Kunjungan menteri ke beberapa pesantren mendapat kritikan tajam dari PDIP. Menteri dinilai sudah berlagak telah menjadi presiden. Lantas, mungkinkah kritik itu ditujukan kepada Menteri BUMN Erick Thohir yang kerap melakukan kunjungan ke pesantren. Jika demikian, mungkinkah PDIP terganggu dengan manuver politik Erick?
Beberapa politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyoroti sejumlah menteri kabinet Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap melakukan manuver politik untuk kepentingan mereka pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Junimart Girsang, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP, mengatakan para menteri seharusnya menjalankan tupoksi mereka sebagai pembantu presiden. Baginya, tidak pantas jika menteri yang dipilih oleh presiden memanfaatkan fasilitas menteri untuk kepentingan politik secara pribadi.
Pernyataan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, di mana para menteri seharusnya dipahami sebagai pembantu presiden.
Sehingga, pengangkatan dan pemberhentian menteri yang bergantung pada hak prerogatif presiden, membuat tupoksi menteri hanya untuk mensukseskan agenda besar presiden.
Junimart melanjutkan, bahkan sering kali menteri sudah berlagak seolah telah menjadi presiden. Pernyataan ini ingin menyinggung menteri yang melakukan kegiatan keliling pesantren, sebuah perilaku menteri yang baginya adalah tindakan genit untuk mencari dukungan.
Melihat gestur yang ada, kritik ini tampaknya tertuju kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir karena kerap melakukan kunjungan ke pesantren di Jawa Timur (Jatim). Respons dari pihak Kementerian BUMN juga semakin memperjelas bahwa kritik ini memang ditujukan untuk Erick.
Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN, mengatakan Erick tidak melakukan kampanye saat dirinya melakukan kunjungan ke pondok pesantren di berbagai daerah. Kegiatan Erick dianggap sebagai terjemahan dari perintah Presiden Jokowi yang ingin para menteri tidak hanya bekerja di kantor saja, melainkan juga turun ke lapangan.
Jika memang kritik ini ditujukan untuk Erick, maka terkesan PDIP terganggu dengan manuver politik Erick. Lantas, seperti apa membaca fenomena politik ini?
Strategi Sun Tzu Ala PDIP?
Akrobat politik yang diperlihatkan oleh PDIP dengan cara mengkritik Erick, rupanya mirip dengan salah satu strategi dari pemikir sekaligus seorang ahli perang yang sangat terkenal asal Tiongkok, yaitu Sun Tzu.
Roger Ames dalam bukunya Sun-Tzu The Art of Warfare, memperkenalkan strategi ke-12 dari 36 strategi Sun Tzu, yang berbunyi “mencuri kambing sepanjang perjalanan”. Ungkapan ini dimaksudkan untuk dapat mengurangi kekuatan lawan sepanjang jalan agar dapat memperbesar kemungkinan menang.
Perjalanan menuju Pilpres 2024 memang sudah tidak lama lagi, cara yang paling rasional bagi yang berkompetisi tentunya mengurangi jumlah kompetitor agar dapat memperbesar peluang untuk unggul.
Ames menafsirkan strategi ini sebagai upaya untuk memanfaatkan peluang yang ada semaksimal mungkin. Meski tetap berpegang pada rencana, Sun Tzu menyarankan kita harus fleksibel untuk mengambil keuntungan dari tiap kesempatan yang ada sekecil apapun, termasuk mereduksi jumlah pesaing.
Hingga kini, strategi perang ala Sun Tzu masih menjadi bacaan wajib bukan hanya bagi perwira militer, melainkan juga bagi pelaku bisnis dan para politisi. Kutipan yang mengatakan bahwa menyerang kelemahan lawan adalah salah satu kunci kemenangan, menginspirasi banyak orang untuk dapat menundukkan lawan bahkan sebelum pertandingan dimulai.
Sun Tzu memperkenalkan dua istilah, yaitu Zheng dan Qi sebagai variabel penentu hasil akhir peperangan. Zheng berhubungan dengan serangan frontal kepada musuh yang merupakan strategi ortodoks dalam perang.
Sementara itu, Qi adalah strategi yang unorthodox atau berhubungan dengan pengalihan, permainan psikologis, atau serangan-serangan ke titik lemah lawan. Qi ini yang harus dimainkan dalam perang untuk memperlihatkan fleksibilitas strategi agar dapat membuka peluang kemenangan.
Bahkan Sun Tzu menyimpulkan bahwa mengkombinasikan momentum yang tepat antara Zheng dan Qi, membuat peperangan akan lebih mudah dimenangkan. Catatan sejarah mengungkapkan kemenangan Napoleon Bonaparte hingga Mao Zedong dipelopori oleh penggunaan Zheng dan Qi.
Strategi untuk menyerang titik lemah lawan memang menjadi hal yang intrinsik dari upaya tersebut. Dalam konteks politik jelang Pilpres 2024, menyerang titik lemah lawan ini dilakukan PDIP ketika mengkritik Erick layaknya presiden yang datang ke pesantren-pesantren.
Tentunya sindiran ini merupakan serangan yang punya dampak psikologis. Ungkapan layaknya presiden menggambarkan citra ambisi yang di-framing oleh PDIP. Dan mungkin saja dampak psikologis tidak berpengaruh signifikan tapi dapat memecah fokus Erick.
Jika benar semua manuver Erick berujung sebagai kandidat pada Pilpres 2024, maka kritik PDIP ini sebenarnya hanya ingin “menjauhkan kayu bakar dari tungku masak”, seperti yang ditulisnya dalam strategi chaos Sun Tzu.
PDIP ingin menguras energi Erick dengan cara melemparkan komentar-komentar dengan nada yang menekan. Strategi ini digunakan untuk mengelabui musuh. Ketika musuh terkelabui, pihak lain mencoba untuk mengumpulkan kekuatan baru.
Well, muncul pertanyaan selanjutnya yang menarik untuk disimak, kenapa harus Erick yang menjadi sasaran PDIP?
Erick Merisaukan?
Erick dan Kementerian BUMN belakangan menjadi buah bibir kalangan warganet. Selain itu, nama Erick sendiri selalu muncul dalam ramainya bursa kandidat untuk berkompetisi Pilpres 2024 mendatang. Di sisi lain, BUMN juga dianggap punya prestasi tersendiri di bawah kendali Erick.
Dalam survei Indikator Politik, ketika disimulasikan 12 nama calon presiden dan wakil presiden, Erick berhasil meraih elektabilitas 12,8 persen, bersaing dengan nama-nama yang lebih dulu terjun ke dunia politik, seperti Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Sementara dalam survei Populi Center, elektabilitas Erick meraih 27,5 persen. Angka tersebut menyaingi sang penerus estafet kepemimpinan PDIP, Puan Maharani dengan elektabilitas sebesar 17,5 persen.
Sebagian pengamat menilai faktor yang mendorong elektabilitas Erick dapat meningkat signifikan disebabkan capaian dan keberhasilan yang diraihnya bersama Kementerian BUMN. Sederet prestasi Erick membuatnya dikenal tidak saja sebagai seorang pebisnis dan eks pemilik Inter Milan, melainkan seorang visioner dalam mengeksekusi pekerjaan di BUMN.
Kementerian BUMN di bawah Erick Thohir berhasil mencatatkan sejumlah prestasi gemilang, seperti kontribusi pada negara yang mencapai sekitar Rp375 triliun di 2020, hingga berhasil catatkan laba bersih sebesar Rp61 triliun di kuartal ke-3 tahun 2021.
Tak hanya mencetak keuntungan bagi BUMN, Erick juga berhasil menuntaskan kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang lama menggantung dan membuat polemik berkepanjangan. Erick juga tercatat melaporkan dugaan korupsi di Garuda Indonesia, sebuah terobosan menteri yang dipuji banyak pihak.
Bahkan tren elektabilitas Erick yang mengalami kenaikan, ditafsirkan sebagai sebuah bentuk kesiapan untuk melanjutkan estafet sebagai the next Jokowi. Di sinilah titik “kerisauan” itu bermula, ketika Erick masuk menjadi kandidat, maka secara bersamaan akan menjadi pesaing kompetitor lain, yang juga berasal dari PDIP.
Mungkin wajar untuk berpendapat bahwa PDIP cukup risau dengan manuver Erick. Karena seperti yang diketahui, PDIP juga mempunyai kandidat yang akan diusung pada Pilpres 2024 mendatang, yaitu Puan Maharani.
Erick muncul sebagai kandidat yang bagi sebagian pengamat hampir tanpa celah. Bahkan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan sempat mengatakan, ada tiga jenis orang yang sulit untuk dilawan, yaitu seorang atasan, seseorang yang punya kekayaan, dan terakhir “orang gila”. Bagi Dahlan, Erick mempunyai ketiga-tiganya.
Dahlan menyebut, kekayaan Rp2,3 triliun menjadi modal kuat bagi Erick. Selain memiliki prestasi dan kinerja bagus di kementerian yang dipimpinnya, Erick juga punya kedekatan dengan Presiden Jokowi.
Mungkinkah semua alasan ini juga yang dipikirkan oleh PDIP? Mungkin waktu yang akan mengungkapkan realitas politik ini. (I76)