Site icon PinterPolitik.com

Pemerintahan Jokowi Alami “Pembusukan” Demokrasi?

Pemerintahan Jokowi Alami “Pembusukan” Demokrasi?

Presiden Joko Widodo (Foto: Kompas TV)

Di periode kedua kepemimpinannya, Presiden Jokowi dihadapkan dengan berbagai gejolak politik yang dinilai terus menggerus legitimasinya. Yang terbaru, berbagai pihak bahkan membentuk Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) karena kondisi politik dinilai tengah genting. Lantas, mungkinkah pemerintahan Jokowi tengah mengalami “pembusukan” demokrasi?


PinterPolitik.com

Ancaman terhadap demokrasi justru muncul dari negara demokrasi yang sudah mapan” – Francis Fukuyama dalam Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment

Bagi mereka yang membaca buku-buku fisika populer Stephen Hawking, tentu mengetahui perdebatan asal usul alam semesta antara teori Big Bang atau dentuman besar dengan Steady-State Model atau teori keadaan tetap. Dewasa ini, teori terakhir jamak ditinggalkan karena berbagai temuan ilmiah menunjukkan bahwa alam semesta memiliki titik awal mula.

Perdebatan tersebut, setidaknya menggambarkan suatu sifat alamiah manusia, yakni sulit untuk membayangkan sesuatu dapat terjadi begitu saja. Singkatnya, tidak mungkin suatu hal muncul dari ketiadaan. Ini pula yang sepertinya menjadi alasan mengapa adagium “tidak ada yang disebut dengan kebetulan” menjadi lumrah untuk didengar.

Adagium tersebut kemudian yang diserap serius oleh Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS) Franklin D Roosevelt dengan menyebutkan: “Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda dapat bertaruh hal itu pasti direncanakan”.

Konteks pernyataan Roosevelt ini dapat kita gunakan untuk menyimpulkan bahwa deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang digagas oleh sejumlah tokoh, seperti Rocky Gerung, Said Didu, Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, hingga Sri Bintang Pamungkas tentunya tidak terjadi begitu saja. “Tidak ada api kalau tidak ada asap”. Singkatnya, deklarasi ini mestilah merupakan respons atas kondisi politik tanah air saat ini.

Pakar hukum tata negara Refly Harun bahkan menyampaikan landasan konstitusional atas perkumpulan yang juga melibatkan dirinya tersebut. Tegasnya, adalah tugas negara untuk melindungi, mencerdaskan, dan menyejahterakan warga negaranya. Apabila tugas ini tidak dapat dilaksanakan, maka komponen masyarakat dapat mengisi ruang kosong tersebut.

Tentu menjadi menarik kemudian untuk diulik, persoalan politik apa yang sekiranya dapat dimaknai dari deklarasi tersebut?

Pembusukan Demokrasi

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada 2016 lalu, tidak hanya mengejutkan berbagai pihak, melainkan juga memicu diskursus politik tersendiri. Francis Fukuyama, bahkan menulis buku berjudul Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, yang memang ditujukan sebagai respons atas kemenangan Trump.

Dalam buku ini, Fukuyama mempopulerkan istilah minor perihal kondisi perkembangan demokrasi dunia. Menurutnya, lembaga-lembaga politik modern justru tengah mengalami “pembusukan demokrasi”. Bertolak dari AS, Fukuyama melihat lembaga-lembaga di AS tengah membusuk karena negara Adidaya tersebut terperangkap oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terkunci dalam struktur kaku yang tidak dapat mereformasi dirinya sendiri.

Secara terbuka, akademisi Stanford University ini bahkan menyebutkan bahwa Trump adalah produk, sekaligus kontributor pembusukan tersebut. Simpulan ini, tidak hanya keras melainkan juga merupakan indikasi dari gelombang balik demokrasi.

Samuel P. Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, telah dari jauh-jauh hari menyinggung hal ini. Tandasnya, kendati dunia telah mengalami gelombang demokratisasi sebanyak tiga kali, gelombang balik demokrasi justru beberapa kali terjadi, dan mungkin saja akan terjadi lagi.

Di sini, Huntington mengadopsi bantahan atas asumsi bahwa sejarah bergerak secara linier dan teratur. Dengan kata lain, proses politik tidak terduga seperti gelombang balik demokrasi, ataupun kembalinya berbagai negara menjadi otoriter bukanlah hal yang patut untuk diherankan.

Tidak hanya menyinggung masalah lembaga-lembaga politik yang terjebak dalam kubangan lumpur hitam, Fukuyama juga memberikan perhatian khusus pada persoalan identitas dan politik identitas yang begitu sulit direkonsiliasi, sehingga perpecahan dan polarisasi masyarakat menjadi tidak terhindarkan.

