Presiden Jokowi tak ingin Tenaga Kerja Asing (TKA), mengalami proses berbelit-belit untuk bekerja di Indonesia. Apakah pekerja lokal siap?
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]iap membaca atau mendengar desas-desus TKA memasuki Indonesia, bisa dipastikan komentar atau suara bernada was-was akan terdengar. Hal tersebut wajar, sebab mau tak mau, kedatangan mereka membuat pasar tenaga kerja Indonesia semakin kompetitif dan sulit ditembus.
Desas-desus tersebut, juga sulit membendung bayangan di kepala soal gambaran sekelompok pekerja dengan bakat dan pengetahuan yang lebih tinggi dan mumpuni. Walau dalam kenyataannya, tak selalu itu yang terjadi.
Sejak tahun 2016, Pemerintahan Jokowi secara timbul tenggelam kerap diwarnai isu ‘serbuan’ gelombang TKA asal Tiongkok. Beberapa waktu sebelumnya, bahkan beredar kabar bila jumlah TKA asal Tiongkok tersebut mencapai 10 juta jiwa.
Walau sudah dinyatakan hoax oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laolly, isu tersebut tak bisa benar-benar hilang dan mereda. Bahkan, Presiden Jokowi sampai keki dibuatnya. Sebaliknya, isu ini terus “digoreng” oleh pihak oposisi, guna memunculkan sentimen negatif bila pemerintah tak berpihak pada pekerja lokal.
Namun dua tahun kemudian, yakni di tahun 2018, pemerintah berbalik arah dan memutuskan membuka pintu lebar-lebar bagi para TKA bekerja di Indonesia. Keputusan ini disampaikan sendiri oleh Presiden Jokowi saat membuka rapat terbatas terkait penataan TKA di kantor Presiden, pada Februari lalu.
Ada beberapa kebijakan kejutan pak Jokowi setelah pulang dari afganistan:
1. Permudah perijinan import
2. Permudah perijinan TKA – tenggang 2 minggu
3. Swastakan bandara stategis spt bandara Soetta
4. Bangun bandara dengan inventasi swasta— Hadi Purwanto (@HADIPURW2310) February 1, 2018
Kebijakan ini dikeluarkan bukan tanpa alasan. Presiden Jokowi berencana mau mendongkrak kualitas kemudahan berbisnis supaya makin kompetitif. Hal tersebut disambar Pramono Anung selaku Sekretaris Kabinet, dengan dalih untuk mempermudah investasi yang ada. “Bukan lagi zamannya kita mempersulit investasi, sudah tidak lagi zamannya kita mempersulit orang yang mau masuk bekerja di Republik ini,” terangnya.
Kebijakan ini lantas menumbuhkan sebuah pertanyaan lagi. TKA macam apa yang akan dimudahkan masuk ke Indonesia? Bagaimana kualifikasi dan kontrol yang akan ditetapkan pemerintah untuk menjaring TKA? Apakah ini makin menegaskan jika pekerja lokal lemah dan berkualitas rendah?
Alur Ketat dan Berbelit Ala Singapura
Bila dibandingkan dengan Singapura, Indonesia memang tergolong masih ‘malu-malu’ menarik TKA datang. Singapura sudah jamak dikenal sebagai surga bagi para TKA.
Tetapi, Singapura juga tak sembarang menarik TKA bekerja di negaranya. Para TKA, atau yang akrab disebut dengan ekspat, harus menempuh seleksi panjang nan berliku supaya diterima masuk bekerja di Singapura.
Saat menjalankan proses pemberian visa bekerja, Singapura bisa menjalankan waktu dua hingga tiga bulan. Jenis pekerjaan dan keahlian bagi TKA juga sudah ditentukan oleh Pemerintah Singapura. Jurusan yang punya kemungkinan memperoleh visa bekerja bagi TKA adalah manufaktur, konstruksi, layanan kesehatan, keuangan, komunikasi informasi, media digital, pariwisata, dan retail. Hal ini ditambah pula dengan ‘syarat’ universitas top dunia dan indeks prestasi yang dicapai.
Sementara bagi TKA dengan keahlian tingkat menengah (bukan profesional) alias teknisi, wajib pula memenuhi atau melengkapi syarat tertentu. Syarat tersebut adalah gaji minimal 2.000 dollar Singapura per bulan, kualifikasi pendidikan, mengisi jenis pekerjaan, dan lama pengalaman kerja. Walau sudah diterima, beberapa TKA bahkan juga masih harus menempuh ujian tertulis untuk diterima bekerja di Negara Singa itu.
