Kedekatan dua putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka dengan Prabowo Subianto tampaknya mulai membuat PDIP gerah. Setelah menemani Prabowo di Solo, PDIP diketahui memanggil Gibran dan sang Wali Kota Solo itu menyebut siap mendapat sanksi. Lantas, apakah yang dapat dimaknai dari intrik terbaru dari “trah Widodo” ini?
PDIP tampaknya gusar setelah putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka mendampingi Menteri Pertahanan (Menhan) yang juga capres dari Partai Gerindra Prabowo Subianto di Solo pada hari Jumat, 19 Mei 2023 kemarin lusa.
Ya, pasca menemani Prabowo, Gibran menyebut dipanggil menghadap ke DPP PDIP pada hari Senin besok melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto. Menariknya, Gibran mengaku siap mendapat teguran maupun sanksi dari partainya.
Diketahui, lawatan Prabowo tersebut adalah dalam rangka menemui relawan Jokowi-Gibran di Solo.
Saat ditanyakan awak media, Gibran menyebut tak turut campur saat pembicaraan maupun orasi bersama relawan atau segala hal yang terkait pencapresan.
“Kemarin hanya makan malam saja, kalau pencapresan kemarin saya minggir. Ketika orasi saya minggir nggak ikut-ikut,” begitu ujar Gibran saat mengklarifikasi langkahnya menemani Prabowo kepada awak media.
Sekadar informasi, PDIP sendiri telah menasbihkan Ganjar Pranowo sebagai capres 2024 yang diharapkan dapat menjadi suksesor Jokowi sekaligus mencetak hattrick kemenangan PDIP di Pilpres dan Pemilu.
Sementara itu, dalam pertemuan bersama Prabowo dan Gibran, Koordinator Relawan Jokowi-Gibran di Solo Kuat Hermawan Santoso menyebut pertemuan itu sebagai penyalur aspirasi para anggotanya di Jawa Tengah (Jatim) dan Jawa Timur (Jatim) yang disebut 90 persen mendukung sang mantan Panglima Kostrad itu sebagai capres.
Di balik itu semua, satu hal menarik yang kiranya menjadi presumsi adalah Gibran sendiri kemungkinan mengetahui bahwa pertemuan Prabowo dan relawan adalah sebagai ekspresi dukungan politik.
Termasuk probabilitas bahwa Gibran memahami konsekuensi jika kehadirannya dalam pertemuan itu membuka ruang tafsir bahwa dirinya condong ke Prabowo, bukan ke Ganjar.
Lalu pertanyaannya, mengapa Gibran tetap mendampingi Prabowo malam itu? Mungkinkah hal itu merupakan bagian dari manuver sporadis demi tujuan politik yang lebih besar dari trah Widodo?
Visi Regenerasi Jokowi-Gibran-Kaesang?
Terkait Prabowo, selain Gibran, sang adik Kaesang Pangarep juga belum lama ini memberikan satu gestur menarik kepada sang Menhan.
Kaesang tertangkap mengekspresikan kekagumannya pada mantan Danjen Kopassus itu dengan mengenakan kaus bergambar Prabowo dalam podcast di kanal YouTube pribadinya.
Jika dikaitkan kembali dengan endorse Presiden Jokowi kepada Prabowo sebagai capres 2024 dalam beberapa waktu belakangan plus sejumlah variabel lain, jika benar, itu kiranya lebih dari sekadar ekspresi “dukungan” kepada Ketum Partai Gerindra itu, melainkan demi regenerasi partai plus masa depan “trah Widodo” di PDIP. Mengapa demikian?
Pertama, setelah tak menjabat sebagai RI-1, posisi dan eksistensi Jokowi di internal PDIP tampak masih menjadi misteri.
Itu agaknya menjadi kekhawatiran khusus saat anak dan menantunya masih menjabat. Kaesang sendiri telah mengatakan secara terbuka bahwa dirinya memiliki minat untuk terjun ke dunia politik.
Selain itu, dalam beberapa kesempatan Jokowi selalu diberi predikat sebagai petugas partai biasa, baik oleh para pengamat maupun elite PDIP sendiri.
Sebagai sosok yang memiliki titel Presiden di dua periode beruntun, selain tampaknya kurang mengenakkan bagi Jokowi secara personal, riwayat itu bisa saja menjadi legitimasi Jokowi untuk menjadi pemimpin PDIP di masa mendatang.
Kedua, diskursus mengenai pengganti Megawati dalam konteks kepemimpinan PDIP kiranya memang bukanlah barang baru. Secara momentum pun, regenerasi PDIP kiranya akan segera terjadi dan itu bisa saja bisa “dimanfaatkan” oleh trah Widodo.
Pada 22 Juli 2020 lalu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri-lah yang mengungkapkan hal itu bahwa PDIP akan melakukan regenerasi total di tahun 2024.
Setelah pernyataan itu, berbagai dinamika internal PDIP yang mengemuka lantas kerap dikaitkan dengan proses krusial tersebut.
Hal itu termasuk pencapresan Ganjar yang mana dengan tak memaksakan Puan Maharani, kerap disebut demi memberi ruang bagi sang putri mahkota untuk menjadi suksesor Ketum PDIP.
Bagaimanapun, pembicaraan mengenai pengganti Megawati dari non-trah Soekarno atau selain ahli waris Megawati sepertinya menjadi hal tabu di internal partai.
Itu dikarenakan, personalized party – parpol dengan sosok sentral – yang disinggung Indonesianis Marcus Mietzner telah tersemat pada PDIP sejak ketokohan Mega seolah dianggap segalanya di internal partai. Paling tidak sejak peristiwa Kudatuli serta PDI – partainya di era Orde Baru (Orba) – bertransformasi menjadi PDIP.
