Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Elite PAN Saleh Partaonan Daulay memberi kritik pedas kepada Anies Baswedan atas ambisinya di Pilkada 2024 pasca gagal di ajang Pilpres mengingat dirinya tak memiliki kendaraan politik. Kendati Anies membuktikan sosok non-partai dapat berkontribusi dalam demokrasi, esensi yang disampaikan Saleh kiranya memiliki relevansinya tersendiri.
Dua hari yang lalu (27/6), Politisi PAN Saleh Daulay mengkritik Anies Baswedan atas ambisinya di Pilkada Jakarta 2024 setelah gagal di ajang Pilpres karena Anies bukan merupakan kader partai politik.
Praktis, apa yang disampaikan Saleh menjadi variabel saling bersahutan dan memanaskan pertempuran narasi menjelang Pilkada Jakarta. Utamanya, apakah Anies benar-benar masih layak untuk “nyalon” dan dipilih di kontestasi elektoral.
Meskipun dalam podcast Pandji Pragiwaksono bertajuk “Skakmat Anies Baswedan” yang diunggah pada 19 Juni 2024 lalu Anies mengatakan bahwa dirinya adalah seorang developmentalis dan ingin membuktikan bahwa sosok di luar partai politik juga dapat berpartisipasi dan berkontribusi dalam politik dan demokrasi, pernyataan Saleh kiranya memiliki esensi dan relevansinya tersendiri jika mengacu pada sejumlah interpretasi. Mengapa demikian?
Percuma Sandera Anies?
Interpretasi pertama, eksistensi Anies di Pilkada 2024 pasca Pilpres 2024 dinilai memperparah fenomena deparpolisasi, atau gelombang ketidakpuasan publik terhadap partai politik.
Padahal, partai politik adalah instrumen satu-satunya yang memiliki kekuatan untuk menyuarakan aspirasi rakyat melalui parlemen, terlepas dari konteks derajat rasa keterwakilan yang selama ini menjadi kritik.
Kehadiran Anies tentu menjadi distorsi bagi idealisme partai politik yang tak memiliki sosok prominen dalam sebuah kontestasi elektoral.
Salah satunya adalah PKS, yang sejak dini menggertak entitas politik lain sekaligus “menyandera” Anies di Pilkada 2024 dengan menawarkan Sohibul Iman sebagai cawagub.
Saat didalami lebih lanjut, hal itu dinilai menjadi ancaman dalam dimensi tertentu bagi kaderisasi dan meritokrasi partai politik. Sebagai contoh, sosok Ridwan Kamil pun yang telah bergabung ke Partai Golkar masih terus dimonitor dan “diantisipasi” manuver dan loyalitasnya oleh kader-kader lain, apalagi sosok Anies?
Lantas, bagaimana dengan PAN yang kian jamak diisi oleh kader baru berstatus artis dengan predikat “politisi instan”?
Dalam konteks PAN, kritik Saleh terhadap Anies pun kiranya memiliki makna tertentu saat diinterpretasi lebih dalam. PAN seolah ingin memberikan sampel secara tidak langsung bagaimana cara kerja sosok populis agar tak ujug-ujug “nyalon”, terutama di level eksekutif.
Jika diamati, para “artis PAN” yang kemudian muncul sebagai kandidat legislatif maupun kepala daerah tentu terlebih dahulu harus bergabung dengan partai.
Setelahnya, mereka turut berkontribusi baik bahu-membahu dalam kampanye hingga bantuan yang sifatnya materil. Sebut saja Eko Patrio hingga Desy Ratnasari yang meski tak benar-benar berjuang dari bawah, mereka tetap harus memenangkan hati elite dan rakyat terlebih dahulu untuk bisa eksis.
Refleksi dari apa yang terjadi di internal PAN itu bertalian langsung dengan interpretasi kedua, bahwa keikutsertaan Anies di Pilkada 2024 agaknya hanya merupakan ambisi personalnya untuk tetap relevan dalam ruang sosial-politik Indonesia, bukan idealismenya.
Ini tentu bisa berdampak negatif dalam jangka panjang bagi partai politik yang mengusungnya. Hanya coattail effect atau “efek ekor jas” yang signifikansinya tak pasti yang “ditawarkan” Anies, alih-alih meng-endorse partai pengusungnya secara gamblang.
Memang, pada akhirnya simbiosis itu kembali kepada kebutuhan masing-masing partai. Sayangnya, penilaian dan keputusan realistis dan pragmatis-lah yang kemudian mengambil peran di ranah perpolitikan kontemporer.
Namun, kembali, saat berbicara idealisme, terdapat satu kritik yang kiranya harus dipahami kembali, baik oleh Anies maupun para pendukungnya. Saat Pilpres 2024 lalu, terdapat satu kritik yang cukup mengena yakni andai pun sukses dan berhasil menjadi presiden, Anies dinilai tidak akan mampu mengumpulkan kekuatan politik yang cukup untuk mengeksekusi janji-janjinya, terutama tanpa mengorbankan sesuatu yang fundamental.
