Site icon PinterPolitik.com

PDIP-NasDem Perebutkan Jokowi?

PDIP-NasDem Perebutkan Jokowi?

Presiden Joko Widodo bersama dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (Foto: ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA)

Intrik antara PDIP-NasDem terus memanas bahkan ekskalasinya kian meningkat. Terlebih pada saat momentum pertemuan antara Jokowi dan Surya Paloh di kantor NasDem. Alhasil, peristiwa tersebut menuai reaksi miring dari PDIP, mengingat Presiden Jokowi masih merupakan kader partai berlambang banteng tersebut. Lantas mengapa kedua partai ini terus saling serang terutama pasca pertemuan Jokowi dan Surya Paloh?


PinterPolitik.com

Pertemuan antara Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh rupanya menuai perhatian publik. Keduanya memperlihatkan keakraban layaknya ‘saudara’ yang memiliki hubungan yang romantis. Hal tersebut terlihat dari kedua tokoh yang saling melempar pujian dan sanjungan, bahkan Jokowi sempat menyebut Surya Paloh sebagai sahabat dan saudaranya.

Begitu pula dengan Surya Paloh memberikan kesempatan bagi Jokowi untuk ‘menjajal’ kursi Ketua Umum Partai NasDem dan memberikan kartu anggota perpustakaan untuk dua cucu Jokowi, yaitu Jan Ethes dan Sedah Mirah.

Romantisme antar keduanya ternyata menjadi sorotan khususnya bagi partai pengusung Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019, yakni PDIP. Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira menilai momentum tersebut dengan komentar miring. Ia mempertanyakan keputusan Surya Paloh yang mempersilakan Jokowi duduk di kursinya sekaligus memberikan saran supaya NasDem lebih baik fokus untuk mendukung pemerintahan Jokowi hingga selesai.

Terlepas dari intrik antara kedua partai ini, memang sosok Presiden Jokowi masih populer di tengah masyarakat. Terbukti dari beberapa lembaga survei yang mempublikasikan jika elektabilitas Jokowi masih mendominasi bursa capres menjelang Pilpres 2024. Survei Litbang Kompas menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencapai 73,9 persen. Angka ini meningkat dari 66,4 persen dibandingkan survei pada Oktober 2021 lalu.

Sementara lembaga survei lain seperti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengemukakan jika tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo mencapai 71,7 persen. Lembaga survei Indikator Politik Indonesia pun juga mempublikasikan hasil survei yang hampir serupa, yaitu 70 persen masyarakat puas terjadap kinerja Jokowi. Adapun kepuasan masyarakat ini tidak lepas dari sejumlah kebijakan yang diterapkan selama menangani pandemi Covid-19.

Kepuasan masyarakat tidak hanya diperlihatkan melalui hasil survei, namun juga dari munculnya wacana presiden 3 periode. Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menilai mayoritas masyarakat masih mendorong Jokowi untuk menjadi capres di 2024 mendatang meski secara konstitusi tidak dapat dilakukan. Jika mengacu pada kondisi ini, terlihat antusiasme terhadap Jokowi masih cukup tinggi.

Namun, dengan adanya konstitusi membuat Presiden ke-7 RI ini tidak bisa kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Maka tidak heran jika popularitas seorang Jokowi kian diperebutkan oleh partai politik termasuk PDIP dan NasDem.

Lantas dengan adanya pertemuan antara Jokowi dengan Surya Paloh beberapa waktu lalu, apakah itu membuat intrik antara PDIP dan NasDem semakin memanas?

Puncak Konflik?

Perseteruan antar kedua partai politik ini sepertinya semakin memanas daripada sebelumnya. Intrik yang terjadi antara PDIP dan NasDem awalnya bermula dari isu perekrutan kader PDIP oleh NasDem. Tindakan ini ternyata sangat berpengaruh terhadap hubungan dua petingginya, yaitu Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh. Hal ini terlihat jelas saat momentum rapat paripurna pelantikan anggota DPR/MPR/DPD pada tahun 2019 lalu ketika Megawati tidak menyalami Surya Paloh.

Berbagai spekulasi bermunculan dan isu yang berhembus adalah seputar perekrutan kader PDIP oleh NasDem. Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai jika Megawati kecewa karena banyak kepala daerah dari PDIP yang pindah ke NasDem. Tercatat beberapa kader yang berpindah dari PDIP ke NasDem, mulai dari anggota DPRD hingga Gubernur. Pada tahun 2018, misalnya, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan berpindah ke partai pimpinan Surya Paloh tersebut.

Jika melihat fenomena ini, tidak heran jika PDIP dan NasDem terlibat dalam ‘perang dingin’ yang berkepanjangan. Gesekan antar keduanya bisa semakin tajam dengan adanya pertemuan antara Jokowi dan Surya Paloh karena mantan Wali Kota Solo ini merupakan kader dari PDIP. Tindakan yang dilakukan oleh NasDem ini ternyata langsung menuai reaksi dari partai pengusung Jokowi, yakni PDIP.

