Site icon PinterPolitik.com

Pemerintah Panik People Power?

Pemerintah panik, Wiranto akan pantau tokoh dan media sosial

Menko Polhukam, Wiranto di sebuah acara (Foto: Istimewa)

Pemerintah Indonesia bereaksi dengan cukup keras soal adanya isu people power. Terbaru, Menkopolhukam Wiranto akan memantau tokoh, dan bahkan memblokir media sosial. Kapolri, Tito Karnavian, Panglima TNI, Hadi Tjahjanto juga bereaksi senada. People power yang dianggap isapan jempol , nyatanya pemerintah seperti panik menghadapinya.


Pinterpolitik.com

[dropcap]W[/dropcap]iranto menutup rapat di kantor Kemenko Polhukam dan dilanjut dengan jumpa pers. Wiranto menjelaskan bahwa dia bersama tim pakar hukum sedang menggodok suatu jalan hukum bagi tokoh yang berbicara menghasut dan merongrong NKRI, ucapan, tindakan dan pemikiran tokoh harus diawasi.

Tak hanya itu, Wiranto juga berkoordinasi dengan Menkominfo, Rudiantara untuk menutup media sosial yang turut melipatgandakan isu kecurangan di pemilu 2019.

Selain itu, Kapolri, Tito Karnavian juga memberikan pernyataan yang senada, bahwa upaya people power sebagai bentuk mobilisasi umum tentu hal biasa, namun upaya delegitimasi terhadap pemerintah yang sah akan dikenai pasal 107 KUHP, yaitu pasal makar.

Setali tiga uang, lembaga kemanan negara, TNI, lewat Panglimanya, Hadi Tjahjanto urun suara soal people power. Dia mengatakan bahwa dia melihat adanya provokasi yang tidak terima dengan hasil pemilu. Dia melihat adanya potensi penyerangan terhadap kantor-kantor penyelenggara pemilu, mulai dari KPU dan Bawaslu. Dia dan tim akan terus berpatroli melihat wilayah rawan rusuh tersebut.

Secara spesifik, Kepala Staf Presiden, Moeldoko menyatakan bahwa ada segelintir orang, kelompok kecil yang mengganggu yang lain, kebebasan satu pihak tidak boleh menganggu yang lain klaimnya. Moeldoko membela apa yang dilakukan Wiranto soal pengawasan pada omongan tokoh, dan upaya penutupan media sosial.

Mantan Kepala BIN Hendropriyono, orang yang dekat dengan pemerintah, bahkan secara spesifik menuduh kelompok keturunan Arab yang memprovokasi rakyat, dan dia menghimabu agar kelompok keturunan Arab menahan diri.

Tuduhan ini makin spesifik sebagai respons terhadap pernyataan Amien Rais soal people power, dan adanya tuduhan kecurangan dari kubu penantang, lebih spesifik lagi dikatakan bahwa kelompok keturunan Arab yang berada di sekeliling kubu penantang yang memrovokasi hasil pemilu dan pemerintahan yang sah.

Deretan pernyataan ini memiliki benang merah yang bisa ditarik, yaitu soal people power yang bagi mereka semua mengancam negara. Hal ini cukup janggal, sebab pemerintah hari ini sekaligus capres petahana nampak bereaksi keras dengan kelompok yang berafiliasi dengan kubu penantang.

Padahal, pasca pilpres kubu petahana banyak melontarkan pujian dan kata-kata penuh cinta kasih kepada penantang. Selain itu, berdasarkan rilisan terbaru situng KPU yang menunjukkan keunggulan kubu petahan dengan selisih suara sekitar 13 juta (70,3 % suara masuk), maka sejatinya pemerintah sudah sangat pede, tidak perlu merubah sikap, tetap bisa merangkul.

Pemerintah dengan segala kekuatannya yang tidak ada menandingi di negeri ini tentu saja seharusnya bisa tetap tenang menghadapi situasi semacam ini. Terlebih kelompok yang dianggap akan menggerakkan massa bukan apa-apa jika dibanding pemerintah. Pemerintah merespons isu ini dengan aneh, dan bagi beberapa orang berlebihan. Perbedaan dalam menyikapi adalah hal biasa, dan hal tersebut terjadi di setiap pemilu.

Di tengah kekuatan besar pemerintah, kepastian kemenangan kubu petahana dengan selisih tebal, dan tidak kuatnya gerakan people power, sikap yang ditunjukkan pemerintah justru aneh, tidak wajar, tidak rasional.

Pemerintahan Panik

Panik adalah sensai ketakutan yang datang dengan cepat, yang begitu kuat sehingga menghambat kerja logis, yang ditutupi dengan kecemasan dan kegugupan, serta menimbulkan reaksi animalistik, liar. Panik bisa terjadi secara individual maupun massal.

