Monopoli narasi di Papua oleh pemerintah mengingatkan kita kepada gambaran menakutkan George Orwell dalam novelnya Nineteen Eighty-Four yang menjelaskan bagaimana negara menjadi begitu otoriter, sehingga mampu untuk mengatur pikiran warga negaranya.
PinterPolitik.com
Menyusul kerusuhan yang kembali terjadi di Wamena, Papua, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) kembali melakukan pembatasan layanan internet.
Melihat pada konteksnya, mungkin banyak pihak yang melihat bahwa tidak terdapat masalah dalam kebijakan ini, mengingat kebijakan ini memiliki alasan yang mumpuni, yaitu mencegah penyebaran foto atau video provokasi yang dapat memperbesar ekskalasi kerusuhan.
Akan tetapi, ketika melihat dengan perspektif yang lebih luas dan komprehensif, banyak pihak menilai pemerintah justru telah melakukan monopoli narasi perihal fenomena-fenomena apa yang tengah terjadi di Papua.
Pada dasarnya, bukan karena kerusuhan di Wamena yang membuat pemerintah membatasi akses informasi, melainkan memang sudah sejak lama pembatasan akses informasi di Papua terjadi melalui pembatasan kebebasan pers, khususnya pers asing.
Sudah jadi rahasia umum bahwa kebebasan pers di Papua dibatasi oleh pemerintah Indonesia. Dalam beberapa kasus, terdapat banyak wartawan, khususnya wartawan asing, yang dipaksa keluar dari Papua – bahkan Indonesia – ketika mencari informasi perihal fenomena yang tengah terjadi di Papua.
Pemerintah kerap kali mengusir wartawan asing tersebut karena dianggap melanggar aturan yang berlaku. Tidak hanya wartawan, bahkan sekelas duta besar pernah diprotes keras karena cuitannya di Twitter tentang kondisi di Papua. Peristiwa ini menimpa Dubes Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, dalam lawatannya ke Papua pada November 2017.
Dalam laporan yang dibuat oleh Human Rights Watch (HRW) disebutkan bahwa pemerintah Indonesia terus membatasi akses media asing ke Papua dan mendeportasi media asing yang tidak memiliki izin resmi mengunjungi Papua.
Anehnya, beberapa jurnalis asing yang telah melakukan perjalanan ke Papua dengan izin resmi sejak Mei 2015, juga mendapatkan blacklist visa dan menerima pelaporan yang tidak menyenangkan dari pemerintah Indonesia.
Mengenai pembatasan media asing ke Papua, pemerintah Indonesia, melalui Menko Polhukam Wiranto telah memberikan pernyataan bahwa media asing sebenarnya tidak dilarang datang, melainkan harus terlebih dahulu menyetujui syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Melihat rentetan kasus pembatasan informasi di Papua membuat banyak pihak bertanya-tanya, sebenarnya apa alasan pemerintah membatasi akses informasi tersebut?
Ketakutan Pemerintah akan Kondisi Papua
Pada tahun 2015, Presiden Jokowi sebenarnya telah memerintahkan untuk membuka akses seluas-luasnya kepada pers untuk datang ke Papua. Akan tetapi, perintah itu tidak diikuti dengan instruksi tertulis, sehingga memberikan ruang bagi instansi pemerintah, dari sipil sampai militer, untuk tidak memenuhinya.
Dalam laporan HRW, wartawan asing bukan hanya sulit masuk ke Papua. Mereka yang bahkan telah berhasil mendapatkan izin disebut selalu diawasi, dimata-matai dan ada kalanya ditahan sewenang-wenang oleh aparat keamanan.
Kasus yang demikian umumnya terjadi pada wartawan yang meliput ketidakpuasan orang Papua terhadap keadaan sosial dan politik di Papua, maupun pelanggaran yang dilakukan oleh pihak militer, polisi dan intelijen.
Sikap pemerintah yang membatasi akses informasi melalui pembatasan akses pers di Papua sebenarnya memiliki legitimasinya dalam The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access To Information atau yang lebih dikenal dengan Prinsip Johannesburg.
Dalam prinsip ini diterangkan bahwa negara berhak membatasi akses informasi dan penyingkapan informasi apabila informasi tersebut dapat memicu konflik dan kekerasan yang dapat mengancam keamanan.
Merujuk pada aturan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa alasan di balik pembatasan akses informasi di Papua adalah karena alasan adanya informasi yang dapat memantik konflik dan kekerasaan yang mengancam keamanan negara.
Pada kesimpulan tersebut, terdapat sebuah asumsi yang menarik, yakni bahwa pemerintah boleh jadi sebenarnya tengah menutupi informasi-informasi yang mengancam keamanan. Pertanyaannya, informasi macam apa yang dapat mengancam keamanan sehingga memicu konflik?
Melihat pada laporan HRW, informasi tersebut sepertinya adalah perihal ketidakpuasan orang Papua terhadap keadaan sosial-politik dan pelanggaran HAM.
Laporan ini selaras dengan yang disampaikan oleh anggota tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiatri, yang menyebut 4 masalah utama di Papua adalah pelanggaran HAM, status politik, kegagalan pembangunan dan diskriminasi.
Melihat dengan tajam persoalan ini, kita dapat memahami bahwa pembatasan akses informasi di Papua boleh jadi bukan semata-mata karena alasan keamanan, melainkan justru menunjukkan dengan gamblang bahwa pemerintah pada dasarnya tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada di Papua.