Karena salah satu kader terbaiknya, yaitu Jokowi yang saat ini menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia didekati oleh partai NasDem, maka tidak heran jika PDIP segera bereaksi melihat hal tersebut. Hubungan kedua partai kian panas dan pertemuan antara Jokowi dan Surya Paloh ini bisa menjadi momentum berakhirnya hubungan baik antar kedua partai tersebut. Layaknya sebuah perang, kedua partai ini tengah berperang secara tidak langsung atau disebut juga sedang menerapkan perang psikologis.

Dalam tulisan berjudul Psychological Warfare: Call out Adversaries’s Designs karya V.K Ahluwalia, dijelaskan bahwa psychological warfare atau perang psikologis merupakan sebuah pilihan dalam berperang untuk mempengaruhi lawan sehingga pihak lawan akan bereaksi. Respons dari pihak lawan diharapkan bisa sesuai dengan keinginan subjek yang hendak melakukan perang psikologis. Hal ini pun sesuai dengan postulat Sun Tzu dalam bukunya yang berjudul The Art of War, yaitu menundukkan tanpa sekalipun bertempur adalah yang terbaik.

Perang psikologis antar kedua partai ini tidak hanya tersaji pada momentum pertemuan antara Surya Paloh dan Jokowi di kantor NasDem. Tercatat sudah beberapa kali kedua partai saling lontarkan pernyataan terkait manuver politik yang mereka lakukan. Misalnya saat Surya Paloh merangkul Presiden PKS Sohibul Iman yang akhirnya menuai reaksi dari Presiden Jokowi. Alhasil pernyataan Jokowi dibalas oleh Paloh dalam pidato di Kongres II Partai NasDem.

Tidak hanya itu, manuver perang psikologis juga dilancarkan NasDem ketika menyatakan dukungannya terhadap Anies Baswedan untuk maju dalam Pilpres 2024 mendatang. Momentum ini pun menuai reaksi dari PDIP yang menyebut jika partai koalisi Jokowi-Ma’ruf itu memiliki agenda sendiri. Saling tuding menuding antar kedua partai ini memperlihatkan sebuah perpisahan bisa menjadi jalan yang dipilih menjelang kontestasi politik tahun 2024. Lantas mengapa meski terus melakukan perang psikologis, NasDem tidak ragu mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi yang notabene adalah kader PDIP?

Butuh Endorsement Jokowi?

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mengemukakan jika partainya sudah memiliki kandidat untuk capres di 2024. Setidaknya ada tiga nama yang akan disiapkan untuk maju oleh NasDem, namun belum bisa dipastikan dengan jelas. Konvensi partai yang bertujuan untuk menyaring kader-kader dari berbagai latar belakang juga masih menemui hambatan di berbagai faktor sehingga pelaksanaannya pun masih tentatif.

Meski belum jelas, komitmen NasDem untuk terus mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi tetap konsisten hingga menjelang 2024. Tampaknya NasDem ingin mengulang keberhasilannya ketika menjadi partai pertama yang mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi di Pilpres 2014. Gerak cepat ini membuahkan hasil. Pada 16 Juli 2019, Surya Paloh menyatakan jika partainya mampu mendapatkan 59 kursi karena dukungan Jokowi.

Tampaknya keberhasilan ini ingin kembali diulang menjelang momentum Pilpres 2024 mendatang. Efek ekor jas yang disebabkan oleh figur Jokowi tampaknya dilihat sebagai peluang bagi NasDem, khususnya sebagai pendorong elektabilitas bagi kandidat capres yang hendak diusung. Endorsement atau promosi yang didukung oleh sosok Jokowi dinilai mampu menggerakkan masyarakat untuk mendukung capres yang diusung NasDem.

Hal ini bisa dijelaskan melalui konsep political marketing dalam buku berjudul Political Marketing As Party Management-Thatcher karya Jennifer Lees-Marshment. Intinya bagaimana cara untuk memenuhi kepuasan pemilih sehingga bisa meraup dukungan. Hal ini bisa direalisasikan jika melihat elektabilitas Jokowi yang masih tinggi.

Sama halnya dengan buku berjudul Political Marketing: An Approach to Campaign Strategy karya Gary Mauser yang menjelaskan jika konsep pemasaran politik merupakan cara untuk memengaruhi perilaku massa atau publik dalam situasi yang kompetitif. Maka wajar saja jika NasDem tidak perlu berlama-lama mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi. Harapannya, pengaruh Jokowi bisa memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perolehan suara Partai NasDem, baik di pemilihan legislatif maupun eksekutif.

Jika melihat tren Partai NasDem yang selalu menjadi yang terdepan mendukung Jokowi setiap menjelang kontestasi politik, bukan tidak mungkin ini juga manuver yang sama untuk mendongkrak elektabilitas, khususnya bagi kandidat capres yang diusung NasDem. Fenomena ini menarik untuk terus diikuti kelanjutannya. (G69)

Exit mobile version