HomeNalar PolitikPDIP Dendam dengan Demokrat-PKS?

PDIP Dendam dengan Demokrat-PKS?

Baru-baru ini PDIP kembali menuai sorotan karena disebut tidak akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS di Pilkada 2020. Lantas, apakah terdapat dendam yang melatarbelakangi hal tersebut? Atau justru, ini adalah perkara ideologi?


PinterPolitik.com

Terdapat suatu adagium lumrah yang kerap kita dengar perihal politik. “Tidak ada musuh atau teman yang abadi dalam politik”. Begitulah kira-kira bunyi adagium tersebut. Adagium ini pula yang turut membentuk persepsi serta aktivitas politik untuk bergerak di atas roda oportunistis atau pragmatis. Politik adalah logika kekuasaan. Begitu singkatnya.

Akan tetapi, bagaimana jika penjelasan oportunistis semacam itu tidak berlaku? Dalam hal ini, ideologi sepertinya dapat menjadi bantahan tersendiri. Dalam sejarah umat manusia, pertengkaran ideologi adalah fenomena lumrah, yang sekaligus menjadi pembeda diri dengan yang lainnya.

Pertengkaran berbasis ideologi tersebut boleh jadi tengah atau akan terjadi di politik Indonesia. Bagaimana tidak, baru-baru ini Ketua Dewan Pimpinan Pusat DPD PDIP Djarot Saiful Hidayat menegaskan bahwa dirinya banyak menerima aspirasi agar partai banteng tidak berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS di Pilkada 2020. Menariknya, Djarot juga menyinggung perkara ideologi yang disebut menjadi dasar pertimbangan dan keputusan partai.

Mudah ditebak, PDIP kemudian memberikan klarifikasi. Wakil Bendahara Umum PDIP, Rudianto Tjen menyebutkan bahwa partai banteng terbuka berkoalisi dengan siapapun untuk meraih kemenangan, termasuk dengan Demokrat dan PKS.

Kendati telah ada klarifikasi, Djarot justru tetap mempertahankan pernyataannya. Rekan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok ketika memimpin DKI Jakarta ini menegaskan bahwa secara fakta di lapangan, memang sulit berkoalisi dengan Demokrat dan PKS.

Menjadi menarik kemudian untuk diulik. Mungkinkah pertengkaran ideologi antar partai seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS) antara Partai Demokrat dengan Partai Republik akan terjadi pada kasus PDIP dengan Demokrat dan PKS?

Apa itu Ideologi?

Membahas ideologi, banyak dari kita mungkin mengasosiasikannya dengan prinsip seperti “pokoknya saya membela rakyat kecil”, “saya tidak ingin disuap”, dan berbagai pernyataan moralis serupa. Kendati memiliki derajat kebenarannya, asosiasi semacam itu agaknya terlalu prematur untuk menggambarkan ideologi. Pernyataan-pernyataan tersebut sekiranya lebih tepat disebut sebagai prinsip keadilan atau kejujuran.

John Levi Martin dari University of Chicago, dalam tulisan yang berjudul What Is Ideology?, menerangkan bahwa sampai saat ini tidak terdapat definisi tunggal atau universal untuk menerangkan ideologi. Untuk mengatasi masalah ini, posisi epistemologis yang disebut dengan nominalisme kemudian dijadikan sebagai solusi. Nominalisme sendiri adalah pandangan filosofis yang menolak objek-objek abstrak dan/atau hal-hal universal.

Baca juga :  Megawati Not Fit or No Money?

Di sini, penerapan nominalisme dimaksudkan untuk mengembalikan definisi ideologi bergantung pada konteks apa ideologi dijelaskan. Dengan kata lain, ideologi harus ditempatkan sebagai umbrella term atau istilah yang memayungi berbagai aspek. Ideologi ekonomi misalnya, ini adalah domain yang membahas posisi moral terkait bagaimana ekonomi harus disusun atau bekerja. Sementara, ideologi politik adalah posisi moral yang menjelaskan bagaimana masyarakat harus bekerja, atau bagaimana tatanan sosial dan politik harus dibentuk.

Kendati nominalisme dipandang sebagai jawaban, Martin juga menyebutkan bahwa penjelasan umum yang merangkum unsur-unsur utama ideologi masih dilakukan. Pada konteks ini, ideologi kemudian jamak dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan yang dimiliki individu atau kelompok yang mendorong mereka mengambil posisi atau keputusan tertentu.

Demokrat vs Republik

Contoh paling gamblang dalam menerangkan ideologi sebagai penentu kebijakan dapat dilihat dalam politik AS yang mempertontonkan seteru antara Partai Demokrat dengan Partai Republik.

