Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Kontradiksi saat PDIP yang diprediksi hattrick kemenangan di Pemilu Legislatif 2024, namun Ganjar Pranowo dan Mahfud MD kemungkinan menjadi “juru kunci” di ajang Pilpres, menimbulkan tanya tersendiri. Lantas, mengapa hasil kontras itu bisa terjadi?
“Agak anomali ya dengan suara saya?” Begitu ucap calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo yang mungkin sulit untuk menerima hasil quick count Pilpres 2024. Terlebih, saat kemudian mengetahui bahwa partai utama pengusungnya, yakni PDIP kemungkinan besar akan menjadi pemenang di ajang Pemilu Legislatif.
Hingga hari ini, semua lembaga survei kredibel telah merilis hasil hitung cepat atau quick count Pilpres 2024. Hasilnya, duet Ganjar-Mahfud MD berada di urutan terakhir dengan kisaran suara 16 persen.
Padahal, jika rewind enam bulan ke belakang, elektabilitas Ganjar di beberapa penggalan waktu dari beberapa hasil survei berada di rentang 25 hingga 37 persen.
Ekspektasi akan hasil terbaik pun meningkat, saat sosok dengan reputasi mumpuni di blantika politik dan pemerintahan tanah air, Mahfud MD ditunjuk sebagai calon wakil presiden (cawapres) Ganjar pada Oktober 2023.
Kembali, kontradiksi kiranya tinggal menunggu waktu saat Ganjar akan menjadi “pecundang”, sementara PDIP menjadi jawara di kontestasi elektoral serentak 2024.
Pertanyaan besar yang mengemuka dari fenomena tersebut kemudian hadir, utamanya bagi mereka yang berada di internal koalisi Ganjar-Mahfud, yakni mengapa hasil kontras PDIP dan Ganjar-Mahfud bisa terjadi?
PDIP Setengah Hati?
Split-ticket voting, menjadi teori yang kiranya dapat menjawab kontradiksi hasil sementara yang diperkirakan menjadi nyata dari Ganjar-Mahfud dan PDIP.
Secara sederhana, split-ticket voting menjelaskan bahwa konstituen atau pemilih sebuah parpol tidak otomatis memilih capres maupun cawapres yang diusung entitas politik yang sama.
Pasca Reformasi, fenomena ini telah dialami Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi), namun dengan hasil kemenangan bagi keduanya.
Pada tahun 2004, Partai Demokrat sebagai pengusung utama SBY yang menjadi pemenang Pilpres, hanya merengkuh 7,45 persen suara dan berada di urutan kelima.
Serupa dengan SBY, gabungan perolehan suara koalisi parpol pengusung Jokowi-Jusuf Kalla (JK) di Pilpres 2014 hanya meraih 39,97 persen suara. Hasil itu berbanding terbalik dengan koalisi pengusung Prabowo-Hatta Rajasa yang mendapatkan 48,93 persen suara.
Selain itu, satu hal yang perlu dipahami adalah logika organisasi – dalam hal ini parpol – memiliki perbedaan dengan logika individu. Presumsi ini disiratkan Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul State-Building: Governance and World Order in the 21st Century.
Berkaca pada pemikiran cendekiawan politik Amerika Serikat (AS) Herbert Simon tentang teori satisficing atau keterpuasan, Fukuyama menjelaskan bahwa tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, tetapi muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi para pelaku organisasi.
Menurut Fukuyama, hal itu bisa terjadi karena rasionalitas terbatas dari para individu-individu dalam organisasi. Kecenderungan itu tidak lain disebabkan oleh individu yang cenderung memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa.
Apa yang dikemukakan Fukuyama mungkin telah dipahami PDIP sejak awal mengusung Ganjar sebagai capres.
Interpretasi itu berangkat dari tiga hal yang saling terkait, yakni martabat PDIP yang tak pernah absen mengusung capres pasca Reformasi, ketiadaan opsi lain yang bisa memberikan – setidaknya – sedikit perlawanan bagi Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, serta ajang legislatif yang memang menjadi prioritas utama semua parpol. Apalagi, dalam logika dan kalkulasi PDIP sebagai pemenang di dua ajang pemilu sebelumnya.
Impresi dukungan “setengah hati” PDIP kemudian mengemuka saat mengacu pada apa yang dikemukakan Fukuyama. Analis politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin pun memiliki analisis serupa.
