Indikasi bahwa pemerintah ingin agar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sedikit demi sedikit dilonggarkan semakin berhembus. Setelah diawali oleh Menko Polhukam Mahfud MD, kini Presiden Jokowi hingga Menkomarves Luhut Pandjaitan seolah “mempromosikan” hal serupa. Lantas, apakah ini adalah sebuah strategi baru pemerintah dalam penanganan Covid-19?
PinterPolitik.com
Relaksasi atau pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi isu yang semakin hangat dan menjadi domain pro-kontra beberapa pihak di dalamnya. Kebanyakan pihak mengakui bahwa PSBB terkesan seperti formalitas belaka ketika, di daerah pemukiman pinggiran Jakarta misalnya, aktivitas dan interaksi masyarakat cenderung masih berjalan seperti biasa.
Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD adalah orang pertama yang melempar wacana pelonggaran PSBB beberapa hari silam. Alasan yang ia utarakan cukup sederhana, agar ekonomi tetap bergerak.
Meskipun di sisi lain mendapat respon kurang suportif dari kolega di parlemen dan para ahli maupun pemerhati kebijakan publik, nyatanya alasan sederhana dibalik pelonggaran PSBB tersebut dinilai semakin terlihat logis dan relevan dengan tantangan kolektif mayoritas masyarakat Indonesia saat ini.
Jika berbicara landasan hukum, memang penerapan PSBB dinilai kurang maksimal. Hal ini juga disoroti oleh pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra. Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 menurut Yusril tidak memiliki “taring” efektivitas memadai.
Namun, di balik hingar bingar berbagi pro-kontra pelonggaran serta dasar hukum penerapan PSBB, sosok Mahfud MD sebagai orang pertama yang menyampaikan gagasan tersebut dinilai memiliki makna tersendiri. Jika kemudian muncul pertanyaan mengapa tidak seorang Menteri Kesehatan (Menkes) yang mengumumkan, tentu dapat dengan mudah dirasionalisasi oleh kewenangan yang dimiliki Mahfud MD.
Poin lain yang justru menarik ialah tupoksi Mahfud MD sebagai pengampu aspek vital kenegaraan. Dan dari titik ini, gagasan pelonggaran PSBB yang disampaikan seorang Menko Polhukam yang tentunya berdasarkan analisa berdasarkan advice atau saran dan informasi terbaik dari lembaga-lembaga terkait, sedikit menyingkap celah dan indikasi dari mana analisa yang bermuara pada gagasan pelonggaran PSBB ini berasal.
Satu lembaga yang cukup vital perannya dan telah diejawantahkan oleh Presiden Jokowi sendiri dalam penanganan Covid-19 di Indonesia ialah Badan Intelijen Negara (BIN).
Jika dilihat dari kapabilitas dan “cara kerja” lembaganya, tentu BIN tidak hanya sebatas memberikan prediksi-prediksi kapan puncak dan berakhirnya pandemi. Lebih dalam, lembaga ini dinilai memiliki peran vital dalam menyediakan analisa terbaik bagi setiap gagasan dan kebijakan pemerintah, dan dalam hal ini gagasan pelonggaran PSBB juga dinilai berbasis kalkulasi analisa lembaga telik sandi tersebut.
Lantas, mengacu pada hal tersebut, apakah pelonggaran PSBB menjadi salah satu strategi intelijen dalam penanganan Covid-19 di Indonesia? Jika ya, bagaimana relevansi dan prospek strategi tersebut ke depannya?
Pemasok Analisa dan Taktik
“The Art of War”, sebuah risalah kemiliteran tertua di dunia karya Sun Tzu, menyediakan prinsip fundamental dan filosofis dari sebuah peperangan. Salah satu kutipan menariknya ialah “ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya sendiri, memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran.”
Kutipan Sun Tzu tersebut dinilai sangat relevan dengan dharma bhakti BIN untuk memenangkan pertempuran melawan Covid-19 di Indonesia. Dalam konteks ini, harus ada penguasaan informasi dan analisa intelijen terkait musuh berupa mikroorganisme yang sampai saat ini telah menjangkiti belasan ribu anak bangsa. Selain itu, analisa langkah strategis apa yang harus dilakukan pemerintah juga dinilai menjadi substansi relevan analisa BIN.
Dalam rangka menjalankan tugas tersebut, BIN memang telah diketahui secara aktif berkoordinasi dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman. Sebagai langkah konkret, BIN menyediakan alat bagi LBM Eijkman untuk meneliti spesimen virus yang meliputi Automated Extraction and Purification System, Refrigerated Microcentrofuge, qRT PCR System, CO² Incubator, serta -80C Freezer.
Hasil kolaborasi dua lembaga tersebut bahkan telah terlihat saat awal pekan ini, LBM Eijkman merilis keberhasilan pemetaan sekuens lengkap virus bernama SARS-CoV-2 (Covid-19) tersebut. Meskipun demikian, karakteristik virus ini sendiri masih belum bermuara pada konklusi pasti dikarenakan sifatnya yang cepat dalam bermutasi.