Dalam tatanan politik, Republik mendukung pemerintah federal dengan wewenang terbatas dan pemerintah negara bagian yang kuat. Sedangkan Demokrat justru percaya pada wewenang pemerintah federal yang lebih besar.

Dalam tatanan ekonomi, Republik percaya pada pertumbuhan ekonomi melalui persaingan bebas dan mendorong orang-orang untuk menggunakan ide-ide inovatif mereka sendiri. Sedangkan Demokrat justru percaya bahwa ekonomi mungkin akan sulit untuk ditangani individu. Sehingga keputusan bisnis dinilai lebih baik jika dipandu oleh kebijakan pemerintah.

Menariknya, sebelum abad ke-20, ideologi yang dipegang Demokrat kini justru menjadi ciri khas Republik, begitu pula sebaliknya. Profesor sejarah Amerika di University of California, Eric Rauchway melihat transisi ideologi tersebut terjadi ketika seorang politisi Demokrat yang sangat berpengaruh bernama William Jennings Bryan mengaburkan garis partai dengan menekankan peran pemerintah dalam memastikan keadilan sosial melalui ekspansi dari kekuatan pemerintah federal – di mana ini merupakan sikap Republik kala itu.

Gary Miller dan Norman Schofield dalam tulisannya The Transformation of the Republican and Democratic Party Coalitions in the U.S. menyebutkan bahwa William Jennings Bryan adalah seorang anti-bisnis yang radikal dan seorang penganut konservatif sosial. Konteks ini kemudian membuat kita memahami mengapa Bryan berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan partainya.

Setelah terjadinya hentakan dari Bryan, Rauchway mencatat Republik tidak langsung mengadopsi posisi yang berlawanan untuk mendukung pemerintahan terbatas. Melainkan, justru selama beberapa dekade selanjutnya, kedua partai bersama-sama mendukung kekuasaan pemerintah federal untuk menciptakan keadilan sosial. Barulah kemudian secara bertahap, Republik mulai mendukung pasar bebas seperti yang kita lihat saat ini.

Mengacu pada kasus perpindahan kebijakan partai antara Demokrat dengan Republik, kita melihat terdapat peran politisi berpengaruh bernama William Jennings Bryan yang menjadi preseden atas hal tersebut. Lantas, apakah terdapat sosok Bryan dalam kasus PDIP dengan Demokrat dan PKS?

Preseden bagi PDIP?

Melihat pemetaan ideologinya, memang dapat dilihat perbedaan antara PDIP, Demokrat, dan PKS. PDIP adalah partai berhaluan nasionalis yang cenderung kiri, sedangkan Demokrat adalah partai nasionalis yang lebih ke tengah. Sedangkan PKS, tentu saja merupakan partai yang sangat menjunjung nilai-nilai Islam.

Akan tetapi, kategorisasi ideologi semacam ini umumnya tidak terjadi di Indonesia, apalagi di gelaran Pilkada. Koalisi umumnya bersifat cair dan dinamis. Oleh karenanya, menjadi pertanyaan tersendiri mengapa Djarot justru mempertahankan pernyataannya dengan menyebut PDIP sulit berkoalisi dengan Demokrat dan PKS.

Di sini, seperti halnya kasus William Jennings Bryan, kemungkinan terdapat kepercayaan pribadi yang melatarbelakangi pernyataan Djarot. Ini pula yang diduga oleh Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan Partai Demokrat, Herman Khaeron dengan menyebut pernyataan tersebut adalah pandangan pribadi sang mantan Gubernur DKI Jakarta.

Sebagaimana diketahui, Djarot adalah saksi hidup ketika Ahok dan PDIP dirongrong oleh PKS bersama dengan massa Islam pada gelaran Pilgub DKI Jakarta yang memenangkan Anies Baswedan. Pun begitu dengan besarnya gejolak politik pada Pilpres 2019, di mana PKS juga terlibat di dalamnya.

Sedangkan dengan Demokrat, tragedi kerusuhan 27 Juli 1996 alias “Kudatuli”, serta Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang justru mencalonkan diri sebagai calon presiden pada Pilpres 2004, banyak dinilai sebagai preseden dendam partai banteng terhadap partai berlogo Mercedes sampai saat ini.

Akan tetapi, mengacu pada kasus Bryan, seberapa besar pengaruh Djarot untuk mendorong PDIP tidak berkoalisi dengan Demokrat dan PKS? Selain itu, melihat pada konteksnya, pernyataan Djarot tampaknya secara khusus menerangkan Pilkada Medan, dan bukannya Pilkada secara keseluruhan.

Di luar itu semua, tentu hanyalah waktu yang dapat menjawab apakah pernyataan Djarot tersebut adalah preseden bagi PDIP untuk mengubah kebijakan partai, khususnya perihal koalisi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...