Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Nama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tersebut dalam proses pengungkapan kasus rasuah lahan Rusun Cengkareng, Jakarta Barat di era pemeritahannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal ini menyingkap sederet elite PDIP dalam pusaran kasus rasuah signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Terlebih, pasca Presiden Prabowo menyiratkan soliditasnya dengan Joko Widodo (Jokowi). Mungkinkah ini tanda kejatuhan PDIP?
Elite PDIP seolah berada dalam radar aparat penegak hukum rasuah setelah mantan Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi yang merupakan kader partai banteng menyebut nama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kasus korupsi lahan Rusun Cengkareng, Jakarta Barat.
Prasetyo menyampaikannya dalam kapasitas sebagai saksi dan memenuhi panggilan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri.
Well, belakangan ini, dalam lanskap politik Indonesia yang kompleks, berbagai peristiwa korupsi dan dinamika hubungan antar elite politik terus mewarnai pemberitaan.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh penting, seperti Ahok dan sejumlah elite PDIP menjadi sorotan utama.
Di sisi lain dan di saat yang sama, hubungan antara Presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan kekompakan yang semakin solid, membantah tegas isu keretakan hubungan keduanya terhadap proyeksi relasi Prabowo dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri.
Kembali ke Ahok, kasus korupsi pengadaan lahan untuk pembangunan rumah susun (rusun) terlacak pada tahun 2015 saat dirinya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pengadaan lahan seluas 4,69 hektare dan 1.137 meter persegi ini melibatkan anggaran sebesar Rp668 miliar.
Namun, belakangan terungkap bahwa sertifikat hak milik lahan tersebut diduga hasil rekayasa, sehingga lahan tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemerintah.
Penyelidikan oleh Bareskrim Polri menetapkan dua tersangka, yaitu Sukmana, mantan Kepala Bidang Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dinas Perumahan DKI Jakarta, dan Rudy Hartono Iskandar dari pihak swasta.
Prasetyo sendiri mengatakan bahwa Ahok yang tengah bersitegang dengan DPRD kala itu, tak mau โberkompromiโ dan langsung mengeksekusi proyek melalui peraturan gubernur (pergub). Sesuatu yang secara logika politik hukum kiranya cukup untuk โdimainkanโ serta menyeret Ahok.
Case ini, memantik satu pertanyaan menarik mengenai apa yang kemungkinan terjadi dan bagaimana dinamika kasus yang menghantui elite PDIP memengaruhi politik-pemerintahan saat ini?

Wayahe PDIP?
Selain kasus Cengkareng, sejumlah elite PDIP juga terseret dalam berbagai dugaan korupsi, baik dalam radar Polri, KPK, maupun Kejaksaan.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, menghadapi praperadilan yang akhirnya tidak diterima oleh pengadilan dalam kasus Harun Masiku โyang kok gak kelar-kelar, belom juga ketemuโ.
Di Semarang, Wali Kota Hevearita Gunaryanti Rahayu dan mantan Wali Kota Hendrar Prihadi diduga terlibat dalam pusaran intrik permufakatan demi kepentingan kelompok di Balai Kota.
Isu penjualan gas alam cair (LNG) dengan harga murah ke pihak asing pada era Presiden Megawati Soekarnoputri juga kembali mencuat, terutama setelah polemik mengenai gas LPG bersubsidi 3 kg.
Bersamaan dengan berkembangnya kasus tersebut, hubungan antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi justru membantah segala keraguan atas isu perpecahan kongsi.
Konsep sirkulasi elite yang diperkenalkan oleh Vilfredo Pareto menggambarkan bagaimana pergantian dan perputaran elite dalam struktur kekuasaan terjadi secara alami.
Namun, dalam konteks di atas, proses politik-hukum yang โalamiโ pun bisa bermakna simpul ganda yang mana pergantian elite yang berkuasa begitu kompleks.
Dinamika semakin kompleks dengan adanya triangle interest complexity yang melibatkan Jokowi, Prabowo, dan Megawati Soekarnoputri beserta PDIP.
Dalam proses politik yang paralel, upaya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan politik tentu menciptakan multi interest complexity yang memengaruhi perumusan skenario dan stabilitas politik di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Di titik ini, siklus berganti dan angin politik berhembus seperti sedia kala saat PDIP seolah mengalami apa yang pernah dialami Partai Demokrat saat elite mereka tersandung kasus rasuah setelah tak lagi berkuasa.
Lalu, dengan kondisi saat ini, bagaimana proyeksi relasi di antara Presiden Prabowo, Jokowi, dan Megawati plus PDIP?

PDIP Diulur Dulu?
Melihat dinamika yang ada, spekulasi mengenai eksistensi upaya untuk mengendalikan posisi politik PDIP melalui penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan kadernya seolah tak bisa dibendung dalam ruang diskursus yang begitu bebas.
Tak hanya tentang pengaruh Jokowi, pertemuan antara Prabowo dan Megawati yang belum juga terlaksana agaknya dapat diinterpretasi sebagai deadlock yang bermuara pada strategi untuk menjaga PDIP tetap berada di luar lingkaran kekuasaan, namun tetap bersikap kooperatif dan mendukung pemerintah tanpa menimbulkan gejolak politik yang tidak perlu.
Relasi antara Megawati dengan Prabowo maupun Jokowi akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan proses hukum terhadap Hasto Kristiyanto dan dinamika kasus yang melibatkan Ahok.
Selain itu, sejauh mana isu penjualan LNG di era Megawati โdigorengโ kembali juga menjadi faktor penentu dalam hubungan antar elite ini. Kasus lain, seperti yang melibatkan Happy Hapsoro, suami dari Puan Maharani, juga bukan tidak mungkin memengaruhi konstelasi politik ke depan.
Dinamika politik Indonesia belakangan ini ditandai oleh kompleksitas hubungan antar elite dan berbagai kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh penting.
Stabilitas dan reputasi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka mengelola hubungan dengan PDIP dan bagaimana berbagai kasus hukum terkait yang mencuat berproses. (J61)