Site icon PinterPolitik.com

Pemerintah Bohong Soal Inflasi?

Pemerintah Bohong Soal Inflasi?

Foto: PinterPolitik/M78

Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator untuk mengukur tingkat inflasi. Namun, bagaimana jika IHK bukan indikator untuk kepentingan itu?


PinterPolitik.com

“If you want to know about governments, all you need to know is two words: Governments lie.” – Isidor Feinstein Stone

Consumer Price Index (CPI) atau Indikator Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang secara umum digunakan untuk mengukur inflasi. IHK digunakan karena menggambarkan kenaikan atau penurunan harga barang dan jasa setiap bulan dan setiap tahunnya.

Rumus menghitung IHK:

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Salah Diagnosis, Inflasi Seharusnya Lebih Besar?, telah dijabarkan bahwa inflasi sebenarnya bukan kenaikan harga, melainkan berkurangnya nilai tukar uang. Dengan melihat IHK, kita dapat mengetahui apakah nilai tukar uang berkurang atau tidak setiap bulannya.

Berikut rumus menghitung inflasi:

Sekilas, dapat disimpulkan bahwa IHK dapat menjadi metode presisi untuk menghitung inflasi. Namun, terlepas dari penggunaannya secara luas, telah lama IHK menuai berbagai kritik dan kontroversi. Terdapat berbagai keraguan terhadap kemampuan IHK sebagai metode untuk menghitung inflasi.

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, IHK menuai berbagai kritik setelah terjadi perubahan dari IHK sebagai Cost of Goods Index (COGI) menjadi Cost of Living Index (COLI).

COGI adalah pengukuran harga tetap barang dan jasa, serta menghitung perubahannya dari waktu ke waktu. Sementara, COLI adalah indeks harga yang mengukur biaya hidup yang perlu dikeluarkan masyarakat untuk mencapai standar hidup – dihitung dari waktu ke waktu dan dibandingkan antar-wilayah dalam satu negara.

Ekonom John Williams mengkritik perubahan tersebut dengan menyebutnya sebagai manipulasi statistik karena membuat skor indeks menjadi lebih rendah. Dalam publikasinya Government Shadow Statistics, Williams menyebutkan bahwa, selama lebih dari 30 tahun, ia mencatat terdapat kesenjangan yang semakin besar antara laporan pemerintah dan inflasi yang dirasakan masyarakat umum.

Kendati tidak sampai menuduh sebagai manipulasi, ekonom David Ranson menyebut COLI sebagai lagging indicator dan bukan sebagai indikator untuk menghitung inflasi. Sama seperti Williams, Ranson juga menilai COGI yang mengukur kenaikan harga barang dan jasa sebagai indikator yang lebih baik untuk mengukur inflasi.

Kritik berbagai ekonom AS terhadap IHK penting dibahas karena metode serupa sekiranya juga digunakan di Indonesia. Merujuk pada rumusnya yang lebih kompleks, tidak hanya menghitung harga barang dan jasa, IHK juga menghitung konsumsi rumah tangga.

Berikut rumusnya:

Dalam mengukur inflasi, ada dua data penting yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS), yakni IHK dan Survei Biaya Hidup (SBH). Mengutip BPS, SBH adalah survei pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk mendapatkan pola konsumsi masyarakat sebagai bahan penyusunan diagram timbang dan paket komoditas dalam penghitungan IHK.

Terkait SBH, ada tiga persoalan teknis yang dapat dilihat. Pertama, saat ini, SBH yang digunakan adalah SBH pada 2018 karena SBH 2022 masih dalam tahap kalkulasi. Kedua, SBH merupakan survei alias sampling, bukan sensus. Ketiga, SBH dilakukan di kota-kota besar setiap provinsi karena ada asumsi harga di kota besar mempengaruhi daerah lainnya.

Tiga masalah teknis itu melahirkan dua persoalan. Pertama, seperti yang juga diakui oleh BPS, SBH pada 2018 sekiranya tidak relevan dengan konsumsi masyarakat saat ini. SBH 2018 dilaksanakan di 90 kota, yang terdiri dari 34 ibu kota provinsi dan 56 kabupaten/kota. Survei dilaksanakan di daerah perkotaan dengan total sampel rumah tangga sebanyak 141.600 rumah tangga.

Kedua, meskipun tidak disebutkan, tampaknya terdapat semacam generalisasi pola konsumsi rumah tangga. Terlebih, jika surveinya di kota-kota besar, itu tidak menjangkau masyarakat pedesaan yang ekonominya lebih rendah.

Well, kritik Williams dan Ranson terhadap IHK tampaknya juga berlaku di Indonesia. Selain itu, IHK juga luput atas fenomena shrinkflation. Ini adalah fenomena yang terjadi ketika produk dijual dengan harga yang sama tetapi mengurangi kuantitas atau kualitas produk yang ada di dalamnya.