Kemungkinan yang terjadi setelahnya hanya dua, bertahan di status quo atau mengurai ulang komposisi elite beserta kepentingan mereka yang pastinya memiliki risiko besar bagi Anies secara politik.
Bagaimanapun, aspirasi kiranya harus berjalan dua arah. Tak hanya datang dari rakyat, tetapi dari para aktor-aktor politik praktis yang selama ini telah mengarungi jalan terjal perjalanan politik dan demokrasi tanah air. Termasuk, yang datang dari elite PAN seperti Saleh.
Berkaca dari PAN?
Kendati bisa saja hanya demi peluru untuk mendegradasi impresi pencalonan Anies di Pilkada Jakarta 2024, pernyataan yang datang dari elite PAN sebenarnya sangat menarik untuk ditelaah lebih dalam. Terutama, saat berbicara eksistensi dan relevansi PAN itu sendiri di blantika politik Indonesia.
PAN telah menunjukkan resiliensi dan keberhasilan dalam menjaga keberadaan dan pengaruhnya di politik Indonesia. Salah satu resepnya diyakini dengan melakukan pergeseran strategis ideologi partai yang cukup “smooth”, dari berbasis agamis ke karakteristik yang lebih inklusif dan terbuka.
Dengan melakukan interpretasi back to basic atau dengan kembali ke hakikat partai politik sebagaimana dijelaskan Maurice Duverger dalam Political Parties, partai politik sering kali muncul dari basis ideologis atau sosio-demografis yang kuat, yang memberikan identitas dan loyalitas pemilih.
PAN pada awalnya didirikan sebagai partai yang berbasis pada nilai-nilai Islam dan didukung oleh Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Pada awal berdirinya, PAN memperoleh dukungan signifikan dari basis pemilih Muslim modernis yang terhubung dengan Muhammadiyah. Identitas ini memberikan fondasi yang kuat dan stabil bagi PAN dalam konteks politik yang plural dan kompetitif di Indonesia.
Akan tetapi, dengan karakteristik Muhammadiyah yang lebih terbuka, PAN seolah tak mengalami kendala berarti saat melakukan pergeseran ideologis. Mengacu pada publikasi Ronald Inglehart dan Pippa Norris yang berjudul Modernization, Cultural Change, and Democracy, dalam masyarakat yang semakin modern, terdapat pergeseran nilai dari nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai yang lebih sekuler dan rasional.
Para partai politik yang mampu beradaptasi dengan perubahan ini cenderung lebih berhasil dalam jangka panjang.
PAN tampak telah menunjukkan fleksibilitas dengan memperluas basis konstituennya melalui pendekatan yang lebih inklusif.
Mereka tidak lagi hanya mengandalkan basis pemilih agamis, tetapi juga mengakomodasi kepentingan pemilih yang lebih luas, termasuk kaum muda dan kelas menengah perkotaan yang mungkin kurang religius.
Strategi ini terlihat dalam kampanye mereka yang menonjolkan isu-isu seperti pembangunan ekonomi, pendidikan, dan teknologi.
PAN kemudian memanfaatkan kapital sosial dari artis dan tokoh populer untuk memperkuat daya tarik dan visibilitas mereka di kalangan pemilih yang lebih luas.
Di atas kertas dan telah cukup terbukti, kehadiran selebriti dalam kampanye politik dapat menarik perhatian media dan meningkatkan partisipasi pemilih, terutama di kalangan pemilih muda dan apatis.
Ini terlihat dalam strategi PAN yang memasukkan selebriti ke dalam daftar calon legislatif mereka serta menjadikan mereka juru bicara dalam kampanye.
Hal itu menunjukkan bagaimana PAN kiranya dapat responsif dalam segala perubahan situasi sebagaimana teori kontingensi yang dikemukakan Paul R. Lawrence dan Jay W. Lorsch dalam Organization and Environment: Managing Differentiation and Integration.
Dijelaskan, organisasi yang sukses adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungan eksternal yang dinamis dan berubah-ubah.
PAN tampak menunjukkan kemampuan adaptif yang tinggi dalam menghadapi perubahan politik di Indonesia. Mereka merespons perubahan dalam preferensi pemilih dan dinamika politik dengan mengubah strategi kampanye dan memperluas aliansi politik ke arah yang lebih relevan.
Selain itu, satu hal pamungkas yang tak bisa serta merta dilepaskan adalah aspek kepemimpinan kolektif, seperti yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh kunci seperti Amies Rais di masa lalu serta Hatta Rajasa serta Zulkifli Hasan di era kekinian.
Mereka jamak dinilai memberikan pengaruh signifikan dalam menjaga stabilitas dan kesinambungan partai. Kepemimpinan yang karismatik dan visioner membantu PAN dalam mengarahkan strategi dan menavigasi tantangan politik.
Oleh karena itu, akan cukup menarik menantikan siapakah yang akan memenangkan narasi politisi tak bertuan melawan partai politik seperti PAN yang tak rela impresi negatif terhadap mereka terus lestari dengan keikutsertaan sosok seperti Anies di ajang kontestasi elektoral. (J61)