Site icon PinterPolitik.com

Patriarki: Dalang Keterlibatan Perempuan dalam Terorisme?

patriarki, Terorismeperempuan, jihadis

Foto: Nasional Tempo.co

Dua penyerangan terorisme yang terjadi minggu lalu menunjukkan peningkatan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Idonesia. Lantas, apa yang menjadi faktor perempuan terlibat dalam aksi terorisme? Apakah budaya patriarki dan ketimpangan gender merupakan salah satu faktornya?


PinterPolitik.com

Aksi terorisme yang dilakukan di kompleks Mabes Polri minggu lalu dilakukan oleh Zakiah Aini seorang diri. Zakiah sendiri diduga terinsipirasi oleh aksi terorisme yang berlangsung di Makassar selang beberapa hari sebelumnya. Aksi terorisme yang dimaksud merupakan kasus YSF bersama dengan suaminya yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. 

YSF dan Zakiah menambah jumlah kasus terorisme yang dilakukan oleh perempuan di tanah air. Keterlibatan perempuan pada aksi terorisme meningkat secara signifikan sejak dideklarasikanya ISIS pada tahun 2014. Sebelumnya, hanya ada empat perempuan yang dipenjara atas tuduhan aksi terorisme. Angka ini melonjak naik menjadi 39 orang di bulan September 2020.

Saat ini, aksi terorisme banyak melibatkan perempuan hingga anak-anak. Misalnya, Jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) melibatkan perempuan hingga keluarga. Sidney Jones, seorang pakar terorisme Asia Tenggara, mengatakan bahwa ISIS berhasil mengubah konsep jihad dari personal menjadi keluarga yang melibatkan istri dan anak-anak.

Hal ini menjelaskan aksi bom bunuh diri pada tiga titik gereja yang dilakukan oleh satu keluarga di tahun 2018. Aksi terorisme keluarga ini disebut merupakan yang pertama di Indonesia, bahkan mungkin juga di dunia.

Baca Juga: Teror Makassar Menginspirasi Serangan ke Mabes Polri?

Terorisme keluarga dipengaruhi oleh peningkatan keterlibatan perempuan pada aksi terorisme. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan perempuan terlibat dalam aksi terror, misalnya, budaya patriarki dan ketimpangan gender.

Ini membawa kita ke pertanyaan selanjutnya, bagaimana patriarki dan ketimpangan gender ini memiliki korelasi yang positif terhadap aksi terorisme oleh perempuan?

Miskonsepsi Jihad dan Budaya Patriarki

Secara umum, jihad merupakan upaya mencurahkan segala kemampuan dan kesungguhan dalam upaya taat kepada Allah SWT. Pada konteks khusus, jihad dapat meliputi jihad hawa nafsu, jihad ibadah, jihad ilmu, dan sebagainya.

Arti jihad ini kemudian dikonstruksi dan diubah maknanya agar jihad terlihat seakan-akan sejalan dengan aksi terorisme. Bentuk pemaknaannya misalnya keyakinan atas tanggung jawab untuk membunuh orang kafir (non-Muslim).

Ridha Widyaningsih dan Kuntarto dalam tulisannya Family Suicide Bombing: A Psychological Analysis of Contemporary Terrorism mengatakan bahwa agama dan pemaknaan jihad ini dipolitisasi untuk kepentingan suatu kelompok. Hal ini dilakukan agar dapat menarik empati dari masyarakat luas untuk melegitimasi aksi terorisme.

Pengertian jihad yang dipolitisasi ini memunculkan pemikiran yang keliru dalam memaknai jihad, sehingga munculnya aksi terorisme atas nama agama.

Namun, pengertian yang keliru ini di sosialisasikan secara masif dengan berbagai cara. Di Indonesia sendiri, media sosial memiliki peran yang cukup signifikan dalam menyebarkan konten ekstremis. Dalam lingkup keluarga, nilai-nilai ekstremis ini disosialisasikan secara turun-temurun.

Pada konteks perempuan, budaya patriarki disebut-sebut mengakibatkan perempuan menjadi rentan terpapar ideologi ekstremis. Sylvia Walby dalam bukunya Theorizing Patriarchy menyebut patriarki merupakan sistem struktur sosial dan praktik-praktik yang memosisikan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan. Patriarki memosisikan perempuan sebagai gender kedua setelah laki-laki sehingga menimbulkan ketimpangan relasi kuasa antar keduanya.

Di dalam budaya yang patriarki, perempuan digunakan untuk menyebarkan dan melanjutkan doktrinasi ideologi ekstremis. Pada kasus Ika Puspitasari yang melakukan aksi terorisme pada tahun baru 2016, misalnya, ia disebut ditanamkan ideologi ekstremis melalui kehidupan pernikahannya.

