Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengusulkan relaksasi pajak hingga nol persen untuk industri manufaktur otomotif. Mungkinkah usul itu pertanda akan adanya kepentingan asing yang bisa saja menghantui pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?
“Cross yo sun just like a dragon. The Japanese know what’s happening” – Ab-Soul, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Pandemi Covid-19 yang disebabkan oleh virus Corona (SARS-Cov-2) bisa dibilang telah merugikan banyak orang. Bagaimana tidak? Di saat jumlah kasus positif yang terus meningkat, banyak orang juga turut mulai kehilangan sanak keluarganya akibat penyakit menular ini.
Tidak sedikit dari mereka harus menahan tangis tanpa mengucapkan sepatah dua kata saat berpisah dengan keluarga mereka yang gugur melawan Covid-19 – baik pasien maupun tenaga kesehatan. Semua serasa datang secara tiba-tiba tanpa mampu diantisipasi atau dideteksi terlebih dahulu.
Di saat banyak nyawa yang melayang, situasi kehidupan ekonomi juga terus membuat banyak masyarakat Indonesia semakin sesak. Tidak sedikit juga dari kita harus menguatkan rasa sabar akibat hilangnya pekerjaan dan berkurangnya pendapatan.
Harapan akan uluran tangan dari pemerintah juga tampaknya tidak mampu menyelesaikan semua persoalan yang diakibatkan oleh pandemi ini. Bantuan sosial (bansos) yang digadang-gadang oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) malah harus menghadapi sejumlah hambatan seperti terbatasnya data kependudukan yang dimiliki oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
Tidak hanya untuk masyarakat kecil, sebagian pengusaha dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga harus bertahan agar operasi bisnisnya tetap berjalan. Lagi-lagi, insentif dan stimulus untuk mereka yang berharap tetap memperkerjakan karyawannya juga harus terhambat oleh sejumlah hal.
Namun, di tengah polemik tersebut, drama demi drama malah ditunjukkan oleh para pejabat pemerintahan – mulai dari aksi marah Presiden Jokowi hingga tangis dan sujud Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma). Di saat sensitif seperti ini, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita akhirnya mengusulkan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar pajak industri otomotif dapat memperoleh relaksasi hingga nol persen. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun merespons bahwa usul tersebut akan dikaji lebih lanjut.
Usulan itu tentu menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, industri otomotif juga tidak akan bisa hidup kembali seperti sebelum pandemi meski relaksasi berlaku. Pasalnya, sulitnya ekonomi di masyarakat akan membuat mereka lebih memilih memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu daripada membeli mobil.
Bila benar ekonomi kini lebih cenderung berbasis pada kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar, mengapa Menperin lantas mengusulkan relaksasi pajak tersebut? Apa mungkin terdapat landasan yang berpusar pada dinamika politik di baliknya?
Politik Otomotif ala Jepang
Boleh jadi, usulan dari Agus Gumiwang tersebut menguntungkan sejumlah pihak. Pasalnya, industri otomotif di Indonesia 90 persen lebih didominasi oleh salah satu negara produsen, yakni Jepang.
Pada tahun 2018, misalnya, Jepang mendominasi sekitar 97,53 persen pasar otomotif di Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Katadata, pangsa pasar ini jauh lebih besar dibandingkan merek-merek otomotif asal negara lain, seperti Tiongkok (1,61 persen), Eropa (0,41 persen), Amerika Serikat (AS) (0,22 persen), dan lain-lain (0,22 persen).
Dominasi pasar otomotif ini juga bukan tidak mungkin berhubungan dengan penguasaan teknologi. Pasalnya, berdasarkan analisis Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), terdapat sejumlah alasan mengapa otomotif Jepang mendominasi, seperti pemeliharaan dan konsumsi bahan bakar yang lebih efisien.
Hal yang serupa juga diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu. Bahkan, Luhut menganggap bahwa teknologi mobil Indonesia dijajah oleh Jepang.
Apa yang diklaim oleh Luhut bisa jadi benar. Pasalnya, penguasaan teknologi ini telah terjadi sejak lama. Bahkan, ini bisa juga menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia belum juga memiliki produk mobilnya sendiri.
Christopher H. Dale dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s National Car Projected menjelaskan bahwa Jepang mengambil sejumlah peran untuk mencegah berlanjutnya proyek mobil nasional yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto melalui kerja sama antara Timor Putra Nasional (TPN) dan Kia.
Kala itu, TPN memilih untuk bekerja sama dengan Kia karena kesediaan perusahaan asal Korea Selatan tersebut untuk melakukan transfer pengetahuan dan transfer teknologi pada Indonesia. Keputusan Kia ini berbeda dengan Jepang yang dianggap lebih memilih untuk menyimpan teknologinya untuk negaranya sendiri karena tidak bersedia untuk melakukan transfer teknologi.
