mengecam Rusia ketika melakukan pengeboman di gudang gandum Ukraina pada September 2023 lalu. Serta, mereka juga pernah mengkritik catatan HAM di Tiongkok dan Arab Saudi. 

Namun, dalam konflik di Palestina, Dewan HAM PBB seolah tidak berperan signifikan. Bahkan, kritik terhadap Dewan HAM PBB ini pernah diutarakan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi yang meminta mereka tidak mempolitisasi mekanisme kemanusiaan di Palestina. 

Ketiga, motif terakhir ini kiranya dapat dilihat dari sisi personal anggota Dewan HAM PBB yang mengajukan pertanyaan tentang netralitas Presiden Jokowi, Bacre Waly Ndiaye. 

Ndiaye pernah menjabat berbagai posisi penting dalam kariernya di organisasi internasional. 

Dia pernah menjadi direktur di divisi Dewan HAM dan Prosedur Khusus, serta direktur divisi Penelitian dan Hak atas Pembangunan dari 2006 sampai 2014. 

Bukan tidak mungkin, terdapat motif pribadi Ndiaye yang kembali mengincar posisi tinggi dalam badan internasional itu dalam melontarkan pertanyaan terkait netralitas Jokowi untuk mendapat eksposur lebih dari berbagai media internasional. 

Hal ini dikarenakan isu terkait netralitas Jokowi dan pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024 sedang menjadi isu panas yang mengundang berbagai sorotan dunia internasional. 

Apapun itu motifnya, pertanyaan yang terkesan menjadi sebuah intervensi dari pihak luar terhadap demokrasi di Indonesia yang merupakan negara yang berdaulat dan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia itu tidak dibenarkan. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Benarkah PDIP Jadi Oposisi “Lone Wolf”? 

Wacana oposisi pemerintahan 2024-2029 diprediksi diisi oleh partai politik (parpol) yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni PDIP, PKB, PKS, Partai NasDem, dan PPP. Namun, rencana itu tampaknya akan berantakan dan menimbulkan probabilitas meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya parpol oposisi di pemerintahan 2024-2029. Mengapa demikian?