Menurutnya, PDIP kemungkinan tak ingin kalah di dua ajang sekaligus. Dan dalam hal ini, tampak lebih mengaktualisasikan strategi mengamankan pemilihan legislatif.
Komposisi dan situasi parpol koalisi Ganjar-Mahfud juga agaknya memiliki logika dan perbedaan intensi masing-masing. Plus, tak menutup kemungkinan eksistensi persepsi berbeda di antara mereka sendiri.
Selain PDIP, PPP kiranya juga lebih memprioritaskan legislatif di tengah hantu prediksi tak lolos parlemen untuk pertama kalinya sejak didirikan pada tahun 1973.
Partai Hanura dan Partai Perindo pun kiranya melakukan hal serupa, untuk tak hanya sekadar mencari coattail effect atau efek ekor jas dari Ganjar-Mahfud yang mungkin telah dipahami bahwa hasilnya tak akan seberapa.
Dengan kata lain, tiga interpretasi di atas tampaknya memang memiliki relevansi tersendiri.
Lalu, terdapat beberapa interpretasi lain yang saling terkait dan kiranya membuat kontradiksi hasil Ganjar-Mahfud dan PDIP bisa terjadi. Apakah itu?
Jokowi Ubah Segalanya?
Di ajang Pemilu Legislatif 2024, PDIP diprediksi menjadi pemenang dengan kisaran perolehan suara 15 sampai 17 persen.
Kendati lebih buruk jika menengok edisi 2019 saat meraih 19,33 persen, hasil itu tetap saja menjadi “prestasi” tersendiri di tengah gempuran isu minor ke partai berlambang banteng.
Ya, di ajang pesta demokrasi 2024, PDIP seakan tak henti-hentinya mendapat sentimen negatif. Mulai dari kader korupsi, parpol yang dianggap tak lagi merepresentasikan wong cilik, hingga yang terbesar adalah manuver Jokowi dan trahnya yang tak selaras dengan PDIP.
Bahkan, PDIP seakan dikhianati oleh kader-kader terbaiknya seperti Budiman Sudjatmiko, Effendi Simbolon, serta Maruarar Sirait yang memilih mendukung Prabowo-Gibran.
Sekali lagi, hasil di 2024 membuktikan bahwa kinerja mesin politik PDIP untuk mempertahankan loyalis PDIP dan Megawati di akar rumput tampak lebih besar. Sekali lagi, loyalis PDIP dan Megawati, bukan Ganjar.
Gestur dukungan Jokowi ke Prabowo-Gibran yang menjadi faktor saling terkait tentu meninggalkan kesan janggal bagi loyalis mereka.
Maka dari itu, penggerak mesin politik PDIP kiranya memahami jika positioning Ganjar-Mahfud yang seolah berusaha berbeda dan menjadi antitesis pemerintahan Jokowi terlalu membingungkan untuk “dijelaskan” kepada konstituen loyal mereka.
Faktor kekalahan Ganjar-Mahfud lain yang tak terkait langsung dengan kontradiksi torehan PDIP pun hadir di meja analisis.
Kubu Ganjar-Mahfud seolah tak cukup lihai menutup aib politik dibanding kubu lawan yang juga memilikinya.
Aib seperti isu korupsi e-KTP, pembatalan Piala Dunia U-20, hingga isu agraria dan HAM di Wadas serta Kendeng “hanya” ditutupi gimik dan kampanye-kampanye kreatif yang terkesan copy-paste dari kubu Anies-Imin.
Satu hal lain yang tak bisa dipungkiri adalah lawan Ganjar-Mahfud di ajang Pilpres 2024 yang terlalu kuat. Prabowo-Gibran dengan logistik, komposisi koalisi, dan mesin politik paling prima, serta Anies-Imin dengan narasi orisinil “perubahan” dan kampanye out of the box yang lebih disukai, terutama di media sosial.
Di titik ini karier politik Ganjar berikutnya menjadi pertanyaan menarik. Yang jelas, keputusan PDIP untuk menjadi oposisi atau bergabung ke pemerintah, serta potensi regenerasi internal bisa jadi menjadi determinan penentu kiprah Ganjar yang seolah “dibiarkan” kalah oleh PDIP. (J61)