Berdasarkan situs expatarrivals, jumlah TKA di Singapura mencapai 600.000 orang di tahun 2015. Mereka menduduki jabatan sebagai tenaga profesional dan tenaga tingkat manager yang terampil dan berpenghasilan lebih tinggi.
Namun, Singapura tak melupakan pekerja lokal begitu saja. Perusahaan Singapura harus merekrut pekerja lokal selama dua minggu, sebelum diizinkan menawarkan pekerjaan kepada TKA untuk mengisi lowongan kerja dengan standar gaji di kisaran Rp. 118 juta per bulan. Dari sini, bisa disepakati bersama bila Singapura mempekerjakan TKA yang memiliki kualifikasi tinggi untuk menempati posisi yang penting pula.
Di sisi lain, lowongan kerja yang berlimpah di Singapura dan angka pengangguran kecil (di bawah dua persen) ini, ternyata harus ditambal dengan gaji yang relatif rendah dan biaya hidup tinggi bagi pekerja lokal. Pekerja kasar atau warga Singapura yang bekerja di kantor pemerintahan, harus ‘pasrah’ menelan gaji minimal Rp. 8 juta atau sekitar 1.000 dollar Singapura tiap bulannya.
Menteri dan Presiden Beda ‘Haluan’
Bila melongok lagi kebijakan yang saat ini masih dalam tahap penggodokkan kementerian terkait – Menkumham, Menaker, Mendag, KKP, Perindustrian, Kementerian ESDM – kualifikasi yang dicanangkan pemerintah untuk para TKA juga masih sumir. Selain itu, gambaran ‘kenyamanan’ gaji dan posisi bagi TKA di Singapura, sebetulnya juga sudah ditemui di Indonesia, terutama di dunia korporasi dan swasta. Lantas apa yang perlu ditingkatkan oleh para TKA ini?
Jawaban Pramono Anung juga tak banyak membawa gambaran baru. Ia hanya kembali menegaskan bila TKA yang diharapkan datang adalah mereka yang memiliki kapasitas dan keahlian yang benar-benar dibutuhkan. “Bukan tenaga asing di lapangan, (tapi) terutama untuk level manajemen, direksi, dan sebagainya,” tandasnya.
Sementara Darmin Nasution, selaku Menko Bidang Perekonomian, juga hanya menyebut TKA yang berhak mengisi ‘lahan’ pekerjaan adalah tenaga pengajar dan instruktur guna mendukung ekonomi digital. “Kita bicara untuk memenuhi talent (ahli) pada e-commerce, pada instruktur pendidikan vokasi dan tenaga keperawatan mesin yang susah didapatkan,” jelas Darmin.
Yang masih ‘hilang’ dari keterangan mereka adalah, bagaimana skema kontrol dan sistem konkrit yang dijalankan untuk menjaring TKA. Bila Presiden Jokowi hanya menginginkan kemudahan bagi para TKA bekerja, hal tersebut seakan secara otomatis menjauhkan Indonesia dari ‘mencontek’ cara Singapura menjaring TKA-nya. Dengan demikian, TKA berkualitas seperti yang diharapkan oleh dua pejabat di atas, makin susah menemui jalan temunya.
Dari sana, sulit pula untuk tak bertanya apakah tak ada sama sekali warga lokal yang memiliki kualifikasi tinggi, sampai harus mendatangkan banyak TKA dari luar?
Apa Kabar SDM Kita?
Indonesia bukannya tak memiliki tenaga ahli sama sekali. Seiring berjalannya waktu, jumlah sarjana di Indonesia meningkat pesat. Tak sedikit pula jumlah warga yang melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan S3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tetapi apa daya, peningkatan pendidikan tersebut ternyata harus diikuti pula dengan kenyataan tingginya jumlah pengangguran sarjana. Selain itu, Indonesia juga sudah terkenal sebagai negeri yang tak ‘ramah’ dengan orang pintar.
Hal tersebut secara tersirat dikemukakan Profesor Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hubungan Internasional UI. Menurutnya, orang pintar atau tenaga ahli yang berada di luar negeri tak perlu kembali bekerja di Indonesia. WNI yang berprestasi bisa berkontribusi untuk Indonesia, meski berada di luar negeri.
