Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan dengan peristiwa pembakaran dan perobekan Al-Qur’an di Swedia. Lantas, mungkinkah peristiwa memilukan tersebut dapat merangsang pergerakan radikalis Islam? Jika itu terjadi, seberapa besar pengaruhnya pada demokrasi?
“Masalah identitas, sebaliknya, lebih sulit untuk direkonsiliasi: apakah Anda mengakui saya atau tidak” – Francis Fukuyama dalam Identity:The Demand for Dignity and the Politics of Resentment
Saat ini, pemimpin Partai Stram Kurs Denmark, Rasmus Paludan tampaknya tengah menjadi sorotan utama. Bagaimana tidak, politisi kontroversial ini adalah dalang dari aksi pembakaran dan perobekan Al-Qur’an di Swedia baru-baru ini. Aksi pembakaran yang terjadi, tidak hanya berbuntut pada kerusuhan dan demonstrasi, melainkan juga mengingatkan dunia pada masih kuatnya Islamofobia.
Rollo May dalam tulisannya The Sigficance of Symbols, menerangkan bahwa berbagai bentuk simbol, baik gambar, patung, hingga benda tertentu, merupakan media dan orientasi bagi persatuan dan kepercayaan bersama manusia sejak ribuan tahun lalu.
Simbol yang menjadi objek bagi peletakan sebuah identitas dan nilai yang diyakini bersama, sangat berpengaruh pada tindakan dan kepercayaan manusia secara filosofis dan psikologis. Dengan kata lain, sejak simbol menjadi objek berbagi nilai dan kepercayaan bersama manusia, berbagai bentuk perlakuan ofensif pada simbol tertentu dinilai akan menimbulkan konsekuensi konfliktual.
Oleh karenanya, mudah memahami mengapa pembakaran Al-Qur’an yang menjadi simbol suci umat Islam dipahami sebagai bentuk provokasi dan penghinaan.
Getirnya, konteks semacam ini tidak diacuhkan oleh Paludan karena menilai aksi tersebut sebagai bentuk dari kebebasan berekspresi. Lebih dari itu, Ia bahkan mengecam pemerintah Swedia karena melarang upayanya melakukan aksi pembakaran.
Melihat lebih jauh fenomena ini, sebenarnya terdapat bahaya lebih besar yang mengancam karena provokasi tersebut dinilai memiliki potensi untuk merangsang pergerakan radikalis Islam. Jika itu terjadi, ini tidak hanya berkonsekuensi pada konflik sosial, melainkan juga pada konflik ideologis, seperti melemahnya sistem politik demokrasi.
Lantas, mungkinkah kekhawatiran tersebut terjadi?
Politik Identitas vs Demokrasi Liberal
Seiring dengan muncul dan menguatnya radikalis Islam, tidak sedikit pihak yang menyebutnya sebagai ancaman bagi sistem politik demokrasi. Azar Gat misalnya, dalam tulisannya The Return of Authoritarian Great Powers menyebutkan bahwa radikalis Islam adalah satu dari dua faktor utama yang dapat memicu kebangkitan negara-negara otoriter.
Jika disimpulkan, tantangan terhadap demokrasi ternyata tidak hanya datang dari sistem politik pesaingnya, seperti otoritarianisme ataupun komunisme, melainkan juga datang dari menguatnya politik identitas. Francis Fukuyama bahkan menulis buku khusus berjudul Identity:The Demand for Dignity and the Politics of Resentment untuk membahas bagaimana politik identitas dapat menjadi ancaman bagi demokrasi liberal.
Buku itu sendiri ditujukan Fukuyama sebagai respons atas kemenangan mengejutkan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) pada 2016 lalu. Ia begitu tidak menyangka, bagaimana mungkin sosok yang mempromosikan nasionalisme populis tersebut justru memimpin negara demokratis sebesar AS.
Di sini, Fukuyama mengangkat persoalan polarisasi ekstrem yang terjadi dengan terpilihnya Trump di AS, ataupun bangkitnya politik identitas di berbagai negara, termasuk di Indonesia telah menjadi penantang hebat bagi demokrasi liberal.
Untuk memahami tesis tersebut, terlebih dahulu harus dipahami pemikiran Fukuyama terkait demokrasi liberal. Menurut Fukuyama, tujuan utama demokrasi liberal adalah memberikan hak yang setara bagi setiap individu. Membandingkan dengan sistem politik monarki ataupun otoriatarianisme, hak setara jelas tidak terlihat karena terdapat kelompok sosial tertentu yang memiliki hak yang begitu besar.
Masalahnya adalah, dalam politik identitas berlaku bias yang disebut dengan in-group dan out-group. Bias ini membuat terbentuknya identitas di tengah masyarakat, di mana pihak di luar identitasnya dinilai berbeda, bahkan cenderung dipandang inferior.
Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence: The Illusion of Destiny bahkan menyebut identitas sebagai ilusi yang begitu kejam. Menurut Sen, rasa memiliki identitas tidak hanya menjadi sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri, melainkan juga melahirkan rasa keterikatan yang kuat dan eksklusif yang menciptakan persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain. Pada kasus ekstrem, Sen juga mencontohkan berbagai kasus, di mana identitas telah menjadi pemicu konflik sosial dan pembunuhan.
