Dengarkan artikel berikut
Sinyal bergabungnya PDIP ke koalisi pemerintahan baru tampak semakin kuat. Akankah ini melahirkan guncangan baru bagi koalisi tersebut?
Angin-angin PDIP bergabungnya dengan pemerintahan Prabowo-Gibran tampak semakin kuat setiap harinya.
Kita soroti saja pernyataan-pernyataan publik yang belakangan dilakukan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani. Selain kerap beri komentar positif soal wacana pertemuan Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, Puan juga belakangan memberi sinyal akan ada dua kader PDIP yang bakal bergabung kabinet Prabowo.
Yess, kendati sempat berada di kubu yang berseberangan dan memiliki tensi yang begitu tinggi antar satu sama lain, PDIP pada akhirnya terlihat rela bergabung dengan Prabowo, walaupun memiliki luka lama dengan orang yang juga dianggap satu kubu dengan Prabowo, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menariknya, meskipun bergabungnya PDIP ke pemerintahan Prabowo terdengar seperti konklusi akhir dari suatu pertikaian politik yang panjang, sebagian orang berpandangan bahwa kenyataannya tampaknya tidak akan semudah itu. Sebagai hal yang terus dinamis, perselisihan politik antar para elite justru bisa saja semakin rumit di dalam koalisi yang begitu besar.
Maka dari itu, muncul dua pandangan soal masa depan koalisi pemerintah jika PDIP bergabung: apakah PDIP akan jadi pengguncang stabilitas politik, atau justru sebaliknya?
Yuk, kita bahas sama-sama.
Bisa Terjadi Badai Besar?
Satu hal yang menarik terkait konstelasi politik negara seputar PDIP adalah, sejak belasan tahun terakhir partai yang dipimpin oleh putri Presiden Soekarno tersebut hampir selalu menjadi “ketua” tidak resmi dari koalisi yang diikutinya. Saat tahun 2004, PDIP bahkan mengusung Megawati sebagai calon presiden (capres), lalu pada tahun 2014 hingga 2024 PDIP menjadi partai dengan kursi terbanyak di DPR dan jabatan menteri.
Menariknya, sebuah partai yang sudah lama menjadi yang paling dominan, ada kecenderungan membawa ambisi untuk kembali dominan ketika ia berada di sistem yang membuatnya didominasi.
Argumen ini bisa kita bahas dari teori dominasi partai dari G. Bingham Powell Jr., dalam bukunya Contemporary Democracies: Participation, Stability, and Violence. Di dalam bukunya ini, Powell mencatat bahwa partai-partai dengan pengalaman dominan akan memiliki dorongan psikologis untuk dapat selalu mempengaruhi sistem.
Sebagai partai terbesar, PDIP mengandalkan psikologi dominasi internal yang tumbuh dari budaya sukses politiknya. Kader dan elit partai terbiasa berada dalam posisi pengambil keputusan utama. Ini menimbulkan ekspektasi yang tinggi dari para anggota partai, yang mungkin sulit untuk menerima posisi yang lebih rendah dalam koalisi.
Jika PDIP harus menyesuaikan diri menjadi “mitra junior” dalam koalisi, resistensi internal dari para elit yang terbiasa memegang kendali bisa muncul. Kekecewaan ini dapat menciptakan ketegangan internal dalam partai, terutama jika ada kekhawatiran bahwa posisi subordinat akan mengurangi akses mereka terhadap kekuasaan dan sumber daya politik di masa depan.
Secara psikologis, sulit bagi partai yang telah lama dominan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan baru bahwa mereka bukan lagi pusat dari kekuatan politik. Partai seperti PDIP mungkin mengalami “loss aversion“—kecenderungan untuk lebih takut kehilangan posisi yang telah diperoleh daripada senang dengan apa yang mungkin didapat dari posisi baru.
Terlebih lagi, PDIP sendiri memiliki rekam jejak perselisihan dengan beberapa anggota koalisi pemerintah lainnya, seperti Partai Demokrat, PKS, dan yang utama, tentunya kepada Jokowi dan para loyalisnya.
Kendati demikian, kenyataannya sampai saat ini para elite partai tampak tidak menunjukkan penolakkan atas narasi bergabungnya PDIP. Kira-kira kenapa alasannya?
Justru Angin Sepoi-sepoi di Koalisi?
Kalau kita ingin memetakan situasi politik dalam koalisi pemerintah, kita akan menyadari bahwa mungkin alasan untuk perselisihan dengan PDIP sejujurnya hanya ada di segelintir pihak saja. Pertama, adalah para loyalis Jokowi, kedua, adalah dengan PKS dan partai-partai kecil yang tidak merasa pernah diuntungkan oleh PDIP.
Sementara itu, partai-partai besar seperti Golkar, Demokrat, Nasdem, ataupun PKB tampaknya tidak memiliki alasan yang kuat untuk memusuhi PDIP. Memang, dari level personal elitenya, partai-partai tersebut tampak pernah berseberangan dengan PDIP, namun ketika sudah berbicara tentang kepentingan pragmatis bersama, sepertinya perbedaan tersebut bisa dikesampingkan.
Menariknya, fenomena ini mungkin bisa sedikit lebihnya dijelaskan melalui teori interdependensi, atau teori ketergantungan satu sama lain. Teori ini menjelaskan bagaimana aktor-aktor dalam sistem politik atau sosial saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan mereka.
Dalam konteks koalisi politik, teori ini memberikan wawasan tentang bagaimana hubungan antara partai-partai dalam koalisi dapat mempengaruhi dinamika politik dan keputusan bersama.
Dalam konteks berkoalisi, ketika partai-partai menyadari bahwa keberhasilan mereka bergantung pada kolaborasi, mereka lebih cenderung untuk bekerja sama. PDIP mungkin merasa bahwa, untuk mencapai tujuannya, mereka perlu menjaga hubungan baik dengan partai-partai lain dalam koalisi. Di sisi PDIP, jika mereka memahami bahwa keberhasilan kebijakan tertentu akan menguntungkan semua anggota koalisi, mereka mungkin bersedia untuk berkompromi dalam beberapa aspek untuk mencapai kesepakatan yang lebih luas.
Dalam aspek keamanan hukum pun konstelasi politik yang demikian dinilai bisa lebih diidamkan oleh semua pihak. Prof. Mahfud MD, pernah mengatakan bahwa hukum merupakan sebuah alat politik, maka dari itu, ketika tidak ada pihak yang merasa terancam akan satu sama lain, maka tentunya tendensi politisasi hukum sebagai alat politik pun bisa berkurang.
Pada akhirnya, tentu semua argumen di atas hanyalah asumsi belaka atas konstelasi politik yang dalam waktu dekat tampak akan menjadi lebih menarik. Yang jelas, at the end of the day, semua partai politik akan mengutamakan survivability mereka masing-masing, dan dengan bersatu di satu koalisi, mungkin tujuan ini bisa diamankan. (D74)