Berulang kali Presiden Joko Widodo mengingatkan, bahwa saat ini Indonesia sudah darurat Narkoba. Bahkan bagi beberapa negara, Nusantara sudah menjadi pasar terbesar yang sangat menguntungkan bagi para pengedar Narkoba.
PinterPolitik.com
“Peruntungan baik atau buruk, aku tidak peduli tentang kematian lagi. Sebelum opium dimusnahkan, aku tidak akan pernah kembali ke ibukota.” ~ Lin Zexu
[dropcap size=big]T[/dropcap]iongkok, tahun 1839. Komisaris tertinggi Lin Zexu yang juga seorang filsuf, ahli kaligrafi, dan penyair, adalah seorang pejabat yang hidup di masa Kaisar Daoguang dari Dinasti Qing. Ia pergi ke Guangdong atas perintah Kaisar untuk mengemban misi menghentikan impor opium dari pedagang-pedagang Inggris.
Lin tahu, ia mengemban tanggung jawab yang sangat berat karena harus menentang perdagangan opium di Tiongkok dari bangsa asing. Pada masa itu, negaranya dalam keadaan terpuruk, sebab harta negara terus mengalir ke Inggris untuk membeli obat terlarang. Kondisi bangsanya menyedihkan akibat ketergantungan opium. Tekad Lin menumpas obat terlarang, memicu Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris.
Indonesia, tahun 2017. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol. Budi Waseso atau Buwas, merasa prihatin. Menurutnya, sebaran peredaran dan jaringan narkotika di Indonesia semakin mengerikan. Selain meluas hingga ke pelosok Indonesia, peredarannya juga sudah merasuk ke institusi pertahanan. “Di BNN ada, di polisi ada, di TNI juga ada,” katanya beberapa waktu lalu.
Buwas menilai, ada kepentingan asing yang ingin menghancurkan Indonesia terkait penyelundupan narkoba. Alasannya, ada pihak-pihak yang diduga membiarkan narkoba dalam jumlah besar masuk ke Indonesia. “Kita tahu narkoba paling banyak dari Tiongkok, Taiwan, Nigeria, dan Iran. Jadi terlihat adanya kepentingan negara luar untuk menghancurkan Indonesia. Kenapa? Karena mereka mengekspor ke sini, di sini tujuannya. Ini yang nanti harus didalami Lemhanas, TNI, dan dari BIN,” ungkapnya.
Lemahnya Pengawasan
Lin Zexu bersama raja muda Guangdong, Deng Tingzhen dan laksamana angkatan laut Guangdong, Guan Tianpei, berusaha menghentikan penyeludupan opium dengan meningkatkan pertahanan laut bersama masyarakat.
Saat ini, Buwas juga melihat Indonesia sudah dikepung narkoba, karena peredaran dan penyalahgunaannya hampir merata. “Kota-kota di Indonesia hampir semua ada, pelabuhan-pelabuhan sangat rentan terhadap penyeludupan dan peredaran Narkotika,” katanya. Geografi dan demografi Indonesia yang berbentuk kepulauan, memudahkan penyebarannya.
Berdasarkan laporan kepala Bea dan Cukai tahun 2015, penyelundupan narkotika melalui jalur udara menurun, menjadi 48 kali. Namun penyelundupan melalui jalur laut jadi meningkat tajam, yaitu 59 kali. Ini mengindikasikan, jalur laut menjadi primadona bagi sindikat internasional untuk menyelundupkan narkoba di Indonesia.
Kondisi rawan juga sangat berkaitan dengan lemahnya pengawasan di perairan Indonesia, dibanding jalur udara. Pelabuhan yang seringkali digunakan oleh sindikat, kata Buwas, adalah pelabuhan tikus atau pelabuhan tradisional. Kadang, mereka juga menggunakan pelabuhan resmi berskala internasional seperti pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, dan lainnya.