Shrinkflation juga dikenal sebagai hidden inflation atau inflasi tersembunyi. Harga barang sebenarnya naik. Namun, agar konsumen tidak meninggalkan produk, yang dikurangi adalah kuantitas atau kualitasnya.

Fenomena berkurangnya ukuran snack atau jajanan yang kita konsumsi setiap hari, misalnya, menjadi salah satu contoh atas dampak shrinflation. Meskipun harga jajanan-jajanan ini tetap atau naik sedikit, ukuran sajiannya pun menyusut seiring waktu.

Di titik ini ada sebuah pertanyaan penting yang patut diajukan. Persoalan yang disebutkan Williams, Ranson, dan fenomena shrinkflation merupakan informasi terbuka (open source). Dengan modal gawai dan internet, kita dapat menemukan sekelumit analisis tersebut.

Lantas, dengan sumber daya yang jauh lebih besar, kenapa pemerintah tidak menunjukkan perhatian atas masalah IHK dan inflasi?

Negara vs Korporasi

Secara cepat, mudah bagi kita untuk menjawab bahwa masalahnya pada political will pemerintah. Namun, apa yang membuat political will itu tidak terlihat?

Kita dapat menemukan jawabannya menggunakan perpaduan studi perang, studi hubungan internasional (HI), dan studi politik.

George Dimitriu dalam tulisannya Clausewitz and the Politics of War: A Contemporary Theory menyebutkan bahwa perang tidak lagi terjadi antara negara dengan negara, melainkan antara negara dengan aktor non-negara, seperti korporasi raksasa dan kelompok transnasional.

Klon Kitchen dalam tulisannya The New Superpowers: How and Why the Tech Industry is Shaping the International System pun menyebutkan bahwa revolusi industri keempat telah membentuk kembali kontur tatanan global dan membuat aktor non-negara seperti korporasi raksasa menjadi penantang otoritas, kedaulatan, dan kapasitas pemerintah.

Dengan kekuatan ekonomi menjadi alat tawar utama di era kontemporer, bukankah itu membuat para pemilik kapital raksasa dapat menantang daya tawar negara?

Penekanan ini menjadi semakin krusial apabila melihatnya dari teori realisme dalam studi HI. Hans Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations menjelaskan bahwa hubungan antar negara sangat dipengaruhi oleh motif, psikologi, dan preferensi ideologi dari tiap pemimpin negara. Dengan kata lain, yang berinteraksi bukanlah antara AS dengan Rusia, melainkan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Hal yang sama juga terjadi di perang asimetris. Sebenarnya, tidak terjadi perang antara negara dengan korporasi raksasa, melainkan pejabat tinggi pemerintahan dengan korporasi tersebut.

Dengan demikian, ini bukan soal position power, melainkan soal personal power. Ini bukan soal apa jabatannya di pemerintahan, melainkan apakah secara personal memiliki pengaruh politik yang besar atau tidak.

Komparasinya dapat dilihat pada pemerintahan Orde Baru (Orba). Kuatnya personal power Soeharto membuatnya dapat mengontrol para konglomerat, korporasi, dan sekaligus mengontrol harga berbagai produk.

Pada kasus tidak terlihatnya political will pada persoalan IHK dan inflasi, kuat dugaan personal power para pejabat telah kalah dari pengaruh ekonomi korporasi. Kita bisa melihat buktinya pada kesulitan pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan mengontrol harga barang.

Pada Maret 2022, misalnya, pemerintah menaikkan HET minyak goreng dari Rp11.500 menjadi Rp14.000 setelah mendapat kritik dari berbagai produsen minyak goreng. Kemudian, ada pula kasus berbagai mafia pangan yang kerap menaikkan harga untuk mengejar margin keuntungan.

Di produk obat-obatan, HET hanya berlaku untuk obat generik. Untuk obat bermerek yang tingkat efektivitasnya lebih tinggi, harganya ditentukan penuh oleh penjual.

Ini masih konteks korporasi domestik. Ada pula persoalan dari korporasi multinasional yang ingin rupiah melemah untuk mengejar margin terhadap dolar AS.

Tentu, pertanyaannya adalah korporasi mana yang tidak ingin untung. Secara kontinu mereka akan terus mengejar margin keuntungan dengan menaikkan harga – dengan kata lain inflasi.

Robert Reich dalam tulisannya Workers are being punished for inflation. The real culprit is corporate greed, menyebut korporasi raksasa yang sudah memonopoli pasar sibuk menaikkan harga produknya karena konsumen dibuat tidak memiliki banyak pilihan.

Menariknya, kenaikan harga produk itu menggunakan dalih inflasi. Berbagai korporasi mengklaim terjadi kenaikan ongkos produksi, sehingga tidak punya pilihan selain menaikkan harga. Ingatlah, terkadang itu hanya klaim.

They’re raising prices even as they rake in record profits,” tulis Reich. Korporasi raksasa bahkan menaikkan harga produknya meskipun tengah meraup keuntungan.

