PKS sejauh ini masih tampak menyiratkan sokongan tersendiri kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Dengan kompetisi politik yang akan berbeda dengan kemungkinan urungnya revisi UU Pemilu, akankah sinergi PKS dan Anies berakhir?
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sampai saat ini belum terafiliasi dengan partai poltik (parpol) manapun. Realita yang membuat dukungan tersirat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kepada Anies selama ini tampak seperti hubungan tanpa status yang pasti.
Padahal, menurut rilis lembaga survei Median, elektabilitas Anies masih berada di puncak ketika berbicara kompetisi Pilkada DKI berikutnya. Munculnya nama Tri Rismaharini (Risma) juga tampaknya masih belum menggoyahkan kedigdayaan dan tingkat penerimaan publik atas kebijakan Anies sejauh ini.
Sebuah hal yang kiranya dapat membuat PKS semestinya harus menentukan demarkasi yang lebih tegas akan seperti apa relasinya dengan eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu.
Akan tetapi, PKS agaknya masih tetap menampakkan gestur politik yang tak berbeda. Meskipun menyebut masih memperjuangkan revisi UU Pemilu, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera merespons survei Median tersebut, dengan mengatakan bahwa Anies memang punya keunggulan, yakni lebih mengenal karakteristik DKI Jakarta dan lebih mampu membuat suasana teduh dan nyaman di Ibu Kota.
Sebuah pernyataan yang jika dirunut ke belakang, masih menunjukkan bahwa partai besutan Ahmad Syaikhu itu senantiasa memiliki sikap politik yang teguh memberikan sokongan dengan dimensi tertentu di belakang Anies. Baik ketika diskursus berada dalam level daerah, maupun ketika berkaitan dengan isu nasional.
Baca juga: Hanya PKS Teman Setia Anies?
Dalam beberapa kesempatan lain sebelumnya, PKS juga kerap kali menjadi “benteng” tangguh bagi Anies ketika Ia diserang lawan-lawan politiknya. Misalnya saat polemik acara Habib Rizieq Shihab (HRS), hingga sewaktu DKI Jakarta disebut amburadul oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Oleh karenanya, muncul pertanyaan tersendiri ihwal mengapa PKS kerap tampak begitu loyal kepada Anies meskipun tanpa status resmi apapun yang mengikatnya?
Subjek Tunggal Relevansi PKS?
Dalam membaca gerak-gerik parpol yang ada di Indonesia, memang tak dapat dilepaskan dari tendensi pragmatisme. Dalam Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, Muhadam Labolo menyebut bahwa dengan konstruksi iklim politik Indonesia saat ini, perilaku politik pragmatis dapat dipastikan dikedepankan oleh aktor politik yang ada untuk mencapai kekuasaan.
Begitu pun kiranya dengan kesetiaan PKS pada Anies Baswedan. Mengingat saat ini PKS menjadi parpol “minoritas”, konteks kekuasaan yang ingin direngkuh boleh jadi berada dalam dimensi survival atau keberlangsungan politik mereka sendiri, baik di level daerah maupun proyeksi di level nasional.
Langkah ataupun manuver yang dilakukan oleh parpol yang terkait dengan survival politik, disinggung dalam sebuah publikasi peneliti politik dari University of Essex Inggris, Roi Zur yang berjudul Party Survival in Parliament: Explaining Party Durability in Lower-House Parliament.
Zur menyebutkan istilah distinguished ideological position atau posisi ideologi yang berbeda, di mana ihwal ini cukup penting bagi kesuksesan parpol secara elektoral serta juga merupakan bentuk survival atau mempertahankan eksistensi parpol dalam perpolitikan, karena secara khusus merepresentasikan segmen tertentu dengan jelas.
Baca juga: Ganjar-Anies: Kombinasi Menuju 2024
Dan sejauh ini, tampaknya posisi ideologi semacam itulah yang mungkin dianut PKS di balik sokongannya pada Anies selama ini. Tentunya dengan proyeksi dapat terus konsisten bertahan secara elektoral dari segmen pemilih tertentu, baik yang telah bersama sejak memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, hingga dari kalangan yang kemudian mendukung Anies atas kebijakan progresifnya.
Apalagi Anies disebut-sebut berbeda haluan dan kerap mendapat kritik dari koalisi pemerintah, yang membuat PKS sebagai oposisi laten, seolah memiliki ruang untuk bermanuver dengan bersinergi atau “menggunakan” Anies sebagai variabel manuvernya.
Dan atas manuver itulah bahwa selain bermuara pada survival politik, sokongan terhadap Anies juga boleh jadi merupakan upaya PKS untuk terus relevan dan memiliki signifikansi di kancah perpolitikan tanah air.
Hal itu di saat yang sama juga seolah menguak kecenderungan bahwa sokongan PKS terhadap Anies, menunjukkan parpol yang baru saja melakukan rebranding itu tidak memiliki kader yang prominen.
Baik dalam hiruk pikuk politik yang ada saat ini, ataupun sosok yang memiliki elektabilitas mumpuni untuk diusung di kontestasi elektoral mendatang, khususnya pada Pilgub DKI Jakarta maupun Pilpres 2024.
