Swing dan undecided voters masih menghantui Pemilu 2024. Tidak sedikit di antara mereka yang bingung memilih karena melihat semua kandidat “sama buruknya”. Bagaimana kita bisa merubah pola pikir yang seperti ini?
Dalam menghadapi Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) yang semakin dekat, kita disuguhkan satu fenomena yang mungkin mulai dilupakan orang-orang, tetapi menarik untuk diperhatikan secara seksama. Hal itu adalah terkait pemilih yang hingga saat ini masih belum menentukkan pilihan politiknya.
Menurut data yang dirilis oleh Lembaga Riset dan Pengembangan Kompas (Litbang Kompas) pada September 2023, terungkap data menarik bahwa ternyata sebanyak 27,9% pemilih Indonesia masih berada dalam kategori undecided voters, atau kelompok orang yang belum menentukan pilihannya. Angka yang signifikan ini tentu menciptakan ketidakpastian yang tidak dapat diabaikan dalam menentukan strategi politik para kontender dalam masa kampanye.
Tidak hanya itu, survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) juga mengungkapkan tingginya tingkat swing voters yang mencapai angka 40%. Swing voters, yang cenderung tidak memiliki kecenderungan politik tetap, menjadi elemen penentu yang potensial untuk mengubah dinamika persaingan politik dalam beberapa bulan mendatang.
Muncul-lah kemudian satu pertanyaan, mengapa tingkat undecided voters dan swing voters begitu tinggi? Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keputusan mereka? Well, kalau kita coba rangkum keluhan-keluhan yang bertebaran di media sosial, khususnya di antara postingan-postingan akun Instagram @pinterpolitik, tidak sedikit orang yang bingung memilih karena mereka melihat bahwa tidak ada kandidat yang betul-betul “berjiwa murni”.
Sebagian dari mereka bahkan ada yang berpegang kepada adagium: sekecil apapun kejahatan yang pernah dilakukan seseorang, maka orang itu tetaplah pantas dianggap penjahat.
Namun, apakah pandangan yang demikian benar? Lantas, bagaimana kita memilih pilihan dalam menyambut Pemilu 2024? Apakah ini artinya golongan putih atau golput adalah pilihan yang paling tepat?
Tidak Ada Hitam dan Putih dalam Politik
“No one is innocent after the experience of governing. But not everyone is guilty.”
Kutipan yang diambil dari mendiang politisi Amerika Serikat (AS) bernama Daniel Patrick Moynihan di atas sekiranya bisa jadi pembuka yang pas dari pembahasan kita kali ini.
Tidak jarang, dalam menilai sesuatu, orang-orang sering berpegang pada prinsip “hitam dan putih” di mana mereka mengartikan bahwa sesuatu yang baik pasti berlawanan dengan sesuatu yang jahat dan tidak ada titik temu di antaranya.
Padahal, politik tidak bisa disederhanakan dengan pandangan demikian. Seringkali, sesuatu yang dilakukan politisi bersifat “abu-abu”, karena pekerjaan seorang politisi seringkali kompleks dan tidak dapat disederhanakan menjadi sesuatu yang baik atau buruk.
Untuk memahami kompleksitas ini, kita dapat merujuk pada teori utilitarianisme ala Jeremy Bentham. Teori ini menekankan pada konsep kebahagiaan atau utilitas sebagai ukuran moralitas suatu tindakan. Dalam konteks politik, utilitarianisme bisa memberikan pandangan yang bisa menyederhanakan kompleksitas spektrum baik dan buruk dari pekerjaan seorang politisi.
Politisi sering dihadapkan pada keputusan yang sulit, di mana mereka harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dampak kebijakan pada masyarakat secara keseluruhan. Utilitarianisme akan menekankan bahwa keputusan seorang politisi seharusnya didasarkan pada maksimalisasi kebahagiaan atau kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Namun, dalam prakteknya, mengukur dan mengevaluasi dampak kebijakan secara keseluruhan dapat menjadi tugas yang sangat rumit.
Seorang politisi mungkin harus membuat keputusan yang kontroversial atau tidak populer dalam jangka pendek, tetapi jika keputusan tersebut memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat, itu dapat dianggap sebagai tindakan utilitarian yang benar. Namun, persepsi utilitas itu sendiri dapat bervariasi, dan masyarakat mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang dianggap sebagai kebahagiaan atau kesejahteraan.
Kompleksitas pekerjaan seorang politisi juga muncul dari tekanan dan tuntutan berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan yang berbeda. Seorang politisi harus mempertimbangkan perspektif semua pihak dan mencoba mencapai keseimbangan yang adil untuk mendukung kepentingan umum. Dalam hal ini, utilitarianisme dapat menunjukkan bahwa tindakan seorang politisi seharusnya tidak hanya memaksimalkan kebahagiaan satu kelompok, tetapi harus mempertimbangkan kebahagiaan semua kelompok masyarakat.
Namun, dalam realitas politik, faktor-faktor lain seperti tekanan politik, opini publik, dan kepentingan pribadi politisi juga dapat memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan. Utilitarianisme mungkin memberikan kerangka kerja moral, tetapi politisi seringkali dihadapkan pada kenyataan pragmatis di mana mereka harus menavigasi antara prinsip dan realitas politik.
Dengan demikian, pekerjaan seorang politisi tidak dapat disederhanakan menjadi baik atau buruk secara mutlak. Utilitarianisme menyoroti pentingnya mempertimbangkan konsekuensi kebijakan secara keseluruhan, tetapi dalam mengaplikasikannya, politisi harus menghadapi kompleksitas dunia nyata yang penuh dengan tantangan dan pertimbangan moral yang rumit.
Pandangan yang seperti inilah yang sebetulnya harus dipahami oleh orang-orang yang memilih golput karena mereka melihat kandidat yang ditampilkan tidak bersifat baik secara menyeluruh.
Kalau kita memakai pandangan di atas, mindset yang harus kita tanamkan dalam memilih seorang pemimpin seharusnya bukan mencari sosok “lesser evil” atau kejahatan yang lebih baik di antara kejahatan yang lain, tetapi mencari sosok yang bisa mewujudkan “greater good” atau kebaikan yang besar, meskipun tidak dipungkiri apa yang dilakukannya atau yang pernah dilakukannya tidak menguntungkan semua pihak, setidaknya dalam jangka waktu pendek.
Dari sini, mungkin masih akan ada yang bertanya, apakah pertaruhan semacam ini wajar dalam politik?
Pentingnya Machiavellianisme dalam Memilih Presiden
Filsuf Italia, Niccolo Machiavelli, dalam bukunya The Prince pernah mengatakan bahwa seorang pemimpin yang baik secara objektif adalah pemimpin yang bisa mengemban kata-kata “the end justify the means”.
Ajaran Machiavelli menyatakan bahwa penguasa harus bersifat pragmatis dan fleksibel, bersedia menggunakan segala cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan mereka dan menjaga stabilitas politik. Ia berpendapat bahwa seorang penguasa harus fokus pada hasil akhir. Jika cara-cara yang diterapkannya, meskipun secara moral bisa dipertanyakan, dapat memberikan hasil yang diinginkan, maka cara-cara tersebut dapat membenarkan kepemimpinan politiknya.
Selama ini, pandangan Machiavelli tersebut selalu diatribusikan kepada pemimpin, namun, mengingat bahwa pilihan politik seorang pemilih dalam demokrasi juga akan mempengaruhi “karir” politik sebuah negara, maka sepertinya kita pun sebagai pemilih perlu mengambil sedikit pelajaran dari pandangan Machiavelli tersebut.
Oleh karena itu, mungkin ada baiknya bila kita tidak lagi melihat kekurangan-kekurangan yang dimilki Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo sebagai hambatan untuk tidak memilih dalam Pemilu 2024 nanti. Alih-alih demikian, kita pun sebagai warga negara yang bertanggung jawab atas masa depan negara ini, perlu melihat siapa di antara pemimpin itu yang bisa mewujudkan greater good untuk Indonesia, di balik segala kekurangannya. (D74)