Indonesia memang memiliki kelemahan ‘mengapresiasi’ tenaga kerja lokalnya. Hal ini terbukti dari kurangnya alokasi dana untuk memfasilitasi kinerja warga negara dengan pendidikan S2 maupun S3 untuk melakukan riset atau mengaplikasikan risetnya. Hatta Radjasa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menambahi, ia menganggap anggaran riset dan teknologi Indonesia bahkan hanya berkisar Rp. 100 miliar pertahun. “Ini terkecil di Asia atau hanya 0,18 dari produk domestik bruto,” jelasnya.
Hal yang tak jauh berbeda terjadi pula di bidang lain. Tenaga kerja Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi lebih banyak memilih untuk berjaya di ‘rumah orang’, ketimbang kembali ke Indonesia. Selain penghasilan, beberapa pihak menilai ‘rumah orang’ mampu menyediakan fasilitas yang menunjang kerja mereka.
Fakta-fakta tersebut berimbas pada hasil-hasil mencemaskan yang diterima Indonesia, yakni kualitas tenaga pekerja lokal sangat rendah. Bahkan kualitasnya masih berada di bawah Tiongkok dan Filipina. Tak hanya itu, Indonesia juga divonis kekurangan 80 persen insinyur profesional.
Dengan demikian, perkataan Agus Sartono, Deputi Bidang Pendidikan dan Agama di tahun 2014 seakan menemui akarnya. Ia pernah berkata bila rata-rata pendidikan orang Indonesia setara dengan 8 tahun atau kelas 2 SMP. Hal inilah, yang menurut Aus Sartono, membuat Indonesia sulit bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.
Namun begitu, apakah lantas kebijakan memudahkan TKA masuk adalah langkah bijak memperbaiki kualitas pekerja lokal yang ‘bontot’? Sayangnya pihak Labor Institute Indonesia (LII) punya pandangan lain. Andy William Sinaga, selaku Sekretaris LII, berkata jika keberadaan TKA di Indonesia belum dipandang efektif untuk menaikkan kualitas pekerja lokal.
Alih-alih menguatkan kompetisi, TKA yang keberadaannya makin mudah masuk ini hanya akan menanam kecemasan dan ancaman lebih nyata bagi sebagian besar pekerja lokal. Bagaimana bisa bersaing dan ikut kompetitif, bila sejak awal kualitas kerja pekerja lokal tak didukung dan ditingkatkan oleh sektor pendidikan, informasi, teknologi, kejuruan yang mumpuni dari Pemerintah? Tak bisa disalahkan bila pekerja lokal tak mampu bersaing dalam era digital nantinya, sebab pemerintah sendiri belum cukup mumpuni memberi bekal.
Sekali lagi, keberadaan TKA di Indonesia memang mampu mendorong SDM Indonesia untuk bersaing sehat. Tentu saja ini hal yang baik bagi proses perkembangan SDM negeri. Namun, bagaimana pula bersaing bila kualitas, kompetensi, dan pendidikan masyarakatnya tak disokong atau dipersiapkan secara konsisten sejak awal? Bagaimana bisa bersaing bila persiapan tak pernah ada? Dengan demikian, bila pejabat ‘bernyanyi’ soal perbandingan kompetensi TKA dengan pekerja lokal, ‘alangkah indah’ bila mereka berkaca terlebih dahulu.
Bagi sebagian pekerja lokal, tentu kebijakan Pemerintah soal TKA, tak berlebihan bila disikapi layaknya peperangan, yakni perang dalam pasar kerja tentu saja. Dalam perang, persiapan menjadi bagian yang sangat krusial di dalamnya. Seperti apa yang disebutkan Nicollo Machiavelli, “whoever wants to live in peace, must prepare for war” (siapapun yang ingin hidup tenang, harus bersiap untuk ‘perang’).
Apa yang disampaikan Machiavelli tak berlebihan bila menggambarkan kondisi pekerja lokal, yakni kesiapan untuk ‘perang’ menghadapi TKA demi mendapatkan hidup ‘tenang’ alias pekerjaan. Nah, di sanalah semestinya peran pemerintah masuk dan mendongkrak akses kesiapan ‘berperang’ supaya pekerja lokal turut kedapatan untung, tak hanya rasa was-was semata. (A27)