Pertemuan Puan Maharani dengan Prabowo Subianto menimbulkan spekulasi terbentuknya poros PDIP-Gerindra. Selentingan yang menyebut belum adanya SK penugasan dari PDIP untuk pencapresan Jokowi, membuat dugaan berpindahnya dukungan partai banteng ke calon lain pun menguat. Akankah PDIP mengkhianati Jokowi?
PinterPolitik.com
“Betrayal is the only truth that sticks.”
:: Arthur Miller (1915-2005), penulis drama ::
[dropcap]K[/dropcap]isah pengkhianatan dalam politik bukanlah hal baru. Mulai dari aksi Marcus Junius Brutus yang mengkhianati pamannya, Julius Caesar di Romawi, hingga Dona Marina di Meksiko yang lebih memihak penjajah Spanyol ketimbang rakyatnya sendiri adalah sebagian dari kisah tersebut.
Ini sama halnya dengan aksi Mir Jafar di India yang lebih memihak tentara Inggris, atau aksi penakluk asal Spanyol, Francisco Pizarro yang menghancurkan kerajaan Inca lewat taktik pengkhianatan.
Nyatanya, kini kisah serupa juga berpeluang untuk terjadi lagi di Indonesia. Apa pasal?
Klo pasangan calon yg muncul di pilpres 2019 nanti adlh pasangan Prabowo-Puan dan Jokowi-AHY, aku kudu piye?!
— Iyan_k_himawan (@Iyan_KH) June 8, 2018
Adalah kabar rencana pertemuan Ketua DPP nonaktif PDIP, Puan Maharani dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang menjadi pemicu spekulasi itu. Pertemuan ini sempat digadang-gadang sejak beberapa waktu lalu, dan kini muncul lagi ke permukaan beberapa hari terakhir.
Wacana pertemuan ini memang disebut-sebut bertujuan untuk mendinginkan situasi politik nasional yang belakangan makin panas jelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Namun, spekulasi bermunculan terkait peluang PDIP dan Gerindra membentuk koalisi mengulang Pilpres 2009. Bahkan ada wacana yang muncul dari Partai Gerindra untuk memasangkan Prabowo dengan Puan sebagai pasangan capres-cawapres.
Tunggu dulu, bukannya PDIP sudah mengumumkan akan mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019 nanti? Kok malah berbelok?
Mungkinkah PDIP Khianati Jokowi?
Wacana koalisi PDIP-Gerindra ini memang paling kuat dihembuskan oleh Partai Gerindra sendiri. Secara politik, tentu ada maksud untuk membuat masyarakat bingung terkait manuver politik tersebut, yang diharapkan akan menaikkan citra politik partai berlambang kepala burung itu. Namun, jika wacana koalisi ini terbukti benar adanya, maka ini tentu akan menjadi manuver politik yang cukup mencengangkan untuk diamati.
Ketua DPP Gerindra, Desmon Mahesa misalnya menyebutkan bahwa jika menemukan kecocokan, pertemuan Puan dan Prabowo berpeluang mengulang kisah “asmara politik” Gerindra dan PDIP seperti pada Pilpres 2009 lalu.
Saat itu, Megawati Soekarnoputri yang berpasangan dengan Prabowo Subianto mewakili koalisi yang melawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sekalipun kalah pada Pilpres 2009, kedekatan hubungan itu berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, ketika kedua partai ini mengusung pasangan Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – sekalipun kisah keduanya berujung menjadi tuduhan “pengkhianatan politik” saat Pilpres 2014. Walaupun demikian, hubungan Mega dan Prabowo disebut-sebut masih terjalin baik.
Sikap politik elit Gerindra yang kini mendukung koalisi PDIP-Gerindra ini sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada April 2018 lalu. Saat itu, petinggi-petinggi partai tersebut secara meyakinkan mengatakan bahwa koalisi PDIP-Gerindra tidak akan mungkin terjadi lagi di tingkat nasional. Tengok saja pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono yang menyebut partainya enggan berkoalisi dengan PDIP lagi.