Akar dari kepanikan adalah ketakutan, menurut Leonard J. Scmidt dan Brooke Warner mendefinisikan panik sebagai sebuah emosi yang tidak diimbangi dengan kemampuan kita membayangkan yang lebih buruk dari yang terjadi, sehingga terbitlah kepanikan.

Panik bisa menyebar, mereka yang terjangkiti akan bertindak irasional sebagai konsekuensinya. Maka secara massal, panik membuahkan histeria masal, dan kepanikan masal.

Panik dapat terjadi sebab lingkungan dan juga sosial. Panik bisa disebabkan oleh kehilangan, transisi kehidupan, intinya pada perubahan. Panik juga terjadi sebab terekspos dengan hal yang mereka takuti. Tak hanya itu, panik juga terjadi sebab asumsi dan kepercayaan yang salah, juga perasaan penolakan. Panik terjadi sebab ingin ada asurasin di masa mendatang, sebab khawatir dengan masa depan.

Untaian gejala irasional yang dihadirkan pemerintah berupa upaya penutupan media sosial, dan pengawasan terhadap ucapan, tindakan dan pemikiran warga negaranya adalah sebuah pilihan yang irasional, di tengah semainya demokrasi kita di hampir dua dekade ini. Dengan menuduh perbedaan pendapat sebagai sebuah upaya merongrong negara, tentu bukan pikiran yang rasional dalam demokrasi yang plural semacam ini.

Indonesia dibangun dari pluralitas semacam itu, pikiran kita jamak dan ragam. Bahkan dengan menyebut kubu tertentu, etnis tertentu adalah sebuah sikap yang sama sekali tidak elok diperlihatkan, tidak lumrah, janggal sekali dalam dunia pemerintahan yang berkuasa.

Berdasarkan dari teori panik dalam ilmu psikologi, apa yang dilakukan pemerintah dapat digolongkan ke dalam gejala kepanikan. Gejala ketakutan akan delegitimasi, ketidakpastian masa depan kekuasaan, pada perubahan hasil pemilu, yang memicu kondisi panik, yang memupuk kepanikan bersama.

Walhasil pemerintah bersikap irasional, sebuah sikap lazim yang ditunjukkan seseorang ketika panik, kondisi panik hasil dari variabel-variabel di muka.

Uwow, dipantau nih kita rakyat ama penguasa Share on X

Otoriter Patut Dicurigai

Pemerintah Indonesia hari ini tidak sendirian, corak kerja yang membendung perbedaan, menutup segala kemungkinan selisih pendapat dalam masyarakatnya juga dilakukan di berbagai negara.

Tiongkok menjadi salah satunya, dengan ketakutan mereka terhadap pengaruh barat, dan kebebasan berpendapat, Tiongkok melakukan penyensoran terhadap seluruh produk internet dari Amerika Serikat.

Tiongkok takut dengan stabilitas negara mereka akan terancam dengan terbitnya fajar budi dan kebebasan berpendapat dari masyarakatnya. Tiongkok takut dengan kritik yang nantinya akan muncul kepada pemerintahannya yang memang banyak menutupi skandal HAM nya selama ini.

Tak hanya Tiongkok, Turki juga menjadi salah satu contoh bagaimana pemerintahannya panik ketika kekuatan yang berpotensi beroposisi dengan pemerintahan Recep Tayyip Erdogan. Di negara tersebut, ada National Intelligence Organization yang bertugas mengawasi dan bahkan memblokir situs-situs tertentu.

Gejala panik di Turki ini dapat dilihat karena hukum yang memperkuat organisasi itu baru muncul pasca dugaan kudeta yang gagal di tahun 2016. Pasca dugaan tersebut, kebebasan di Turki memang merosot salah satunya ditandai dengan penutupan berbagai situs.

Di Indonesia gejala otoriter seperti di Tiongkok dan Turki sebagai bagian defensif demi mempertahankan kekuasaan nampak terjadi hari ini, sebab pemerintah sedang panik, takut jika kekuasaan mereka hilang.

Pemerintah seharusnya bisa tampil elegan dengan mendorong KPU dan Bawaslu bersikap seprofesional dan setransparan mungkin, urusan tidak disetujui oleh pihak tertentu, tentu urusan lain.

Ketidakwajaran sikap pemerintah justru memancing kekeruhan di masa penantian ini. Masyarakat menjadi curiga, sebab hanya mereka yang pernah melakukan kebohongan saja gugup ketika kebohongannya akan terbongkar. Gelagat gugup, panik umumnya adalah upaya penutupan sesuatu. Lalu jika pemerintah benar, mengapa harus panik? (N45)

Exit mobile version