Meski sudah diprediksi banyak pihak, keputusan pemerintah untuk melarang segala bentuk aktivitas Front Pembela Islam (FPI) tetaplah memiliki implikasi yang luas, termasuk kepada para politikus yang memiliki keterkaitan erat dengan ormas tersebut, salah satunya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Apakah pelarangan FPI dapat menjadi titik awal kejatuhan Anies?
Kendati menarik atensi publik dengan begitu masif, keputusan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk melarang organisasi Front Pembela Islam (FPI) sebenarnya tidaklah begitu mengejutkan. Sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia, gelagat pemerintah untuk segera mengakhiri riwayat organisasi masyarakat (ormas) yang berdiri pada 1998 itu memang sudah dapat dibaca publik.
Berbagai upaya sistematis untuk menekan kekuatan politik FPI terang-terangan dilakukan pemerintah, mulai dari mengerahkan aparat militer untuk menurunkan baliho-baliho HRS, mempidanakan sang Imam Besar atas kasus kerumunan, hingga insiden tewasnya enam orang anggota Laskar FPI yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian menunjukkan bahwa semua tindakan tersebut pada akhirnya memang akan berujung pada upaya untuk mengakhiri kiprah FPI.
Kendati sudah dapat diprediksi, namun keputusan tersebut tetap lah memiliki implikasi yang cukup luas. Sebab, tak dapat dipungkiri, sejumlah pejabat dan politisi di negeri ini punya keterkaitan yang cukup intim dengan organisasi tersebut.
Dari sekian banyak politisi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan boleh jadi merupakan salah satu politikus yang lekat dengan FPI dan HRS. Bagaimana tidak? HRS dan FPI disebut berjasa besar terhadap kemenangan Anies di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Tak seperti Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang kini telah ‘bercerai’ dengan FPI setelah bergabung ke gerbong pemerintahan Jokowi, Anies nyatanya tetap menjaga hubungan baik dengan organisasi tersebut. Ia bahkan terang-terangan menunjukkan kedekatannya itu dengan menjadi pejabat pertama yang mengunjungi HRS setelah tiba di Jakarta pada awal November lalu.
Menurut sejumlah pengamat, manuver gercep tersebut punya pengaruh politik terhadap Anies. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin mengatakan kunjungan ini menunjukkan rasa hormat Anies sekaligus memberi indikasi bahwa Ia masih membutuhkan dukungan HRS.
Meski mungkin larangan yang dilakukan pemerintah saat ini belum tentu serta merta akan mematikan kekuatan politik FPI, namun hal ini bisa saja memiliki implikasi tak langsung terhadap kekuatan politik Anies.
Apalagi, posisinya saat ini disebut-sebut mulai terancam oleh manuver Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial (Mensos) yang digadang-gadang akan menjadi lawan terberat Anies di Pilkada DKI Jakarta 2022 atau bahkan Pilpres 2024 mendatang.
Lantas akankah pelarangan FPI ini menjadi titik awal bagi kejatuhan Anies Baswedan? Mungkinkah karier politiknya akan semakin tenggelam seiring dilarangnya organisasi FPI oleh pemerintah?
FPI Memang Sudah Lemah?
Aksi 212 yang menuntut penegakan hukum terhadap eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas kasus penistaan agama pada 2016 lalu dinilai oleh banyak pihak sebagai kebangkitan kekuatan politik FPI. Tak hanya berhasil menyeret Ahok ke jeruji besi, FPI kala itu juga berhasil mengantarkan Anies Baswedan menuju kursi DKI-1
Tak hanya itu, FPI juga menjadi kekuatan utama pendukung calon presiden Prabowo Subianto dalam dua pemilu terakhir. Selain itu, FPI juga bisa dibilang konsisten memainkan perannya sebagai kekuatan utama yang paling vokal mengkritik pemerintahan Jokowi.
Meski dalam skala nasional kekuatan FPI dinilai semakin menonjol, namun sejumlah analis memandang ada harga yang harus dibayar dari kebangkitan ormas tersebut di kancah perpolitikan nasional.
Ian Wilson dalam tulisannya yang berjudul Between Throwing Rocks and a Hard Place: FPI and the Jakarta Riots menilai sejak FPI lebih fokus berkiprah dalam perpolitikan nasional, ormas tersebut mulai kehilangan dukungannya di akar rumput.
Wilson juga menilai konsistensi untuk tetap memposisikan diri sebagai oposan juga membuat FPI harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tak lagi memiliki patronase politik yang jelas. Hal ini membuat mereka menjadi semakin rentan terhadap kriminalisasi oleh pemerintahan Jokowi, khususnya di periode kedua yang dinilai tidak segan-segan menggunakan sistem hukum untuk menargetkan para pengkritiknya.
Dugaan Wilson itu nyatanya semakin mendapatkan afirmasinya belakangan ini. Setelah mendapatkan berbagai tekanan dari pemerintah sejak kepulangan HRS pada November silam, hampir tak ada gejolak signifikan yang dapat dimanfaatkan FPI untuk melakukan perlawanan. FPI terlihat berjuang sendirian dalam menghadapi berbagai upaya-upaya pelemahan oleh pemerintah.
