Site icon PinterPolitik.com

Pembatalan Haji, Transparansi dan Kepercayaan Publik

Pembatalan Haji, Transparansi dan Kepercayaan Publik

Foto: CNN Indonesia

Pembatalan keberangkatan haji menuai kekecewaan publik. Alasan pemerintah untuk memilih tindakan tersebut juga tidak memenuhi kepuasaan publik sehingga munculnya berbagai spekulasi negatif.


PinterPolitik.com

Kamis lalu, Kementerian Agama (Kemenag) menyampaikan pelaksanaan ibadah haji 1442 Hijriah/2021 Masehi dibatalkan. Pernyataan ini disebutkan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers daring.

Ada sejumlah pertimbangan di balik pembatalan tersebut. Faktor kesehatan menjadi alasan yang pertama akibat pandemi Covid-19. Kondisi Covid-19 di Indonesia masih terbilang mengkhawatirkan.

Selain itu, Kerajaan Arab Saudi juga belum mengundang pemerintah Indonesia terkait pembahasan dan penandatanganan nota kesepahaman terkait persiapan haji. Ini mempengaruhi kesiapan waktu pemerintah untuk menyelenggarakan ibadah haji. Disebutkan juga ketiadaan pemberian kuota dari Arab Saudi menjadi dasar pembatalan keberangkatan haji.

Baca Juga: Menyoal Kemenag Batalkan Haji 2020

Pembatalan kenaikan haji mengakibatkan 1,5 juta calon jemaah haji menunda keberangkatannya. Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Ambimanyu menyebutkan bahwa calon jemaah haji dapat menarik kembali dana haji, namun akan kehilangan antrean.

Pembatalan ibadah haji pun mengundang kemarahan publik karena ini kali kedua ibadah haji dibatalkan. Wakil Ketua Umum Partai Ummat MS Kaban mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki kapabilitas untuk memberangkatkan jemaah haji sehingga tak sesuai rukun Islam.

Berbagai spekulasi pun dilontarkan terkait alasan pembatalan haji. Dengan munculnya spekulasi negatif, apakah ini menjadi indikasi rendahnya kepercayaan publik kepada pemerintah?

Public Distrust?

Banyak cerita pilu yang bermunculan tentang penantian panjang jemaah untuk berangkat haji. Calon jemaah haji TM Luthfi Yazid mengajukan surat keberatan atas keputusan pembatalan haji. Dia merasa dirugikan karena harus menunggu lebih lama untuk dapat melakukan haji.

Bagi calon jemaah haji yang batal berangkat, antreannya akan diundur hingga tahun depan. Namun, ini kali kedua Indonesia batal memberangkatkan jemaah ibadah haji. Janji yang sama juga diutarakan pada pembatalan haji 2020, di mana jemaah akan diberangkatkan pada tahun 2021.

Disebutkan juga sejumlah jemaah yang gagal berangkat haji 2020 akhirnya tutup usia. Direktur Marketing Arminareka Perdana, Riaini Rilanda mengatakan bahwa beberapa calon jemaah yang gagal berangkat tahun lalu meninggal lantaran sudah tua. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran bagi calon jemaah haji.

Pengusaha travel juga terdampak akibat pembatalan haji. Operasional travel umrah haji tidak berjalan dan tak mendapatkan penghasilan. Banyak di antaranya terpaksa banting setir dengan melakukan pekerjaan lain. Tidak heran kemudian persoalan ini dapat menimbulkan distrust di tengah masyarakat.

Tulisan Stevan Van de Walle dan Frederique Six yang berjudul Trust and Distrust As Distinct Concepts: Why Studying Distrust in Institutions is Important menjelaskan mengenai kepercayaan publik. Walle dan Six mengatakan bahwa kepercayaan timbul akibat munculnya harapan atau leap of faith pada situasi rentan dan penuh ketidakpastian.

Absensi leap of faith  di masyarakat mengakibatkan rendahnya kepercayaan publik dan distrust berdampak pada ekspektasi negatif.

Tahmina Ferdous Tanny dan Chowdhury Abdullah Al-Hossienie melalui tulisannya Trust in Government: Factors Affecting Public Trust and Distrust menjelaskan faktor yang mempengaruhi kepercayaan publik.

Distrust muncul akibat kinerja pemerintah tidak sesuai dengan harapan masyarakat, seperti buruknya performa ekonomi, korupsi, pelanggaran checks and balances, dan sebagainya. Distrust disebut mengarah pada sikap skeptisisme, ketakutan, sinisme, dan kewaspadaan.

Mengarah pada dua tulisan tersebut, pembatalan haji mempengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintah di situasi yang penuh ketidakpastian akibat pandemi. Hal tersebut memunculkan sikap skeptis masyarakat terhadap kesiapan pemerintah memberangkatkan jemaah untuk ibadah haji. Perspektif negatif dari publik terlihat pada munculnya berbagai spekulasi terkait alasan pembatalan ibadah haji.

Alasan kesehatan rasanya tidak dapat meredam kekecewaan masyarakat. Arab Saudi sendiri sudah membuka perbatasannya untuk 11 negara, namun bukan untuk ibadah haji.

Baca Juga: Jokowi Diterpa Terorisme Politik?

Pemerintah juga membatalkan keberangkatan haji karena alasan ketiadaan kuota. Namun, Kedutaan Besar Arab Saudi telah mengirimkan surat kepada Ketua DPR Puan Maharani dan menepis alasan tersebut.

Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Essam bin Abed Al-Thaqadi mengatakan bahwa berita itu tidak benar dan tidak dikeluarkan oleh otoritas resmi Kerajaan Arab Saudi. Dalam suratnya, Essam juga menyatakan bahwa otoritas belum mengeluarkan instruksi apa pun terkait pelaksanaan haji.

Ada juga dugaan bahwa kegagalan diplomasi Indonesia dengan Arab Saudi mempengaruhi pembatalan haji. Namun, Pelaksana Tugas Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Khoirizi memastikan bahwa tak ada kerengganan hubungan antar kedua negara. Hal senada juga diutarakan oleh Essam melalui kunjungannya ke kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Terkait dana haji, Kepala BPKH Anggito memastikan bahwa dana milik calon jemaah haji yang tertunda aman. Ia mengatakan saldo per Mei 2021 nilainya sebesar Rp 150 triliun. Anggito juga menjamin uang tersebut dikelola dengan baik.

Namun, banyak yang berspekulasi bahwa pengelolaan dana haji disalahgunakan. Salah satu narasi yang banyak dibicarakan adalah dana haji digunakan untuk infrastruktur.

Spekulasi tentang pembiayaan infrastruktur berkaitan juga dengan pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Ini terkait beredarnya video lama Ma’ruf yang menyatakan fatwa investasi dana haji melalui sukuk untuk infrastruktur.

Sudah dua kali ibadah haji dibatalkan, dana haji pun selalu menjadi pertanyaan. Apakah benar pemerintah memiliki pengelolaan dana haji yang buruk? Mengapa pengelolaan dana haji selalu diragukan?

Masalah Pengelolaan Dana?

Sejak 2018, pengelolaan dana haji pindah dari Kementerian Agama ke BPKH. BPKH yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri, rutin diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dana haji yang disetorkan akan dikelola oleh BPK untuk memberikan return yang disebut perolehan nilai manfaat. Namun, pembatalan keberangkatan haji membuat berbagai pihak mempertanyakan kapabilitas BPKH sebagai lembaga negara dalam mengelola keuangan, seperti asumsi dana yang dialihfungsikan untuk proyek infrastruktur.

Penggunaan dana haji untuk infrastruktur telah mencuat sejak tahun 2017. Usai Presiden Jokowi melantik pimpinan BPKH pada 26 Juli 2017, dikatakan dana haji yang mengendap lebih baik diinvestasikan kepada hal yang berisiko, namun memberi keuntungan besar. Menurut Jokowi, proyek infrastruktur masuk pada kriteria tersebut.

Merujuk pada UU Nomor 34 Tahun 2014, BPKH berwenang untuk menginvestasikan dana haji dengan prinsip syariah, hati-hati dan memberi nilai manfaat. Dana tersebut diinvestasikan dalam bentuk sukuk atau surat utang negara.

Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Mustolih Siradj mengatakan bahwa sukuk dapat digunakan secara bebas oleh pemerintah, termasuk membiayai pengeluaran negara, seperti proyek infrastruktur. Menurut Mustolih, yang melanggar hukum jika dana secara langsung digunakan pemerintah untuk membiayai infrastruktur.

Walaupun sukuk dapat digunakan untuk proyek infrastruktur, Direktur Eksekutif Core Indonesia Muhammad Faisal mengatakan hal tersebut menjadi tidak tepat. Ia menilai semestinya dana dikelola BPKH untuk keperluan haji, bukan pada kepentingan lain.

Pengelolaan dana haji yang diragukan publik menjadi hal yang wajar. Persepsi buruk ini mungkin saja muncul akibat absensi transparansi dana. Hal ini dapat dijelaskan melalui tulisan Craig Matasick yang berjudul Open government: How transparency and inclusiveness can reshape public trust.

Matasick menjelaskan open government atau pemerintahan yang memiliki transparansi tinggi merupakan bentuk investasi untuk memperoleh kepercayaan publik. Hal ini juga menjadi komitmen pemerintah dalam meningkatkan performa dan keputusan kebijakan.

Berangkat dari tulisan Matasick, absennya transparansi pengelolaan dana dari BPKH tidak menggambarkan open government. Hal ini tentu menjelaskan keraguan publik atas kapabilitas BPKH dalam mengelola dana haji.

BPKH belum pernah menjabarkan uang dana haji diinvestasikan ke mana saja. Dokumen laporan keuangan BPKH yang mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK tidak tersedia di situs BPKH.

Baca Juga: Jokowi-Ma’ruf Alami Great Disruption?

Untuk mendukung transparansi pengelolaan dana haji, BPKH merilis virtual account tahun 2018. Dengan ini, calon jemaah haji dapat memantau pengelolaan dana haji. Namun, virtual account juga mengalami masalah teknis sehingga tidak bekerja dengan baik.

BPKH melakukan audit setiap tahun, namun laporan keuangan tahun 2020 masih dikaji oleh BPK. Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid bahkan mengatakan bahwa tuntutan audit dana haji semakin luas, sehingga BPK diminta untuk menyelesaikan audit dana haji untuk mendukung transparansi dana.

Anggota Badan Pelaksana BPKH Beny Witjaksono pernah menjabarkan strategi invetasi dan pengelolaan dana haji, tetapi belum ada informasi detail tentang bagaimana akhirnya dana haji dikelola.

Pada kesimpulannya, pemerintah tentu memiliki wewenang untuk mengelola dana haji. Namun, informasi pengelolaan dana dan transparansi keuangan menjamin keamanan dana. Tanpa transparansi, munculnya spekulasi negatif dan rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi hal yang tak terhindarkan.

BPKH sebaiknya memiliki terobosan baru untuk mendorong transparansi pengelolaan dana haji untuk menekan kecurigaan publik. (R66)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version