Alasannya, selain karena sebagian besar kader Gerindra masih “dendam” atas pengkhianatan PDIP terhadap perjanjian Batu Tulis terkait dukungan kepada Prabowo untuk Pilpres 2014, ada sikap menghormati posisi PKS sebagai partai “partner in crime” – tentu bukan dalam makna sebenarnya – yang berpotensi menjadi pasangan Gerindra pada Pilpres 2019.
Namun, belakangan ini, posisi PKS memang mulai terlihat goyah dalam hal koalisi dengan Gerindra, seiring keengganan Prabowo mengambil cawapres-cawapres usulan PKS, serta makin dekatnya Gerindra dengan PAN.
Maka, perubahan sikap elit-elit Gerindra ini tentu saja menunjukkan perubahan peta politik yang sedang terjadi, di mana sangat mungkin Prabowo dan partainya kini jadi memperhitungkan semua kemungkinan politik yang bisa ditempuh, termasuk berkoalisi dengan PDIP.
Lebih jauh, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Arief Poyuono bahkan mengatakan bahwa pihaknya yakin PDIP belum memberikan Surat Keputusan (SK) penugasan sebagai capres kepada Jokowi, sehingga peluang mendukung pasangan lain masih terbuka lebar.
Pernyataan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar, apakah benar PDIP belum pasti akan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang?
Jika menganalisis sikap PDIP belakangan ini, memang terlihat elit partai tersebut, terutama Megawati, belum lagi berbicara tentang dukungan terhadap pencapresan Jokowi. Terakhir kali, hal itu diungkapkan ke hadapan publik pada Rakernas III partai banteng itu Februari lalu.
Faktanya, jika diamati secara seksama, “perebutan” kekuasaan di koalisi pendukung Jokowi terlihat “panas-panas terselubung”. Apalagi, beredar selentingan yang mengatakan bahwa Megawati ingin “memaksakan” Budi Gunawan (BG) menjadi cawapres pendamping Jokowi – hal yang tentu saja membuat partai-partai lain keberatan.
Bahkan di beberapa media sosial, ada selentingan yang muncul dan menyebutkan bahwasanya jika elektabilitas Jokowi telah menyentuh angka 60 persen, maka PDIP akan memaksakan BG menjadi cawapres sang petahana.
Gini lho, kalo elektabilitas Jokowi masih di bawah 50%, mereka masih hati". Cari cawapres yg punya basis massa Islam. Bukan SARA. Realitas politik. Tapi kalo udah 60% mah PDIP pasti maksain Puan atau BG. Pertanyaan gue, loe mau ngga?
— Pelan-pelan, Ardi! (@awemany) April 23, 2018
Hal ini bertambah rumit dengan geliat partai besar lain – Demokrat – yang juga mulai merapat ke kubu Jokowi. Bahkan Ketua DPP PDIP Bidang Kehormatan, Komarudin Watubun pernah “keceplosan” di awal April lalu saat menyebut partai pimpinan SBY itu telah resmi mendukung Jokowi untuk Pilpres 2019.
Situasi ini secara politik jelas menguntungkan Jokowi. Perlu diketahui bahwa hubungan Jokowi dengan PDIP tidaklah semulus yang dibayangkan oleh sebagain besar masyarakat.
Situasi yang panas-dingin nyatanya terus terjadi antara Jokowi dengan PDIP bahkan sejak kampanye Pilpres 2014 lalu, katakanlah dalam isu pertengkaran Jokowi dengan Puan, kasus BG sebagai calon Kapolri, kasus Menteri BUMN yang kerap dikritik PDIP, hingga istilah “petugas partai” yang membelenggu Jokowi.
Jika Demokrat pasti masuk ke kubu Jokowi, hal ini jelas memudahkan sang petahan itu untuk menghitung ulang posisi politiknya di hadapan Megawati dan PDIP. Oleh karena itu, pertemuan Puan dan Prabowo dengan wacana koalisi yang ada di sekitarnya, jelas menunjukkan bahwa partai banteng itu sedang menghitung alternatif pilihan politik lain yang lebih menguntungkan – katakanlah jika Jokowi akhirnya mbalelo serta kepentingan PDIP lewat BG dan yang lainnya tidak terpenuhi.