Tidak hanya itu, berbagai lembaga juga melaporkan perihal adanya pelanggaran HAM di Papua. Kecurigaan ini semakin diperkuat dengan jumlah korban tewas akibat kericuhan di Wamena yang telah menyentuh angka 33 korban, dan diperkirakan terdapat 8.000 pengungsi.
Hal ini membuat publik berspekulasi bahwa pernyataan Wiranto perihal syarat-syarat bagi pers untuk meliput fenomena di Papua, boleh jadi bermakna bahwa pers tidak boleh memberitakan perihal polemik sosial-politik yang terjadi di Papua.
Jika memang benar telah terjadi pelanggaran HAM di Papua, maka pemerintah Indonesia justru telah melanggar Prinsip Johannesburg, yakni tidak boleh mencegah jurnalis atau perwakilan organisasi antarpemerintah atau nonpemerintah dengan mandat untuk memantau kepatuhan terhadap hak asasi manusia atau standar kemanusiaan dari memasuki area pelanggaran HAM.
Pemerintah tidak boleh mengecualikan jurnalis atau perwakilan organisasi semacam itu dari daerah yang mengalami kekerasan atau konflik bersenjata kecuali jika kehadiran mereka akan menimbulkan risiko yang jelas bagi keselamatan orang lain.
Lalu pertanyaannya adalah apakah pers yang datang ke Papua membahayakan keselamatan orang lain di sana?
Jika pemerintah Indonesia dapat membuktikan bahwa jurnalis ataupun pers yang datang ke Papua membawa senjata api ataupun bahan peledak, tentu alasan pembatasan menjadi valid dan terbenarkan. Akan tetapi, bukankah itu tidak terjadi?
Pada konteks ini, boleh jadi pemerintah Indonesia justru hanya menyembunyikan ketidakmampuannya dalam menangani kericuhan di Wamena yang pada dasarnya merupakan letusan akumulasi kekecewaan yang telah tertimbun selama bertahun-tahun.
Akumulasi kekecewaan tersebut terlihat jelas dari tuntutan sebagian warga Papua yang meminta referendum.
Rasionalisasinya, bukankah tidak mungkin referendum diminta apabila warga Papua puas dengan pemerintah Indonesia?
Walaupun pelarangan pers sangat mungkin menjadi bagian dari kecurigaan jika informasi terkait kondisi riil di Papua makin terbuka untuk masyarakat internasional, selain juga alasan ketakutan akan adanya aktivitas spionase dan sejenisnya, namun tetap saja hal tersebut patut dipertanyakan.
Minimnya kebebasan pers di Papua
+
hoaks dan propaganda
=
distorsi informasi.Sejauh ini negara sukses. Bingung kan kalian apa yang sebenarnya sedang terjadi di Papua?https://t.co/SvxHTsQqis
— Veronica Koman (@VeronicaKoman) December 6, 2018
Menuju Distopia?
Distopia adalah suatu keadaan atau kondisi kelompok masyarakat yang memiliki kualitas hidup yang sangat buruk dikarenakan tekanan dari pemerintah atau pemimpin, wabah penyakit, maupun teror yang berlangsung terus menerus.
Distopia sebenarnya merupakan istilah fiksi yang kerap digambarkan di dalam film ataupun karya sastra. Akan tetapi, distopia sepertinya telah menunjukkan pengejawantahannya dalam realita sosial.
Banyak pihak yang menilai bahwa Korea Utara adalah contoh dari distopia, di mana masyarakatnya hidup di dalam kediktatoran dan pembatasan yang terus berlanjut terhadap akses informasi.
Di dalam novelnya yang berjudul Nineteen Eighty-Four, George Orwell menggambarkan bagaimana menakutkannya distopia yang terjadi di Negara Imajinasi Oceania.
Di sana, Orwell mengambarkan mengenai kejahatan yang menakjubkan, yakni kejahatan pikiran (thoughtcrimes) – yaitu kondisi di mana negara memonopoli narasi di suatu negara dengan cara memonopoli bahasa. Akibatnya, setiap bahasa yang tidak keluar dari negara dikategorisasi sebagai kejahatan.
Terkait hal tersebut, kasus monopoli narasi memang terjadi di Papua. Ini salah satunya dikemukakan oleh Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Simamora yang menyebut ada kesan bahwa setiap pernyataan tentang Papua yang tidak berasal dari pemerintah dapat dikategorikan sebagai berita bohong (hoaks) dan dapat dijerat pidana.
Menariknya, apa yang dikemukakan oleh Nelson Simamura telah terjadi pada kasus Veronica Koman dan Dandhy Laksono yang dituduh menyebarkan berita bohong terkait fenomena yang tengah terjadi di Papua.
Melihat pada gambaran Orwell dalam novelnya, boleh jadi, meskipun belum dalam tingkatan ekstrem seperti di Negara Imajinasi Oceania, pemerintah telah melakukan kejahatan pikiran (thoughtcrimes) – di mana akses informasi di Papua dibatasi dan telah terjadi monopoli narasi di Papua yang membuat setiap informasi tentang Papua yang keluar tidak dari pemerintah akan masuk dalam kategori berita bohong yang kemudian dijerat pidana.
Pada akhirnya, Erhard Eppler, mantan Menteri Pembangunan Internasional Jerman pernah menyebut novel Orwell itu telah mencerahkan pemikiran Eropa. Semoga Orwell juga mampu membuat pemerintah Indonesia tercerahkan dengan kasus yang terjadi di Papua. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.