Nah, setelah memahami kedua hal tersebut – tujuan demokrasi dan masalah identitas – kita dapat memahami mengapa politik identitas adalah masalah serius dalam demokrasi liberal. Dengan menguatnya politik identitas, di mana ini memicu rasa bangga yang eksklusif, pengakuan terhadap (identitas) yang lain akan menjadi sulit terjadi. Singkatnya, politik identitas berbanding terbalik dengan kesetaraan hak.
Sama halnya dengan Sen, Fukuyama juga menyinggung masalah kebanggaan identitas. Menurutnya, terdapat tiga masalah yang sukar diselesaikan oleh demokrasi liberal modern, yakni thymos, isothymia, dan megalothymia.
Thymos adalah bagian dari jiwa manusia yang sangat membutuhkan pengakuan akan martabat. Isothymia adalah tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Sedangkan megalothymia adalah keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul.
Persoalannya adalah, dengan demokrasi liberal modern yang memberikan hak setara melalui kebebasan berekspresi, bukankah setiap individu ataupun kelompok sosial akan berusaha untuk menyuarakan identitasnya agar mendapatkan pengakuan? Seperti yang menjadi alasan Paludan, pembakaran Al-Qur’an menurutnya adalah kebebasan berekspresi.
Oleh karenanya, partikularitas tidak terbatas, atau tumpang tindih klaim identitas tampaknya menjadi tidak terelakkan. Tidak hanya itu, persepsi identitas kelompok yang direndahkan bahkan menjadi perangsang pergerakan yang berkonsekuensi pada kekerasan.
Tentu sekarang pertanyaannya, apakah pembakaran Al-Qur’an di Swedia dapat memicu pergerakan radikalis Islam di berbagai tempat, termasuk Indonesia, karena identitas mereka telah direndahkan?
Kebangkitan Peradaban Islam
Merespons buku Fukuyama yang berjudul The End of History and The Last Man, Samuel Huntington yang merupakan dosen Fukuyama menerbitkan buku yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Berbeda dengan buku muridnya yang menjelaskan mengenai benturan antar ideologi, seperti komunisme dan liberalisme, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order justru menerangkan bahwa benturan yang terjadi bukanlah ideologis, melainkan antar peradaban atau identitas budaya.
Menurut Huntington, karena manusia mencari identitas dan menemukan kembali etnisitas, permusuhan-permusuhan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Bahkan menurutnya, konflik abad ke-20 antara demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme, hanyalah sebuah fenomena historikal yang bersifat sementara dan superfisial jika dibandingkan dengan hubungan konfliktual antara Islam dengan Kristen yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Terkait dengan meningkatnya promosi sistem Khilafah dewasa ini yang disebut sebagai jawaban ultima bagi kelompok Islam tertentu, juga telah disebutkan oleh Huntington. Menurutnya, kebangkitan kembali Islam pada akhir abad ke-20 telah memberikan keyakinan-keyakinan baru di kalangan umat Islam terhadap watak dan keluruhan peradaban, serta nilai-nilai yang mereka miliki dibandingkan dengan peradaban dan nilai-nilai Barat.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, Huntington juga melihat terdapat kecenderungan yang mengarah pada gerakan anti-Barat di kalangan umat Islam. Menurutnya, ini adalah konsekuensi dari kebangkitan Islam, reaksi menentang hegemoni Barat, serta westernisasi.
Dengan kata lain, peristiwa pembakaran Al-Qur’an di Swedia, besar kemungkinan dapat menjadi preseden atas semakin menguatnya keyakinan seperti yang disebutkan oleh Huntington. Selain itu, ini dapat mempertajam pandangan sinis kelompok Islam tertentu terhadap demokrasi liberal, yang dinilai memfasilitasi peristiwa tersebut.
Terlebih lagi, seperti yang ditegaskan oleh Fukuyama, tantangan terkini demokrasi liberal datang dari kemajuan teknologi informasi, yakni internet dan media sosial. Teknologi yang pada awalnya dinilai dapat menjadi kekuatan penting untuk mempromosikan demokrasi ini, justru menjadi bumerang.
Pasalnya, media sosial telah menjadi platform untuk menyebarkan kebanggaan identitas dan mempermudah untuk membentuk kelompok-kelompok dengan pemikiran yang sama. Dengan kata lain, teknologi ini justru semakin mengkristalkan politik identitas, alih-alih menjadi “obat penawar” atasnya.
Artinya, pembakaran Al-Qur’an yang terjadi di Swedia dapat dengan mudah disebarluaskan melalui media sosial dengan tujuan untuk membangkitkan kebanggaan identitas. Hal ini jelas dapat kita lihat di berbagai platform media sosial, di mana berbagai pihak mengutuk peristiwa tersebut.
Pada akhirnya, tentu dapat dipahami bahwa peristiwa pembakaran tersebut sangat potensial untuk mengkristalisasi identitas di kalangan umat Islam, hingga pada bergeraknya kelompok radikalis Islam. Seperti yang disebutkan oleh Huntington, benturan peradaban seperti ini tampaknya tidak terelakkan. Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan peristiwa ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)