Jumlah kursi PDIP (18,95 persen) dan Gerindra (11,81 persen) di DPR sudah lebih dari cukup untuk mengusung capres-cawapres sendiri. Bahkan keduanya berpeluang memenangkan persaingan dengan Jokowi jika mampu mengelola isu politik dengan baik.
Hitung-hitungan politik semacam ini memang akan dianggap naif oleh sebagian pihak, namun hal ini sangat mungkin terjadi. Meminjam kata-kata filsuf Thomas Hobes: “Homo homini lupus” – manusia adalah serigala bagi manusia lain – hubungan Gerindra dan PDIP sangat mungkin menjadi sekutu politik. Sebaliknya, pilihan politik ini artinya akan ada “pengkhianatan” terhadap Jokowi. Jika situasi inilah yang akan terjadi, maka Pilpres 2019 menjadi sangat menarik untuk diamati hasilnya.
Di lain pihak, situasi ini akan sangat mungkin juga dibaca sebagai manuver PDIP membendung Prabowo dan mengharapkan kemenangan Jokowi sebagai calon tunggal. Namun, asumsi tersebut punya probabilitas kebenaran yang jauh lebih kecil, apalagi jika dilihat dari perubahan sikap yang ditunjukkan oleh para petinggi Gerindra. Gerindra menaruh harapan yang cukup besar untuk mengulang Pilpres 2009 bersama PDIP, dan dalam politik semua hal mungkin terjadi.
The Power of Elites dan Kejeniusan Jokowi
Jika PDIP benar-benar membelokkan dukungan politiknya, maka hal ini jelas menujukkan kekuatan sesungguhnya dari elit politik – dalam hal ini Megawati Soekarnoputri.
Dalam teori elit, situasi politik sangat ditentukan oleh segelintir elit yang berkuasa secara ekonomi-politik dan punya kekuasaan untuk mengambil kebijakan besar. Pemikir klasik teori ini, misalnya Vilfredo Pareto, hingga tokoh kontemporer macam Thomas Ferguson, memandang posisi elit punya kemampuan untuk membelokkan kebijakan politik tertentu.
Kekuasaan kelompok elit ini mempengaruhi arah politik, bahkan menentukan siapa yang akan dipilih oleh masyarakat. Di satu sisi, posisi ini membuat Jokowi menjadi inferior di hadapan Megawati. Jika koalisi PDIP-Gerindra terjadi, maka ini adalah pembuktian teori tersebut, bahwa elit partai seperti Megawati punya pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan arah koalisi.
Berarti bener dong kt bung @Fahrihamzah kl jokowi mgkn gak dapat kartu utk maju?
Tp saya py asumsi lain. Pak Prabowo itu agak lemah kl disentuh rasa nasionalismenya, meskipun itu hy basa-basi.
CMIIW— Armansyiahir Akbar (@Akbar_Ltd) June 8, 2018
Namun, jika ditinjau dari cara Jokowi mengelola keseimbangan kekuasaan dengan elit politik lain – misalnya lewat Golkar dan Demokrat – harus diakui, pria kelahiran Solo itu sedang memainkan bidak-bidak caturnya secara jenius. Ini ibarat Lionel Messi atau Mohamed Salah yang “meliuk-liuk” taktis di hadapan garis pertahanan lawan dalam sebuah pertandingan sepakbola. Lawan terkecoh, gol terjadi.
Kemampuan Jokowi ini tentu saja akan sangat membantu dirinya memenangkan kontestasi Pilpres 2019, sekaligus lepas dari belenggu elit dalam tajuk “petugas partai” yang selama ini disematkan padanya. Jokowi tentu saja akan berhadapan dengan elit lain, namun dengan posisi yang lebih setara – katakanlah, ia tak harus mencium tangan SBY ketika bertemu.
Pada akhirnya, jika PDIP berbalik ke Gerindra, maka ini memang mengindikasikan adanya “pengkhianatan politik” terhadap Jokowi. Namun, itu hal yang lumrah terjadi dalam dunia politik.
Selentingan tentang belum adanya SK dari Megawati boleh jadi memang benar. Yang jelas, seperti kata Arthur Miler di awal tulisan ini, pengkhianatan adalah hal yang melekat dengan politik. (S13)