Salah satu giat ops yaitu Pemetaan jalur tikus yang memungkinkan narkoba masuk dari Malaysia ke Indonesia pic.twitter.com/tGEKUZCLQk
— BNN RI (@INFOBNN) April 12, 2017
Minimnya pengawasan di pelabuhan, banyak dimanfaatkan para pengedar narkoba. “Para pengedar telah mempelajari kelemahan pengawasan, sehingga dengan mudah mengirim paket narkotika secara legal. Caranya, mereka mengirim melalui paket yang disisipkan bersama barang lainnya.
Selain itu, para pengedar pun kerap menggunakan modus operandi baru untuk menyelundupkan narkoba, misalnya melalui pelabuhan penurunan ikan. “Para pengedar menggunakan kapal kayu nelayan dan turun di pelabuhan nelayan, seolah-olah nelayan ikan,” jelasnya, sambil mencontohkan banyak kurir shabu-shabu dari Malaysia yang tertangkap di Kawasan Pelelangan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara.
Pangsa Pasar Terbesar di ASEAN
Lin Zexu banyak menghadapi tentangan dari pihak bangsa asing dan para pedagang opium lokal, yang bekerjasama dengan orang asing merusak bangsanya sendiri.
Menurut Buwas, Indonesia saat ini termasuk pangsa pasar terbesar dan perdagangan Narkotika di negara-negara ASEAN. Apapun jenis narkotika yang dikirim ke Indonesia semua dikonsumsi masyarakat di Tanah Air. “Kita mencatat sudah sebanyak 43 jenis baru Narkotika yang sudah masuk ke Indonesia, dari 541 jenis yang ada di dunia. Sekitar 18 jenis diantaranya, sudah dapat terdeteksi masuk golongan Narkotika.”
Berdasarkan data BNN, jumlah pengguna narkotika di Indonesia telah mencapai 2,2 persen dari total penduduk dan lebih dari 50 persennya adalah pekerja. “Karena itu, Indonesia pasar terbagus di Asia Tenggara,” tegasnya. Pernyataan Buwas ini dibenarkan Troels Vester, Manajer Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) yang memperlihatkan bahwa jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia memang terus meningkat dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir.
Dalam Laporan Tahunan Dewan Pengendali Narkotika Internasional 2015, disebutkan bahwa rata-rata peningkatannya mencapai 10 persen per tahun. Vester mengatakan, penyebabnya karena adanya faktor permintaan dan pasokan yang saling terkait dan terus naik. Apalagi, Indonesia kini bisa memproduksi sendiri narkotika jenis amphetamine. Itu terbukti dari penemuan 200 pabrik di dalam negeri, sehingga narkoba sudah menjadi kejahatan terencana di Tanah Air.
Hal yang sama juga diucapkan Staf Ahli Badan Narkotika Nasional Bidang Hukum dan Internasional, Bali Moniaga yang membenarkan status darurat narkoba di Indonesia yang dicanangkan pemerintah. Ia melihat masalah narkoba adalah fenomena gunung es. “Setiap satu penangkapan, ada 10 tersangka narkoba yang lolos,” ujarnya.
Jumlah temuan narkoba pun melonjak. Misalnya, sebelumnya selama 3 tahun, total barang bukti sabu hanya 2,1 metric ton. Namun pada 2014, hanya dalam 1 tahun, barang bukti mendekati jumlah 1,5 metrik ton. BNN sendiri sebenarnya sudah memusnahkan Narkotika sebanyak 16 kali, dan terakhir sabu-sabu seberat 54 kg dan 191 ribu butir pil ekstasi.
Namun itupun masih belum mampu menekan angka korban akibat penyalahgunaan Narkotika, yaitu rata-rata 40 hingga 45 orang meninggal setiap hari, sehingga sekitar 18 ribu orang meninggal per bulan di Tanah Air. “Narkotika sudah banyak masuk di Indonesia, dan tersimpan di bunker-bunker. Mereka menunggu kita lengah baru diedarkan dan semuanya dari luar negeri, karena tidak bisa diproduksi di dalam negeri.”