Selain memaksimalkan intisari kutipan Sun Tzu sebelumnya dengan menganalisa karakteristik musuh yang telah sedikit terkuak, BIN juga dinilai menganalisa informasi dan dinamika pandemi Covid-19, baik secara lokal maupun global sebelum menyediakan rekomendasi kepada pemerintah.
Khusus untuk dinamika global sendiri, terdapat fakta bahwa Covid-19 merupakan musuh yang cukup sulit dikalahkan dikarenakan antara lain kemampuan mutasinya yang acak dan cepat, bersifat agresif dan memiliki adaptasi luar biasa, hingga belum adanya tanda-tanda bahwa virus ini bisa benar-benar dikendalikan.
Berangkat dari fakta tersebut pula, saat ini tren implementasi herd immunity alami atau kekebalan kolektif populasi, telah menjadi diskursus yang sampai ke ruang rapat pemimpin negara-negara, seperti Inggris serta Amerika Serikat (AS), dan semakin menjadi opsi ilmiah paling masuk akal dalam pemberantasan Covid-19.
Beberapa informasi dan dinamika global tersebut disinyalir juga menjadi materi analisa BIN dalam menyediakan strategi bagi pemerintah. Terlebih menjadi daya tarik tersendiri ketika rilis pemetaan sekuens lengkap Covid-19 oleh LBM Eijkman yang notabene intens bekerjasama dengan BIN, seolah simultan dengan gagasan pelonggaran PSBB.
Berkaca pada benang merah tersebut, akankah pelonggaran PSBB menjadi strategi awal dari penerapan herd immunity alami di Indonesia?
Cikal Bakal Herd Immunity?
Selain berlatarbelakang mempertahankan perekonomian agar tidak kolaps seperti yang telah disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, serta analisa karakteristik “musuh” yang sejauh ini cukup sulit untuk dikalahkan, pelonggaran PSBB juga ditengarai terkait dengan potensi krisis pangan yang belakangan diwanti-wanti Presiden Jokowi.
Berbagai persoalan pelik yang tengah dihadapi pemerintah tersebut tentu dapat menjadi mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya jika tidak segera diantisipasi dengan manuver kebijakan signifikan.
Dalam hal ini, tren meningkatnya agenda penerapan opsi herd immunity alami sebagai satu-satunya jalan paling masuk akal akan penanganan sebuah pandemi yang telah teruji secara empiris menjadi pertimbangan tersendiri. Kemudian jika hal ini beserta mata rantai fakta dan dinamika sebelumnya dikaitkan dengan gagasan pelonggaran PSBB, dinilai bukanlah lagi merupakan hal tabu.
Namun, konsekuensi herd immunity alami cukup berat karena terkait dengan konsekuensi masifnya angka terinfeksi, total korban jiwa, kesiapan fasilitas medis, hingga isu hak asasi manusia.
Anna Slavec dalam tulisannya berjudul “The Role of Statistic in Deciphering the Enigma Machine” menyoroti penggunaan strategi statistikal intelijen agar sekutu dapat memenangkan pertempuran tanpa diketahui berlatarbelakang keberhasilan memecahkan kode enigma Nazi Jerman.
Slavec menyimpulkan konsep statistical strategy sebagai penentuan langkah strategis minimal secara gradual untuk tujuan tertentu namun terlihat seolah maknanya adalah sebuah usaha dengan tujuan yang berbeda.
Konsep intelijen statistical strategy yang dikemukakan Slavec agaknya tengah dilakukan di balik pelonggaran PSBB sebagai awal penerapan herd immunity alami. Selain untuk menghindari resistensi publik atas konsekuensi kemanusiaan herd immunity, pelonggaran PSBB secara bertahap juga dinilai untuk sedikit “menutupi” ketidakmampuan pemerintah saat ini yang semakin kewalahan akibat pandemi Covid-19.
Alasan keberlangsungan ekonomi serta “cek ombak” berupa pelonggaran disinyalir adalah langkah awal atas muara pencabutan PSBB dan kembali normalnya seluruh aktivitas, ketika pemerintah dan masyarakat telah berada di titik nadir karena dampak multi aspek pandemi Covid-19 yang seakan telah berada di ambang realita.
Paling tidak rasionalisasi herd immunity dinilai akan tercapai ketika anggapan publik di Indonesia bahwa lockdown, karantina wilayah, maupun PSBB sekalipun bisa memberantas Covid-19 adalah sebuah miskonsepsi.
Hal itu pula yang dikemukakan oleh seorang profesor developmental biology dari Beirgham Young University, Marc Hansen di mana berdasarkan bukti ilmiah, “return to normalcy is a rational key to overcoming Covid-19” atau kembali beraktivitas normal, dengan herd immunity, adalah kunci yang masuk akal untuk mengatasi Covid-19.
Bagaimanapun, penggunaan strategi intelijen maupun strategi lainnya diharapkan berakhir pada kemenangan umat manusia atas pandemi Covid-19. Dalam keadaan krisis dan kedaruratan seperti ini, rasionalitas dinilai semakin menjadi pisau utama dalam kerangka berpikir manusia untuk mempertahankan peradaban. Paling tidak tendensi itulah yang saat ini sedang mengemuka. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.