Mural “Jokowi 404: Not Found” tidak hanya dihapus, melainkan juga pembuatnya tengah dicari pihak berwajib. Sekali lagi, alasan Presiden sebagai simbol negara kembali digunakan. Apakah ini bentuk represi negara?
“Art is a criticism of society and life, and I believe that if life became perfect, art would be meaningless and cease to exist.” — Naguib Mahfouz, penulis asal Mesir
Beberapa hari ini diskursus publik diramaikan oleh kasus mural. Ya, mural. Diketahui, mural berisi kritik sosial di berbagai tempat dihapus oleh pihak berwajib. Yang paling menarik, mural berbentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tulisan “404: Not Found” di Tangerang, tidak hanya dihapus, tapi pembuatnya juga tengah dicari.
Seperti yang mudah ditebak, persoalan ini melahirkan berbagai reaksi, yang umumnya mempertanyakan apa urgensi pencarian sang pembuat mural. Persoalannya menjadi lebih kompleks karena alasan pihak berwajib mencari pembuat mural dinilai tidak tepat. Disebutkan, ada dugaan penghinaan terhadap Presiden sebagai lambang atau simbol negara.
Masalahnya, mengacu pada UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2009, yang tercantum sebagai simbol negara adalah bendera merah putih, bahasa Indonesia, Burung Garuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, serta lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Uniknya, kesalahan serupa juga dilakukan oleh Rektorat Universitas Indonesia (UI) ketika memanggil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI terkait unggahan “Jokowi The King of Lip Service”.
Baca Juga: The King of Lip Service, Apa Salahnya?
Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, pasal KUHP terkait penghinaan terhadap Presiden sebagai delik biasa sudah dicabut oleh MK. Oleh karenanya, pihak berwajib seharusnya baru bisa bertindak apabila terdapat aduan, bukannya berinisiatif mengejar pelaku.
Persoalan ini menjadi perhatian sendiri, khususnya dari pengamat hukum. Mengapa pihak berwajib bertindak tidak berdasarkan mekanisme hukum yang tepat? Lebih jauh lagi, apakah ini menunjukkan indikasi penerapan hukum represif?
Bayang-bayang Hukum Represif
Di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19, banyak dari kita tentu melihat gestur pemerintah mulai bertendensi represif. Mulai dari pemberian sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan (prokes), hingga diturunkannya ribuan aparat dalam penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Namun, seperti yang dicatat Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Hukum Responsif, mekanisme represif seperti itu tidak dapat begitu saja disebut memiliki tujuan jahat untuk merepresi masyarakat.
Ketika pemegang kekuasaan berada dalam situasi sulit, mereka cenderung akan berpaling ke mekanisme-mekanisme represif karena mungkin tidak melihat jalan lain untuk memenuhi tanggung jawabnya.
Konteks ini misalnya dapat kita lihat pada kebijakan vaksinasi Covid-19. Terlepas dari kritik berbagai pihak bahwa ada unsur “paksaan”, mekanisme represif tersebut sekiranya diperlukan untuk mengejar target vaksinasi.
Yang menjadi masalah adalah, seperti yang ditegaskan Nonet dan Selznick, keadaan darurat seperti saat ini sangat rentan dimanfaatkan kekuasaan untuk menjadi represif. Ini bukan mekanisme represif untuk mengejar kebaikan yang lebih besar (common good), melainkan karena kekuasaan tidak mampu menjaga kesetiaan publik dan memenuhi tuntutan masyarakat.
Secara khusus, kondisi tersebut disebut sebagai the poverty of power atau “miskinnya kekuasaan”. Situasi ini ditandai dengan menurunnya kepercayaan masyarakat, serta adanya gejolak internal dalam tubuh kekuasaan itu sendiri.
Terkait kepercayaan masyarakat, berbagai lembaga survei menunjukkan adanya penurunan. Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, pada Juli kemarin menyebut kepercayaan terhadap Presiden turun dari 56,5 persen menjadi 43 persen.
Lalu soal gejolak internal, persoalan ini sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Di Mana Jokowi? dan Jokowi Mulai Ditinggalkan?. Tampaknya tengah ada gelagat benteng-benteng Presiden Jokowi mulai mencari proyeksi tunggangan baru karena kapal sebentar lagi akan berlabuh.