Oleh karena itu, terus konsisten melakukan backup kepada Anies ketika diserang lawan politiknya, kemungkinan menjadi investasi politik tersendiri yang ditanamkan PKS demi membuka opsi terbaik bagi kepentingan elektoralnya kelak.
Namun di samping itu, PKS adalah salah satu parpol di Parlemen yang sampai saat ini masih memperjuangkan revisi UU Pemilu, agar Pilkada di tahun 2022 dan 2023 tak dilangsungkan serentak pada tahun 2024 mendatang.
Perjuangan yang kemudian terasa cukup sulit ketika parpol lain seperti Golkar, Nasdem, dan PKB yang tadinya juga mendukung revisi tiba-tiba berubah haluan di tengah jalan, dan membuat “kalender” dan skenario politik yang ada mungkin akan menjadi agak ganjil bagi PKS.
Inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan tersendiri, apakah relasi antara PKS dan Anies ke depannya akan berubah dengan kemungkinan skenario tersebut?
PKS Bisa Ditikung PDIP?
Dengan peta kompetisi ke depan yang cukup tricky, kemungkinan PKS dan Anies pecah kongsi atau berbeda haluan bisa saja terjadi ke depannya. Apalagi ketika terbuka kemungkinan bahwa Anies dapat diusung pihak lain yang tak terduga.
Di awal Februari lalu, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP, Gembong Warsono menyebut, tidak ada yang mustahil dalam politik, termasuk kemungkinan PDIP mencalonkan Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Meskipun akhirnya hal itu langsung Ia klarifikasi bahwa kewenangan ada di sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, probabilitas telah terbuka dan berkaca pada dinamika yang ada sebelumnya memang bukan mustahil hal itu untuk terjadi.
Baca juga: Mungkinkah PDIP Gandeng Anies?
Membahas soal cairnya politik, publik tentu tak menyangka sedikitpun jika Prabowo Subianto yang sebelumnya merupakan rival sejati, akan dirangkul Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan PDIP, serta mendapat jatah Menteri.
Selain itu, Leo Suryadinata, visiting senior fellow di ISEAS Yusof Ishak Institute Singapura dalam Golkar’s Leadership and the Indonesian President menyebut, keputusan Megawati mengusung Jokowi sebagai Capres pada 2014 lalu karena memperhitungkan elektabilitasnya yang tinggi. Keputusan itu terbilang cukup berani karena kala itu terdapat “ketidaksukaan” terhadap eks Wali Kota Solo tersebut di internal PDIP.
Dengan sejumlah faktor seperti elektabilitas Anies yang mumpuni, elektabilitas kader mereka, Risma yang masih berada di belakang sang petahana, plus kerap mendapat bumerang kritik atas aksi blusukannya, faktor-faktor tersebut dapat saja membuat peluang Anies untuk diusung PDIP menjadi terbuka, khususnya di Pilkada DKI Jakarta dengan skenario di tahun 2024.
Berkaca pada Pilkada 2020 lalu, partai banteng juga mengusung sejumlah nama di beberapa daerah yang bukan kadernya sendiri, meskipun keputusan itu menimbulkan gejolak internal. Sebut saja nama Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang tampak memiliki “previlege” tersendiri dengan keunggulan elektabilitasnya.
Jika Anies di menit akhir justru diusung PDIP dan dengan catatan kompetisi terjadi di level Pilgub DKI Jakarta, bukan tidak mungkin PKS akan berhenti menyokong Anies dan mencari alternatif kandidat lain.
Hal tersebut berangkat dari spekulasi pertimbangan bahwa PKS tentu tidak ingin kehilangan segmen pemilih mereka selama ini yang kepalang kontra dengan PDIP dan pemerintah.
Di saat yang sama, hilangnya Anies, meskipun bukan kadernya sendiri bisa saja juga membuat PKS akan kehilangan figur kunci di balik relevansi mereka selama ini. Sebuah ekses minor dari sebuah karakteristik yang dijelaskan Gian Vittorio Caprara dan Philip G. Zimbardo dalam Personalizing Politics: A Congruency Model of Political Preference.
Dalam tatanan politik kontemporer, Caprara dan Zimbardo menyebut terjadi kecenderungan personalisasi politik, yakni ketika publik atau pemilih menjadikan figur sebagai referensi atau acuan untuk memilih parpol.
Ketergantungan pada figur tertentu disebut keduanya dapat menjadi persoalan tersendiri ketika parpol itu tidak memiliki sama sekali figur prominen yang dapat diandalkan.
Bila kemungkinan di atas terjadi, PKS berpotensi mengalami degradasi tersendiri, yang tak hanya nihil calon untuk diusung, tetapi juga bisa kehilangan relevansinya dalam perpolitikan tanah air di saat bersamaan.
Namun sekali lagi, telaah di atas masih sebatas analisa yang tentu kepastiannya masih tak terduga saat ini. Ihwal tak terduga itulah yang membuatnya menjadi akan sangat menarik untuk ditunggu kelanjutannya.
Yang jelas, dengan karakteristik parpol di Indonesia yang cenderung pragmatis, kemungkinan Anies diusung oleh PDIP rasa-rasanya bukanlah suatu hal yang mustahil. (J61)
Baca juga: Menguak Taktik Anies Bila Pilkada Tiada
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut