Meningkatnya angka kekerasaan seksual bahkan pemerkosaan terhadap perempuan tentu adalah catatan statistik yang sangat menampar. Betapa tidak, itu menandakan nilai-nilai ketimuran yang setiap hari didengungkan kemungkinan besar hanyalah omong kosong belaka. Melihat pada akar masalahnya, penyelesaian dari persoalan tersebut seharusnya diupayakan untuk menghilangkan rape culture atau budaya pemerkosaan yang mungkin telah mengakar di tengah masyarakat.
PinterPolitik.com
Perjuangan perempuan dan anak guna mendapatkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung begitu alot dan berliku. Belum sampai pada mendapat keadilan dalam aspek ekonomi dan politik, sekedar mendapatkan keamanan saja, nyatanya keadilan itu masih terlampau jauh untuk didapatkan.
Sedih dan pilu, bahkan mereka yang mengalami kekerasaan seksual terlampau takut untuk sekedar melapor. Betapa tidak, pada 2018 lalu Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mempublikasikan survei yang menyebutkan 93 persen korban pemerkosaan justru tidak melaporkan kejahatan yang menimpanya karena takut akan stigma negatif masyarakat yang kerap mendera korban pemerkosaan.
Menyambung hal tersebut, Sophia Hage, Direktur Kampanye Lentera Sintas menyebutkan bahwa fenomena tersebut ibarat “puncak gunung es”. Artinya, di luar data yang telah disebutkan, terdapat begitu banyak kasus serupa yang mungkin tidak akan pernah diketahui.
Benar saja, dalam catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019 ditemukan peningkatan kasus kekerasan seksual menjadi 406.178. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 348.466 kasus, atau meningkat sebesar 14 persen.
Getirnya, dalam CATAHU tersebut, angka kekerasan seksual terbanyak ternyata justru terjadi di ranah personal, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), martial rape atau pemerkosaan dalam pernikahan, inses atau hubungan seksual sedarah yang ternyata pelaku utamanya adalah ayah kandung dan paman, serta hubungan pacaran.
Terkait yang terakhir, kasus ini diakui memang cukup sulit untuk ditindaklanjuti di jalur hukum dikarenakan belum adanya produk hukum yang memayungi hubungan tersebut.
Melihat angka kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat, pilu untuk mengatakan, nampaknya negara masih merangkak dalam memberikan perlindungan seksual. Namun di sisi lain, kita kerap membanggakan nilai-nilai ketimuran yang disebut menjunjung tinggi moralitas.
Pada kasus ini, boleh jadi negara telah gagal dalam manjawab kegelisahan publik, khususnya para perempuan yang mungkin tengah meringis menyadari ketidakadilan. Kegagalan tersebut terlihat jelas di tengah kepongahan negara yang justru belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS), kendati berbagai pihak telah menyatakan urgensinya.
Padahal, apabila kita menengok kepada para filsuf besar seperti Thomas Hobbes dan John Locke, dengan jelas mereka menyatakan bahwa entitas negara adalah konsekuensi dari kebutuhan warga negara untuk mendapatkan rasa aman.
Dengan kata lain, menjadi tanda tanya besar terkait mengapa sampai saat ini pihak-pihak terkait seperti DPR justru belum mengesahkan RUU tersebut. Bahkan, alih-alih mendukung, berbagai isu negatif seperti menyebut produk hukum tersebut menjadi bentuk dukungan atas LGBT, terlalu liberal, ataupun menyimpang dari ajaran agama justru berseliweran sebagai bentuk penolakan.
Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari fenomena ini?
Pemerkosaan adalah Politik?
Melihat fenomena aneh tersebut, nampaknya kita harus melihat pada karya seorang Feminis dan Jurnalis asal Amerika Serikat (AS), Susan Brownmiller yang berjudul Against Our Will: Men, Women, and Rape yang pertama kali dipublikasikan pada 1975.
Seperti apa yang ditulis oleh Rachel Cooke dalam The Guardian, penjelasan Brownmiller tentang pemerkosaan masih sangat relevan untuk digunakan memahami masalah akut pemerkosaan sampai saat ini.
Menariknya, dalam paparannya yang disebut “mengejutkan” oleh Majalah Time itu, Brownmiller mendefinisikan pemerkosaan sebagai suatu masalah politik alih-alih sebagai kejahatan individu.
Brownmiller bertolak dari sejarah AS yang memperlihatkan pemerkosaan telah lama mendapatkan stigma yang gelap, sehingga sebelum terjadinya gerakan perempuan pada 1970, kasus pemerkosaan diketahui jarang terjadi.
Ini bukan karena kasus pemerkosaan memang jarang terjadi, melainkan karena ketakutan dari korban pemerkosaan untuk melapor. Hal ini karena mereka akan diintrogasi dengan tendensi untuk disalahkan ataupun dicurigai, baik oleh pihak kepolisian maupun rumah sakit.
Para pembaca Brownmiller menggunakan istilah “diperkosa dua kali” untuk menjabarkan bagaimana perasaan yang dialami korban pemerkosaan ketika diintrogasi ataupun keterangan akan tubuhnya – atau visum – dijadikan alat bukti ketika di pengadilan.