Kembali pada poin Nonet dan Selznick, represi akan terjadi karena kekuasaan tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat. Nah, apabila diamati, bukankah mural yang dihapus berisikan kritik atas situasi pandemi?
Di Pasuruan ada mural bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”. Sementara di Tangerang ada mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” dan “Jokowi 404: Not Found”. Suka atau tidak, mural-mural tersebut menjelaskan kondisi ekonomi saat ini. Kebijakan PPKM Darurat memberikan hantaman bagi kelompok menengah ke bawah, khususnya mereka yang mengandalkan pendapatan harian.
Berbagai pihak pun mempertanyakan mengapa UU Kekarantinaan Kesehatan tidak digunakan. Tidak heran kemudian terdapat dugaan, UU tersebut tidak digunakan agar negara tidak memiliki kewajiban untuk “memberikan makan”.
Ya, mungkin saja dugaan itu salah, tapi bukan itu poinnya. Poinnya adalah, tengah terjadi distrust terhadap kekuasaan. Ini tentunya bertolak dari ketidakpuasaan terhadap penanganan pandemi.
Jika benar tengah terjadi poverty of power dan kekuasaan mulai menjadi represif, itu dapat menjadi jawaban mengapa pihak berwajib menggunakan aturan hukum yang tidak tepat dalam mencari pembuat mural “Jokowi 404: Not Found”.
Banalitas Kejahatan
Jika mengkaji lebih dalam, ada sesuatu yang lebih berbahaya daripada ancaman negara represif, yakni ketidaksadaran kekuasaan telah menjadi demikian. Poin ini yang ditekankan Rieke Diah Pitaloka dalam bukunya Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat.
Berbeda dengan berbagai pihak yang menyebut kekuasaan yang otoriter atau represif sadar atas perbuatannya, Rieke justru menyebutkan kebijakan diambil karena ketidaksadaran bahwa itu bertendensi demikian.
Simpulan tersebut ditarik karena Rieke menggunakan teori banalitas kejahatan (banality of evil) dari filsuf Jerman, Hannah Arendt.
Dalam bukunya, politisi PDIP ini mencontohkan kasus Adolf Eichmann. Petinggi militer Nazi yang bertanggung jawab atas peristiwa Holocaust ini justru tidak sadar dirinya telah melakukan kejahatan. Menurut Eichmann, apa yang dilakukannya tidak lebih dari sekadar memenuhi tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya.
Lebih getir lagi, menurut Rieke, mengapa kekerasan dan represi negara selalu terulang, karena adanya kelumrahan di tengah masyarakat dan pengambil kebijakan itu sendiri. Ini membuat kebijakan represif yang ada tidak ditanggapi secara kritis karena menilainya sebagai fenomena yang biasa atau lumrah.
Selain itu, Rieke juga menjelaskan sifat intrinsik hukum yang membuat penguasa mudah berlaku represif. Seperti yang diketahui, hukum memiliki sifat koersif dan memaksa. Ini membuat penguasa kerap memanfaatkan hukum semata-mata sebagai perangkat untuk mengatur masyarakat. Poin ini juga disinggung oleh Nonet dan Selznick.
Bertolak pada banality of evil, apakah mungkin pihak berwajib yang mencari pembuat mural tidak mempermasalahkan aturan hukum yang tidak tepat, karena merasa itu sebagai pemenuhan tanggung jawabnya dalam menjaga ketertiban?
Spekulasi yang lebih buruk, bagaimana jika terdapat pelumrahan? Bagaimana jika pihak berwajib melakukan tindakan tersebut karena merasa tindakan represif adalah sesuatu yang lumrah? Poin ini tentunya adalah ketakutan kita semua.
Baca Juga: Sejauh Mana Ancaman Luhut?
Mengutip teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, hukum harus memiliki tiga komponen agar dapat bekerja, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Pertanyaannya, bagaimana mungkin terjadi kepastian hukum, apabila terdapat budaya hukum yang melumrahkan tindakan yang bertolak dari aturan hukum yang tidak tepat?
Well, apa pun yang terjadi, entah itu tendensi represi atau bukan. Yang jelas, seperti kutipan pernyataan Naguib Mahfouz di awal tulisan, seni adalah kritik sosial. Mural-mural yang ada, alangkah baiknya dipahami sebagai vitamin kritik bagi kekuasaan. (R53)