Bahkan, Jepang bersama sejumlah negara lain berupaya untuk melaporkan proyek Timor tersebut ke World Trade Organization (WTO). Laporan tersebut bisa saja berujung pada kemelut proses penyelesaian sengketa di organisasi internasional tersebut.
Dominasi teknologi otomotif oleh Jepang semacam inilah yang akhirnya disebut-sebut menimbulkan perdebatan politik di pemerintahan Jokowi. Pasalnya, Luhut kini dikabarkan tengah mendorong pembangunan industri mobil listrik di Indonesia – dengan menggandeng sejumlah investor nikel dari negara-negara lain seperti Tiongkok dan AS.
Bila memang benar Jepang menjalankan politik otomotif di Indonesia, pertanyaan lanjutan pun timbul. Apakah ada dinamika politik tertentu yang mendasari usulan pajak nol persen? Lantas, apakah dinamika tersebut berkaitan juga dengan persaingan antarnegara di baliknya?
Meraba Proxy Jepang
Bukan tidak mungkin, apa yang diusulkan oleh Menperin dapat menguntungkan Jepang. Pasalnya, dengan dominasinya yang besar, Indonesia menjadi pasar yang perlu dipertahankan oleh negara tersebut.
Belum lagi, Agus Gumiwang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan Jepang. Hal ini terlihat dari bagaimana Menperin pernah memiliki pengalaman yang erat terkait relasinya dengan negara tersebut.
Menperin tercatat pernah menjadi anggota Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia-Jepang. Tidak hanya itu, Agus Gumiwang juga pernah menjadi wakil ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang (PPIJ).
Agus Gumiwang juga memiliki kedekatan secara keluarga dengan Jepang. Ayahnya yang pernah menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS (1993-1998) pada era Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita, merupakan penasihat bagi Japan International Cooperation Agency (JICA).
Tidak hanya Agus Gumiwang, sejumlah menteri lain disebut-sebut juga memiliki pengalaman yang dekat dengan Jepang. Beberapa di antaranya adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Lantas, bila para menteri ini pernah memiliki kedekatan dengan Jepang, apakah mungkin mereka dapat memengaruhi jalannya pemerintahan Jokowi?
Mungkin, secara langsung, Jepang tidak akan dapat memengaruhi dalam hal kebijakan. Namun, melalui nama-nama tersebut, bukan tidak mungkin negara tersebut dapat memperoleh pengaruh politik terhadap pemerintahan Jokowi.
Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dalam tulisan mereka yang berjudul Foreign Interference in Domestic Politics menjelaskan bahwa campur tangan asing bisa saja memengaruhi dinamika politik domestik. Campur tangan asing ini bisa saja dilakukan dengan mempererat hubungan dengan politisi lokal.
Selain itu, asumsi serupa juga dijelaskan oleh Assaf Moghadam and Michel Wyss dalam tulisan mereka yang berjudul The Political Power of Proxies. Meski lebih berfokus pada isu keamanan, Moghadam dan Wyss menyebutkan bahwa negara lain dapat memiliki proxy – atau political ancillaries (penyokong politis) – di tingkat domestik dengan menggandeng sejumlah aktor sub-negara.
Menariknya, Jepang bisa jadi bukan satu-satunya negara yang memiliki proxy di pemerintahan Jokowi. Luhut, misalnya, kerap dianggap memiliki kedekatan dengan Tiongkok.
Bukan tidak mungkin, usul pajak nol persen dan upaya untuk mendorong industri mobil listrik merupakan laga antara dua negara yang memang kerap bersaing tersebut. Selain itu, Jokowi sendiri disebut ingin mengimbangi dominasi Jepang – baik secara politik maupun ekonomi – dengan menggandeng Tiongkok.
Asumsi ini dijelaskan oleh René L. Pattiradjawane dalam tulisannya yang berjudul The Indonesian Perspective Toward Rising China. Menurut Pattiradjawane, Jokowi ingin mengimbangkan dua kekuatan tersebut untuk menciptakan stabilitas guna menjaga pembangunan nasional Indonesia.
Bahkan, pemerintahan Jokowi baru-baru ini juga mengajak Jepang untuk menggabungkan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya dengan proyek Jakarta-Bandung yang dikelola oleh badan hasil kerja sama Indonesia-Tiongkok. Bukan tidak mungkin, ini adalah upaya pemerintah untuk mengimbangkan dua kekuatan tersebut.
Namun, bagaimana pun juga, gambaran kemungkinan di atas belum tentu benar adanya. Mungkin, memang hanya beberapa pihak yang benar-benar tahu bagaimana perimbangan kekuatan ini berjalan.
Bisa jadi, seperti kutipan lirik rapper Ab-Soul di awal tulisan, para aktor politik Jepang bisa saja mengetahui sesuatu – entah sesuatu tersebut berkaitan dengan geopolitik atau tidak. Mari kita nantikan saja kelanjutan laga dua negara besar Asia ini. (A43)