Terlebih lagi dengan adanya stigma negatif terhadap korban pemerkosaan, misalnya seperti “ia diperkosa karena mengunakan pakaian yang seksi” ataupun “ia juga menikmati pemerkosaan tersebut” menjadi pukulan psikologis tersendiri ketika diintrogasi.
Tidak hanya dikorek pengalaman pahitnya ketika diperkosa, kerap kali pertanyaan-pertanyaan bertendensi disalahkan dan dicurigai semacam itu justru membuat serangan psikologis yang diterima korban menjadi lebih besar.
Apa yang digambarkan Brownmiller ini sepertinya benar-benar terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya dengan menuduh perempuan diperkosa karena menggunakan pakaian yang seksi. Lalu, dengan mudahnya dikatakan itu akan membuat libido laki-laki terangsang, sehingga pemerkosaan terjadi. Dengan kata lain, seolah ingin dikatakan, pemerkosaan adalah kesalahan dari perempuan itu sendiri.
Terkait konsep libido laki-laki ini, Brownmiller telah jauh-jauh hari membantahnya, bahkan menyebutnya sebagai “mitos”. Melihat pada rasionalisasinya, bagaimana mungkin kita membenarkan tindakan pemerkosaan dengan dalih karena libido telah terangsang. Artinya, apakah itu menunjukkan kekerasan menjadi lumrah atas dalih keinginan seksual? Tentu saja jawabannya tidak.
Atas perjuangan Brownmiller dalam mendobrok stigma tentang pemerkosaan, itu berbuah dengan lahirnya produk hukum pertama yang mengatur tentang pemerkosaan dalam pernikahan di AS.
Apa yang ingin dijelaskan oleh Brownmiller adalah, pemerkosaan itu pada hakikatnya bukanlah perilaku individu semata, melainkan merupakan perilaku sosial, yang tentu melibatkan komponen yang kompleks, bahkan termasuk pemerintah itu sendiri.
Baginya, pemerkosaan memang membudaya sebagai upaya politis laki-laki untuk menundukkan perempuan. Inilah mengapa bukunya disebut mendefinisikan pemerkosaan sebagai masalah politik.
Rape Culture dan Hukum Laki-Laki
Fenomena ketika pemerkosaan justru dipandang lumrah, bahkan korbannya disalahkan oleh masyarakat adalah apa yang disebut sebagai rape culture atau budaya pemerkosaan oleh para Feminis AS pada 1970-an.
Emilie Buchwald, dalam bukunya Transforming a Rape Culture, mendefinisikan budaya pemerkosaan sebagai “seperangkat keyakinan kompleks yang mendorong agresi seksual laki-laki dan mendukung kekerasan terhadap perempuan”.
Budaya pemerkosaan lantas membenarkan teror fisik dan emosional terhadap perempuan sebagai semacam norma. Hal ini misalnya terlihat dari persoalan kasus kekerasaan seksual yang terjadi di ranah personal – seperti di keluarga – yang jarang dilaporkan karena korban yang merupakan istri dan anak merasa dirinya harus patuh terhadap ayah sebagai kepala rumah tangga.
Kemudian dalam budaya ini, baik laki-laki dan perempuan memandang kekerasan seksual sebagai suatu fakta kehidupan yang tak terhindarkan. Artinya, itu adalah fenomena yang memang lumrah terjadi, sehingga tidak perlu untuk diherankan.
Melihat fenomena budaya pemerkosaan ini, para feminis kontemporer mulai melihat penindasan terhadap perempuan dilakukan melalui medium bahasa.
Filsuf Feminis AS, Judith Butler misalnya, dalam bukunya Gender Trouble menunjukkan bahwa identitas gender yang berisi seperangkat aturan dan norma, bukanlah suatu manifestasi intrinsik, atau suatu hal yang telah terinstal sejak kita lahir, melainkan itu adalah buah dari perilaku, kebiasaan, ucapan, ataupun aturan yang berasal dari konstruksi sosial. Dengan kata lain, sederet identitas itu sebenarnya adalah pemberian eksternal yang bergantung pada aspek sosial-budaya.
Apa yang dimaksud dengan medium bahasa adalah, ketika kita mempelajari norma-norma tersebut, kita menggunakan medium bahasa, seperti membaca aturan, mendengar aturan, dan sebagainya.
Tidak hanya sebagai norma di tengah masyarakat, konstruksi identitas gender nyatanya juga terejawantahkan ke dalam produk hukum. Itu kemudian menghadirkan istilah yang disebut dengan adanya hukum laki-laki atau hukum maskulin.
Bagaimana tidak, di berbagai negara – termasuk Indonesia – perwakilan perempuan di lembaga legislatif jauh lebih sedikit dari laki-laki. Artinya, produk hukum yang dihasilkan sebagian besar berdasar atas refleksi dari pengalaman laki-laki.
Pada praktiknya, penentuan produk hukum juga kerap melalui metode voting, yang tentu akan membuat suara laki-laki selalu menang karena jumlahnya lebih banyak.
Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami mengapa produk hukum berkeadilan gender seperti RUU PKS belum disahkan. Ini berkaitan erat dengan dominasi suara laki-laki di lembaga legislatif dan masih mengakarnya budaya pemerkosaan seperti yang disebutkan oleh para feminis. Menarik untuk menantikan apakah negera ini mampu bertransformasi menjadi berkeadilan gender atau tidak. (R53)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.