Pasalnya, merujuk pada raison d’etre demokrasi liberal untuk menciptakan kesetaraan bagi setiap individu, politik identitas adalah batu besar yang mengganjal tujuan tersebut.

Dua belas tahun sebelum Fukuyama menyinggung hal ini, Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violance: The Illusion of Destiny juga telah menyinggung bagaimana destruktifnya persoalan identitas, yang tidak hanya bermuara pada perpecahan, melainkan juga kekerasan yang anarkis.

Getirnya, tidak hanya menjadi persoalan yang inheren melekat dalam diri individu dan kelompok masyarakat, menurut Fukuyama, persoalan identitas ini semakin diruncingkan dengan kehadiran internet. Singkatnya, teknologi ini telah memfasilitasi fragmentasi sosial yang tidak terkendali karena menjadi platform bagi masyarakat untuk membentuk kelompok sesuai dengan identitasnya.

Konteks politik identitas ini kuat kita lihat pada gejolak politik terbaru di AS. Kasus kematian George Floyd beberapa waktu lalu, telah menjadi pemantik gerakan #BlackLivesMatter yang kembali mengingatkan dunia atas derasnya isu identitas di negeri Paman Sam.

Pada titik ini, kita dapat menyimpulkan setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan pembusukan demokrasi. Pertama, lembaga politik yang terjebak dalam kelompok kepentingan dan struktur yang kaku. Kedua, semakin menjamurnya politik identitas.

Bagaimana dengan Jokowi?

Jika benar AS di bawah Trump saat ini tengah mengalami pembusukan demokrasi. Tentu menarik untuk dipertanyakan, jika negara dengan sejarah dan tradisi panjang demokrasi seperti AS saja mengalami penggerusan demokrasi, lantas bagaimana dengan Indonesia yang terbilang masih baru dalam hal politik demokrasi?

Deklarasi KAMI oleh Rocky Gerung CS, suka atau tidak merupakan indikasi bahwa tengah terjadi ketidakberesan dengan politik demokrasi saat ini. Terlebih lagi, Refly Harun bahkan menyinggung perihal tugas negara yang belum mampu dilaksanakan sebagai dalil konstitusional atas perkumpulan tersebut.

Sebagaimana diketahui, telah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di Indonesia memang dikenal buruk. Seperti yang disinggung oleh Fukuyama, birokrasi yang buruk ini bahkan meniadakan cara untuk mereformasi dirinya. Selain itu, adanya belenggu kelompok kepentingan kuat, seperti oligarki, pelaku bisnis, ataupun politisi telah jamak diketahui, dan bahkan dipandang lumrah.

Di tengah hantaman pandemi virus Corona (Covid-19), persoalan ego sektoral bahkan semakin menunjukkan dirinya. Lihat saja kasus korupsi bantuan sosial (bansos) di berbagai daerah. Ada pula kasus dugaan beberapa Rumah Sakit (RS) yang memanipulasi kasus positif Covid-19 agar mendapatkan insentif dari pemerintah.

Getirnya, di tengah gejolak situasi politik dan ekonomi saat ini, pemerintahan Presiden Jokowi seolah berlaku anti-kritik dengan “tidak” memperhitungkan masukan sejumlah pihak. Konteks ini jelas terlihat dari tetap berlanjutnya Perppu Corona menjadi Undang-Undang (UU), di mana produk hukum ini jamak dinilai memberikan imunitas hukum. Pun begitu dengan BPJS Kesehatan yang tetap dinaikkan, kendati sebelumnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Dan yang terpenting, politik identitas dan polarisasi masyarakat yang membesar sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 justru tetap hidup saat ini, meskipun Prabowo Subianto telah tergabung  dalam pemerintahan. Hal ini jelas kita lihat dengan masih berseliwerannya panggilan cebong-kampret, ataupun kadrun di berbagai lini sosial media.

Dengan terpenuhinya dua faktor tersebut, yakni lembaga politik yang buruk, serta menjamurnya politik identitas, mungkinkah pemerintahan Presiden Jokowi tengah menghadapi pembusukan demokrasi saat ini seperti halnya Trump?

Seperti yang disebutkan oleh Fukuyama, pembusukan demokrasi ini adalah distopia yang tidak ingin kita lihat aktualisasinya. Di luar itu semua, tentu kita berharap bahwa politik demokrasi di Indonesia akan menuju harapan Fukuyama, yakni terciptanya demokrasi yang mengakomodasi kesetaraan dan kesejahteraan setiap individu. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version