Senada, Bastiaan Scerphen dalam tulisannya yang berjudul Is hardline Islam really rising in Indonesia? juga menilai bahwa pemerintahan Jokowi sejauh ini sukses menekan pengaruh golongan Islam fundamentalis seperti FPI. Kesuksesan ini juga sedikit banyak ditopang oleh keberhasilan Jokowi dalam merangkul organisasi Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Dengan mempertimbangkan indikasi-indikasi ini, maka bisa dibilang semakin terpojoknya posisi FPI setelah pemerintah memutuskan untuk melarang segala aktivitas ormas tersebut bisa saja memang tak akan terlalu berpengaruh banyak pada posisi politik Anies Baswedan karena sebenarnya memang sudah lama melemah. Singkatnya, Anies Baswedan tetap bisa berjaya tanpa kekuatan FPI sekalipun.
Lalu sekarang pertanyaannya, apa kira-kira yang bisa membuat Anies terus memperkuat pengaruh politiknya jika seandainya Ia tak bisa lagi memanfaatkan dukungan dari FPI?
Anies Belum Tamat?
Ahmad Najib Burhani dari Yusof Ishak Institute dalam tulisannya yang berjudul Anies Baswedan: His Political Career, COVID-19, and the 2024 Presidential Election mengatakan bahwa sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies dianggap sebagai pemimpin yang inspiratif karena pidato-pidatonya yang mampu memukau hadirin.
Namun setelah perhelatan Pilgub DKI Jakarta, di mana Anies mulai mesra dengan HRS dan FPI, Ia terseret ke dalam politik identitas yang menimbulkan polarisasi kuat di masyarakat. Kendati begitu, Burhani menilai ada sejumlah cara yang dapat dilakukan Anies untuk memperbaiki kembali citra politiknya. Momentum pandemi Covid-19 adalah salah satunya.
Menurutnya, persepsi publik yang menilai bahwa penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta merupakan modal politik yang cukup signifikan bagi Anies. Pendapat Najib ini pun faktanya sejalan dengan hasil survei yang dilakukan SMRC pada pertengahan tahun lalu yang menyebut bahwa 62 persen warga DKI menilai Anies cepat tanggap dalam menangani pandemi.
Namun selain citra politiknya sendiri, modal Anies yang jauh lebih berharga adalah patronase dan jejaring politiknya. Tak dapat dipungkiri, selain FPI, Anies masih punya amunisi lain untuk memaksimalkan dukungannya, yakni dukungan dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)
Beberapa waktu yang lalu, JK akhirnya buka suara terkait spekulasi yang selama ini beredar di publik terkait kedekatannya dengan Anies. Ia blak-blakan mengakui bahwa dirinya lah yang mendorong Gerindra dan PKS untuk mengusung Anies untuk maju dalam Pilgub DKI 2017.
Selain JK, ada pula manuver-manuver Partai NasDem yang belakangan terkesan mendekati Anies.
NasDem sendiri merupakan partai besutan Surya Paloh yang notebene adalah rekan JK ketika masih berkiprah di Golkar. Selain itu, posisi JK sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) agaknya juga bisa menguntungkan Anies.
Tak hanya jejaring di dalam negeri, jejaring politik Anies nyatanya juga cukup moncer di luar negeri. Sebagai lulusan University of Maryland, Amerika Serikat (AS), Anies disebut mampu merawat relasinya dengan almamaternya tersebut melalui kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta terkait pengembangan sumber daya manusia.
Selain itu, Anies juga kerap mempertontonkan kedekatannya dengan sejumlah duta besar negara sahabat. Misalnya ketika Ia bersepeda dengan dubes-dubes negara-negara Nordik, melakukan pertemuan dengan dubes Tiongkok Xiao Qian, hingga menjalin kerja sama dengan dubes Inggris Owen Jenkins.
Dengan mempertimbangkan kuatnya jejaring politik Anies di dalam dan luar negeri, maka bisa dikatakan tanpa bantuan kekuatan politik FPI sekalipun, kans Anies untuk bertarung di Pilkada DKI 2022 atau bahkan Pilpres 2024 tetaplah terbuka lebar. Namun begitu, semuanya tetaplah tergantung dari bagaimana legacy yang akan Ia torehkan di kepemimpinan DKI saat ini.
Frank McQuade dalam tulisannya yang berjudul Stepping Stone or Stumbling Block: How Soon for Political Advance?, disebutkan bahwa penggunaan posisi atau jabatan tertentu sebagai batu loncatan bagi karier politik berikutnya, dapat berbalik menjadi sebuah kerugian besar ketika dianggap tidak memiliki pencapaian atau justru berbuat blunder dan tidak dikalkulasikan secara matang.
Kendati begitu, sekelumit ulasan ini hanyalah argumentasi teoretis yang tentunya terbuka untuk diperdebatkan. Apalagi situasi politik saat ini masih terlalu cair dan apa pun masih bisa terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.