Selain itu, karakteristik otokratis yang tersemat pada PDIP juga membuat suksesor Mega kiranya cukup sulit untuk lepas dari trah Soekarno, atau bisa juga disebut “trah Megawati”.
Kendra Cherry dalam tulisannya Autocratic Leadership: Key Characteristics, Strengths, and Weaknesses menyebut bahwa gaya kepemimpinan autocratic atau otokratis ditandai dengan sosok pemimpin yang mengontrol semua keputusan tanpa dipengaruhi anggota kelompok.
Karakteristik autocratic leadership dalam personalized party itu yang kiranya menasbihkan semacam “mitos” bahwa Megawati dan trah-nya sulit untuk tergantikan dalam aspek kepemimpinan.
Akan tetapi, secercah harapan bagi keterbukaan partai kiranya mengemuka ketika berbicara politik kontemporer terkait dinamika internal PDIP dan konteks suksesor Megawati dari selain trah Soekarno.
Itu selaras dengan apa yang diamati analis politik Ahmad Khoirul Umam yang menyebut internal PDIP selama ini telah terbagi ke dalam sejumlah faksi. Jika tak melakukan konsolidasi dengan baik, utamanya ketika tak mengakomodir kepentingan faksi non-trah Soekarno, masa depan partai disebutnya akan berada dalam bahaya.
Ketiga, terkait dengan alasan kebosanan. Terdengar janggal memang, namun dalam politik, faktor kebosanan dapat berpengaruh signifikan terhadap pola interaksi di antara para aktor.
Mariusz Finkielsztein dalam sebuah publikasi berjudul Between Pain and Pleasure: A Short History of Boredom and Boredology mengatakan kebosanan adalah pengalaman manusia yang universal namun begitu signifikan.
Dengan mengutip filsuf Abad Pencerahan asal Prancis Claude Adrien Helvétius, Finkielsztein menyebut kebosanan merupakan kekuatan di alam semesta yang lebih kuat dan bertindak jauh lebih universal daripada yang biasa dibayangkan.
Dampak signifikan dalam konteks sosiopolitik disebut ketika penguasa Romawi menganggap kebosanan sebagai ancaman bagi tatanan kehidupan saat itu. Kebosanan berlebihan, utamanya terhadap penguasa dan kehidupan sosiopolitik dianggap dapat memantik pemberontakan.
Dalam dimensi yang hampir serupa, kebosanan atas kepemimpinan Megawati yang tak demokratis meski kepanjangan dari PDIP tercantum frasa “demokrasi”, boleh jadi akan memberikan angin bagi trah non-Soekarno untuk memimpin partai, termasuk peluang bagi “trah Widodo”.
Selain memiliki relawan dan simpatisan yang tampak cukup militan, Jokowi juga menjadi nama selain trah Soekarno yang paling logis untuk memimpin PDIP kelak. Ihwal yang juga diamini oleh Umam.
Lantas, seberapa besar peluang trah Widodo untuk melanjutkan estafet kepemimpinan PDIP?
Terus Buka Peluang?
Penyebutan “trah Widodo” dalam analisis ini sendiri bukan tanpa alasan. Selain memiliki dinasti penerus dalam diri Gibran, Bobby, maupun Kaesang, Jokowi agaknya juga diuntungkan dengan respons positif dalam kinerja dan keterlibatan trah-nya dalam politik kekinian.
Itu yang tampaknya dapat mereduksi sekaligus menunda risiko “kebosanan” andai Jokowi benar-benar menjadi Ketum PDIP kelak dan diteruskan oleh trah-nya.
Namun, ketika interpretasi ini telah mengemuka, faksi pendukung trah Soekarno atau trah Megawati kiranya tak akan tinggal diam begitu saja. Termasuk dalam konteks kemungkinan pemanggilan Gibran ke DPP PDIP esok.
Selain untuk meredam riak sekecil apapun yang berpotensi menjadi intrik internal di kemudian hari yang lebih besar, pemanggilan Gibran kiranya dapat menjadi penegas bahwa faksi trah Soekarno/Megawati masih kuat saat ini.
Selama ini, PDIP pun seolah telah didoktrin dengan survei internal yang menyebut sekitar 84 persen kader bergabung dengan partai banteng moncong putih itu karena ingin menyatukan diri dengan ide, gagasan, dan cita-cita Bung Karno. Megawati kemudian dianggap sebagai pembawa semangat Soekarno itu.
Kendati mendapat kritik, seperti yang pernah disebut Rachmawati Soekarnoputri bahwa kebijakan dan implementasi politik Megawati sangat jauh dari apa yang ayahnya lakukan, internal PDIP agaknya telanjur tenggelam dalam dogma tersebut.
Secara kalkulasi, pergantian kepemimpinan PDIP selain dari trah Soekarno yang bisa dikatakan sebagai langkah radikal, kiranya tak akan terjadi dalam waktu dekat. Utamanya terkait gejolak faksi internal yang justru bisa mengancam stabilitas dan persatuan PDIP.
Oleh karena itu, faksi pendukung trah selain Soekarno atau trah Megawati seperti trah Widodo, misalnya, agaknya akan menunggu lebih lama untuk mendapat rasionalisasi suksesi partai.
Kendati demikian, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata berdasarkan sejumlah variabel politik yang ada selama ini. Namun, tetap menarik kiranya untuk ditunggu sejauh mana PDIP, secara organisasi, berani melakukan regenerasi demokratis serta bagaimana peluang trah Widodo ke depannya. (J61)