Berbeda dengan polisi, citra TNI di masyarakat terbilang masih positif. Tidak heran mengapa sosok seperti SBY, Gatot Nurmantyo, Prabowo, Edy Rahmayadi, dan lain-lain masih memiliki simpatisan. Lalu akankah Panglima TNI saat ini Marsekal Hadi akan melakukan manuver yang sama dengan para pensiunan TNI tersebut?
Pinterpolitik.com
Aksi 22 Mei yang terkait dengan Pilpres 2019 berlangsung dengan panas. Sampai siang hari, polisi terus bergesekan dengan para demonstran akibat situasi yang terjadi semalam, yaitu enam orang tewas dan ratusan terluka. Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah mengambil keputusan untuk menerjunkan TNI ke berbagai titik demonstrasi, khususnya sekitar Sarinah.
Ketika itu, TNI datang untuk membantu kepolisian untuk mengamankan jalannya aksi demonstrasi 22 Mei. Lalu kejadian menarik terjadi, TNI disambut meriah oleh massa pedemo. Mereka bahkan bernyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya ketika mereka turun dari kendaraaan. Seketika itu ketegangan antara massa dan polisi lenyap diganti dengan yel penyemangat TNI.
“TNI teman, TNI bersama rakyat,” teriak massa aksi 22 Mei menyambut TNI.
Media nasional ikut menulis kejadian ini dengan berbagai headline seperti massa peluk TNI, prajurit TNI dihadiahi bunga oleh peserta aksi, lewat di kerumunan, prajurit diteriaki “TNI bersama rakyat,” massa cium tangan TNI, dan lain-lain.
Sementara itu, perlakuan massa kepada polisi berbeda. Mereka ada yang berteriak “polisi pulang saja,” dan menyanyikan chant seperti “tugasmu mengayomi, tugasmu mengayomi. Pak polisi, pak polisi, jangan ikut kompetisi.”
Di balik reaksi positif massa 22 Mei terhadap TNI Share on XTerlihat TNI mendapatkan sambutan lebih positif dari para demonstran. Hal ini tergolong positif bagi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang dihadapkan dengan situasi genting pasca-Pemilu. Di satu sisi, hal ini jadi gambaran khusus interaksi antara masyarakat dengan. Di sisi lain yang lebih spesifik, sambutan itu bisa saja memiliki dampak tersendiri kepada Hadi selaku panglima.
Mengapa Rakyat Respect TNI?
Berbagai pemberitaan terkait sambutan demonstran kepada TNI ini sebenarnya memiliki benang merah. Ini bukan sekadar framing tapi kenyataannya rakyat lebih menaruh respect kepada TNI dibandingkan dengan polisi. Selama ini, momen turunnya TNI hanya ketika keamanan nasional terdesak.
Pendiri National Center for Police Advocacy di Amerika Serikat, Joel F. Shults pernah menulis dalam Why are cops so easy to hate? Dia mengatakan salah satu hal yang bisa membuat polisi gampang dibenci, yaitu iri dengan kekuatan.
Seperti diketahui, polisi memiliki tugas seperti penegak hukum, penjaga keamanan, dan pemberi perlindungan yang terlegitimasi oleh Undang-undang. Berbagai pihak mengira menjadi polisi dapat bertindak semaunya dan kebal terhadap hukum. Padahal pemikiran ini salah karena tindak-tanduk mereka juga selalu diawasi secara ketat.
Kasum TNI Hadiri HUT Ke-54 Lemhannas.
.
Kepala Staf Umum (Kasum) TNI, Letjen TNI Joni Supriyanto, mewakili Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P. menghadiri Upacara Parade dalam rangka HUT ke-54 Lembaga Ketahanan Nasional di Lapangan Tengah Lemhannas ?? #LemhannasRi pic.twitter.com/fQatv7rdrl— Pusat Penerangan TNI (@Puspen_TNI) May 21, 2019
Polisi dianggap lebih kuat oleh masyarakat karena memiliki persenjataan. Legitimasi hukum dan senjata ini yang membuat rakyat merasaa inferior.
Namun, perbedaan yang jelas dengan TNI, setiap waktu masyarakat berisiko berhadapan terus dengan polisi dibandingkan dengan TNI. Banyak hal yang bisa terjadi seperti tidak sengaja melanggar lalu lintas, pelanggaran pajak, dan lain-lain sehingga selalu was-was berhadapan dengan polisi. Sementara itu, masyarakat jarang berhubungan langsung dengan TNI dengan berbagai kasus sehari-hari ini karena Tupoksi mereka untuk menjaga kedaulatan NKRI.
Shults menambahkan bahwa bias media juga memberikan dampak negatif terhadap polisi. Hal ini bisa terjadi dengan narasi seperti penegak hukum tapi malah melanggar hukum, kekerasan terhadap terduga tersangka, dan berbagai kasus yang tidak sesuai dengan tugas polisi terus diungkap.
Ellen Kirshman seorang psikolog klinis seperti yang dilansir dari ABC News menilai profesi polisi di masyarakat menjadi sangat kompleks. Hal ini karena petugas dituntut menjadi contoh yang baik dalam berperilaku, atlet, penegak hukum, pengacara atau ahli negosiasi sekaligus.
Adapun tidak semua polisi dapat memenuhi kriteria tersebut sehingga dianggap kurang bagi masyarakat. Sedangkan TNI mendapat penilaian baik karena selama ini keamanan negara tetap terjaga.