Jaringan narkotika internasional yang beroperasi di Indonesia, lanjut Buwas, adalah dari Tiongkok, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Afrika Barat, Iran, Pakistan, dan Australia. Sedangkan jaringan nasional berasal dari Aceh, Medan, Surabaya, Kalimantan Selatan, Lampung, dan Palembang. “Untuk yang beroperasi di balik penjara, itu ada jaringan lapas Tangerang, Medan, Jatim, Kalsel, Cipinang, Cirebon dan Lampung,” tambahnya.
Pro Kontra Hukuman Mati
Berpeti-peti opium yang telah disita ditumpuk di pantai Humen untuk dimusnahkan di depan publik. Dua lubang besar digali dan di tengah dibangun sebuah panggung tinggi. Masyarakat berkumpul memenuhi pantai itu untuk menyaksikan peristiwa yang kelak akan tercatat dalam sejarah Tiongkok.
Tahun 2016, Presiden Jokowi dihadapan tumpukan narkoba sitaan BNN yang akan dimusnahkan, mengingatkan kembali bahwa jumlah terpidana mati kasus narkoba tidak sebanding dengan jumlah generasi muda yang menjadi korban penyalahgunaan bahan berbahaya itu. “Bandingkan 15 ribu generasi muda kita mati karena narkoba setiap tahunnya dengan berapa pengedar dan bandar yang mati setiap tahunnya,” katanya.
Pada awalnya, Presiden ketujuh Indonesia ini memperlihatkan komitmennya untuk memberi hukuman jera terhadap para pengedar dan pembuat narkoba. Namun setelah menghukum mati 16 terpidana narkoba, pemerintah Indonesia mendapatkan banyak tekanan dari organisasi internasional seperti Amnesty International serta para aktivis Hak Azasi Manusia (HAM).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, mengatakan pemerintah telah mempertimbangkan tuntutan tersebut dan berencana mengubah hukuman mati menjadi hukuman alternatif, bukan lagi hukuman wajib dalam revisi KUHP yang akan segera disahkan. “Dalam rencana UU KUHP yang akan dibuat, kita akan mengambil titik tengah. Hukuman mati menjadi hukuman alternatif,” ujarnya Maret lalu.
Dalam sebuah wawancara dengan Finroll, Buwas mengatakan seharusnya penindakan hukum untuk bandar dan pengguna narkoba dipertegas, sesuai undang-undang yang berlaku. “Tetapi penindakan tegas itu harus konsisten dan konsekuen, artinya jika di undang-undang ada hukuman mati, ya harus dilaksanakan hukuman mati tersebut,” jelasnya. Hukuman yang tegas ini, ditujukan untuk memutuskan jaringan peredarannya.
Pendapat Buwas ini juga disetujui oleh Faizal Chery Sidherat, Kasubdit Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara Kementerian Luar Negeri, ia mengatakan penerapan hukuman mati tidak bertentangan dengan hukum internasional dan hingga saat ini tidak ada konsensus dunia tentang penghapusan hukuman mati. Selain itu, hukuman mati adalah masalah “Criminal Justice System” yang hak dan penerapannya tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun.
Menurutnya, kondisi ekonomi dan sosial politik setiap negara berbeda sehingga keberhasilan hukuman mati di satu negara, tidak berarti dapat diterapkan di negara lain. Setiap Negara memiliki ancaman dan tantangan yang berbeda, sehingga upaya penanggulangannya sepenuhnya merupakan hak dan wewenang setiap negara demi melakukan yang terbaik guna melindungi bangsa dan rakyatnya.
Perjuangan melawan narkoba di zaman modern ini, menurut Buwas, merupakan perang jenis baru yang tidak menggunakan senjata (proxy war). Tidak sama dengan Lin Zexu yang kala itu masih mengusung senjata saat imperalis Inggris menyerang Tiongkok. Menurutnya, ada pihak-pihak tertentu yang memang mendesain untuk menghancurkan NKRI. “Kami akan tegas dalam menangani ini, tidak main-main, karena yang kita selamatkan generasi muda bangsa,” pungkasnya. (Berbagai sumber/R24)