Saat ini, tampaknya, telah terjadi perubahan bentuk interaksi. Ada semacam transformasi seismik dari pemerintah ke pemerintah dan pemerintah ke masyarakat menjadi pengusaha ke masyarakat (lihat bagan di bawah).

Bagan di atas mengingatkan kita pada novel George Orwell yang legendaris, Nineteen Eighty-Four. Di dalamnya terdapat distopia Orwell ketika negara menjadi begitu otoriter – hingga mengontrol kosakata yang boleh diucapkan masyarakat.

Big Brother is watching you,” tulis Orwell. Namun, Big Brother tersebut kini tampaknya bukan lagi negara, melainkan korporasi raksasa.

No Choice, Have to Lie?

Tidak berdayanya pemerintah di hadapan penguasa kapital membuat kita mengingat kembali pernyataan John Williams. Bukan tidak mungkin, pengukuran IHK sebagai COLI dipertahankan untuk membuat skor inflasi menjadi lebih rendah.

Pasalnya, rendahnya IHK juga berdampak positif bagi pemerintah. Pertama, IHK yang tinggi akan menciptakan kepanikan sosial. Pemerintah akan dipandang tidak mampu melakukan manajemen ekonomi. Kedua, tingkat IHK berbanding lurus dengan pengeluaran pemerintah terkait jaring pengaman sosial.

Jika IHK tinggi, pemerintah akan mengeluarkan berbagai subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat – khususnya ekonomi kelas bawah yang merupakan kelompok mayoritas. Kita akan melihat berbagi paket bantuan sosial (bansos) dan subsidi – seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ini tentu memberatkan pengeluaran bulanan negara.

Lantas, seperti temuan Williams, katakanlah inflasi sebenarnya lebih tinggi dari rilis pemerintah, bukankah masyarakat dapat merasakannya?

Kunci dari fenomena ini adalah sebuah teori yang disebut boiling frog syndrome. Teori ini digambarkan dalam novel The Story of B yang ditulis oleh Daniel Quinn.

Jika kita menaruh seekor katak di sebuah panci yang berisi air mendidih, katak itu pasti akan langsung lompat menyelamatkan diri. Namun, jika katak diletakkan dengan hati-hati di panci yang berisi air dingin dan api yang kecil, katak itu akan tetap mengapung dengan tenang.

Saat air mulai mendidih, katak itu akan tenggelam dalam keadaan pingsan karena kehabisan tenaga. Akhirnya, sang katak mati dalam keadaan terebus.

Cerita yang disampaikan Quinn menggambarkan berbagai situasi sosial-ekonomi. Masyarakat sering kali seperti katak. Jika bahaya hadir secara perlahan, banyak dari kita tidak akan menyadarinya.

Jared A. Brock dalam tulisannya We’re Living in a Boiling Frog Economy menjelaskan bahwa lingkungan sosio-ekonomi-politik berubah dalam waktu yang lambat secara gradual. Kebanyakan orang tidak akan menyadarinya, bahkan cenderung menormalisasinya.

Brock mencontohkan kasus kenaikan harga suatu barang. Jika kenaikan terjadi secara gradual alias sedikit demi sedikit, masyarakat cenderung menganggapnya lumrah. Padahal, jika dirunut secara kronologis, mungkin kenaikan harga tersebut akan terlihat luar biasa.

Sebagai ilustrasi, katakanlah pada bulan Februari 2022, uang Rp350 ribu cukup untuk membeli kebutuhan pokok bulanan. Dua bulan berikutnya dibutuhkan Rp370 ribu. Pada bulan Agustus 2022 menghabiskan Rp380 ribu. Dan, di bulan November 2022, uang yang harus dikeluarkan adalah Rp400 ribu.

Jika tidak memperhatikan kronologisnya, mungkin kita akan menganggapnya remeh karena kenaikannya hanya Rp10-20 ribu tiap bulan. Padahal, jika dirunut dari Februari sampai November 2022, terjadi kenaikan signifikan dari Rp350 ribu menjadi Rp400 ribu.

Korporasi sekiranya sangat memahami boiling frog syndrome. Meskipun korporasi terus mengejar keuntungan, tidak mungkin mereka menaikkan harga secara signifikan. Mereka akan menjaga kenaikan harga terjadi secara sedikit demi sedikit.

Terkhusus untuk pemerintah, noble lie atau kebohongan putih tampaknya tengah dilakukan. David Shaw dalam tulisannya Plato’s “Noble Lie” and the Management of Corporate Culture menyebut pemerintah merasa dirinya sebagai “pengatur keadaan ideal” sehingga merasa berwenang untuk memberikan masyarakat “cerita positif” agar tercipta harmoni sosial.

Mungkin, dapat disimpulkan bahwa angka inflasi yang kita lihat selama ini adalah indeks skor yang variabel utamanya adalah psikologi masyarakat.

“Money is memory. If so, inflation is forgetting,” Narayana Kocherlakota

Exit mobile version