Menengok ke belakang, sejarah TNI tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari Belanda. Mulanya, rakyat bersatu dengan membentuk organisasi Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan berubah pada 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Dalam perkembangannya, banyak rakyat yang membentuk organisasi atau laskar sendiri-sendiri untuk mempertahankan kemerdekaan. Baru pada 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya TNI dengan menggabungkan TRI dan organisasi perjuangan rakyat.
Konflik, Momentum Marsekal Hadi?
Dalam setiap konflik, selalu muncul peluang bagi seorang pemimpin TNI. Patron seperti ini telah ada sejak masa pemerintahan Orde Baru. Ketika itu, Soeharto mendapatkan respect dari rakyat karena menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap meresahkan. Hal ini terlepas dari berbagai pihak yang menyebut tindakan itu adalah narasi politik untuk menggulingkan Soekarno.
Hal serupa berlaku pada beberapa jenderal yang moncer di era Soeharto.Terlepas kerusuhan 1998 menjadi preseden yang buruk bagi karier Wiranto, Prabowo, dan lain-lain,tapi mereka telah berhasil melalui konflik tersebut dan saat ini menjadi tokoh yang berpengaruh di dunia perpolitikan nasional.
Lebih lanjut, Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat sebagai menteri juga pernah mengalami konflik internal dengan Megawati Soekarnoputri. Saat itu, berdasarkan konflik ini SBY mendapatkan simpati dari masyarakat.
Konflik penistaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama juga membuat Gatot Nurmantyo mendulang simpati. Evan A. Laksmana dalam tulisan Is Indonesia’s Military Eyeing the Republic? menyebut Gatot secara terbuka menggunakan posisinya untuk meningkatkan hubungan dengan kampanye kelompok-kelompok garis keras. Kelompok ini menjadi lawan mantan Gubernur Jakarta yang merupakan sekutu Jokowi. Setelah dia pensiun, Gatot selalu masuk dalam bursa Cawapres Pemilu 2019.
Kami tidak akan mentolerir dan menindak tegas semua upaya yang akan mengganggu ketertiban masyarakat serta aksi-aski inkonstitusional yang merusak proses Demokrasi,” – Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P.
— Divisi Humas Polri (@DivHumas_Polri) April 18, 2019
Akankah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengambil peluang ini?
Sebelum menjawab itu, sebenarnya Kapolri Tito Karnavian pada awalnya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi tokoh besar setelah pensiun kelak. Kekuatan Tito juga berimbang dengan berhasil mengendalikan teror yang terjadi setelah dia diangkat menjadi Kapolri. Selain itu, Tito pernah membuat gebrakan populer terkait pembentukan Satgas Anti Mafia Bola sehingga mendapatkan respon positif dari pencinta sepakbola.
Namun, posisi tawar dia bisa saja menurun karena beberapa kebijakan seperti kasus makar. Terbaru, bentrokan antara polisi dan massa pada 21 Mei yang mengakibatkan enam tewas menjadi preseden buruk bagi dia.
Marsekal Hadi berada pada posisi yang sebaliknya. Melalui prajuritnya yang berada di lapangan, dia mendapatkan berbagai pujian karena berhasil meredakan ketegangan demonstrasi pada aksi 22 Mei. Hadi juga merupakan perwira tinggi TNI yang telah memiliki patron sebagai pemimpin seperti yang terjadi pada Soeharto dan SBY.
Evan seperti yang dilansir dari The New York Times mengatakan Marsekal Hadi merupakan panglima termuda untuk menjabat di posisi tertinggi militer. Hadi diperkirakan tidak akan pensiun hingga November 2021. Jika Hadi pensiun pada waktu tersebut, tentu berbagai partai ingin merekrutnya menjadi kader.
Menurut Francis Chan dilansir di The Straits Times menulis bahwa hubungan antara Jokowi dan Marsekal Hadi dekat dan sudah terjalin lama. Kedekatan ini bermula sejak Hadi menjadi komandan pangkalan udara di Solo di Jawa Tengah, di mana Jokowi saat itu menjabat Walikota Solo dari tahun 2005 sampai 2012.
Hadi juga menjadi orang kepercayaan Jokowi untuk memperkuat pemerintahannya ketika menghadapi Pemilu 2019. Karir dia di militer pun terbilang cemerlang. Evan menambahkan Hadi cepat beradaptasi dengan jabatannya, dia telah menetapkan misi utama angkatan bersenjata, yang mencakup melindungi Indonesia dari terorisme dan serangan maya, serta memperkuat pertahanan maritimnya mengingat kegiatan Tiongkok di Laut China Selatan.
Adapun yang lebih penting bagi pemerintah dan rakyat, dia berjanji untuk memastikan TNI tidak terlibat dalam politik praktis. Hal yang dilakukan oleh panglima sebelum-sebelumnya.
Sikap netralitas itu yang menjadi modal utama dia menjadi salah satu yang terbaik di jajaran TNI saat ini. Kelak tidak ada yang tahu, dia akan pensiun dan menikmati hasil jerih payahnya atau menjadi menteri Kabinet Kerja jilid II atau jadi kader dari partai.
Kembali ke pertanyaan mungkinkah Hadi mengambil peluang itu?
Mungkin saja. Kita tunggu saja. (R47)