Perempuan mendapatkan indoktrinasi yang sangat masif dari suami atau sesama perempuan yang lebih dahulu aktif dalam jaringan. Memahami konsep jihad secara tidak tepat dapat mendorong perempuan terlibat dalam aksi terorisme.

Udji Asiyah dan Ratna Azis Prasetyo dalam jurnalnya yang berjudul Jihad Perempuan dan Terorisme mengatakan bahwa ada perubahan peran perempuan dalam terorisme. Biasanya perempuan menjalankan peran pendorong, seperti melakukan aktivitas rektrutmen, menyebarkan ideologi, membantu menyembunyikan suami yang merupakan teroris dan sebagainya. Namun, saat ini perempuan mengambil peran menjadi kombatan atau pelaku aktif dalam melaksanakan aksi terorisme.

Baca Juga: Terorisme Makassar, Radikalisme Bukan Akar Masalahnya?

Amy Chew dalam tulisannya How middle-class Indonesian millennial Zakhiah Aini became an Islamic militant mengatakan bahwa menjadi seorang kombatan di Indonesia merupakan prestigious (kebanggaan) tersendiri.

Menurutnya, di Indonesia perempuan memiliki tempat yang terbatas untuk mewadahi eksistensinya, sehingga kelompok ekstremis seperti ISIS memberikan wadah bagi perempuan untuk menujukkan eksistensinya melalui aksi terorisme. Maka dari itu, perempuan yang melaksanakan peran sebagai kombatan merasa diakui dan dihormati.

Hal yang senada juga diutarakan oleh Asiyah dan Prasetyo. Perempuan percaya dengan melakukan aksi teror menandakan bahwa mereka memiliki keberanian jihad dalam berkorban dan memperoleh jalan menuju surga.

Mereka menganggap aksi mereka ini akan mendapatkan pengakuan atas kesalehannya karena telah ikut berjihad. Pengakuan peran ini menjadi kunci penting untuk memahami keterlibatan perempuan dalam kelompok ekstremis.

Aktivitas terorisme menjadi bentuk ekspresi spiritual bagi perempuan jihadis. Selain itu, ini juga menjadi bentuk “emansipasi perempuan” bagi mereka sendiri karena selama ini peran kombatan didominasi oleh laki-laki.

Selain perihal kehormatan dan kebanggaan, ketimpangan gender juga menjadi salah satu faktor keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme. Ketimpangan gender menggambarkan ketidakadilaan yang dialami oleh perempuan secara sosial, politik dan ekonomi. Permasalahan ini meningkatkan kerentanan perempuan atas terpapar paham ekstremisme.

Anita Orav dan Rosamund Shreeves dalam tulisannya Radicalisation and Counter-radicalisation: A Gender Perspective menyebutkan ada berbagai bentuk ketimpangan gender yang dapat memengaruhi keterlibatan perempuan pada aksi terorisme.  

Ketimpangan tersebut berupa terbatasnya kesempatan sosial, agama, ekonomi, politik dan pendidikan bagi perempuan. Selain itu, kekerasan yang dialami perempuan akan mengakibatkan perempuan teralienasi (terasing) dari masyarakat sehingga mempermudah proses indoktrinasi.

Latar belakang dan diskriminasi gender yang dialami perempuan dinilai memengaruhi keterlibatannya dengan kelompok terorisme. Seperti kasus Ika Puspitasari, misalnya, di mana ia berasal dari keluarga yang kurang mampu dan tidak berkesempatan sekolah karena ia adalah perempuan. Ia menjadi punggung keluarga dan menjadi buruh imigran di Hongkong. Beban hidupnya membuat ia rentan mencari pelarian hingga direkrut oleh ISIS ketika di Hong Kong.

Posisi perempuan sebagai gender kedua di masyarakat yang patriarkis digunakan oleh kelompok ekstremis untuk melancarkan aksi terorismenya. Adanya konstruksi sosial yang menganggap perempuan bersifat pasif, lembut dan jauh dari karakter agresif disebut digunakan oleh kelompok ekstremis, seperti Al-Qaeda, untuk menjadikan perempuan sebagai pelaku aksi terorisme karena perempuan tidak terlihat seperti ancaman.

Hal ini terlihat pada beberapa kasus ketika perempuan lebih efektif lolos dari pengecekan keamanan dan berhasil melakukan serangan tanpa menarik banyak perhatian.

Tidak Hanya di Indonesia

Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lainnya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Al-Qaeda dan ISIS merekrut perempuan untuk melancarkan aksi-aksi terorisme.

Baca Juga: Feminisasi Teror Perempuan Teroris

Di Nigeria, perempuan juga dieksploitasi untuk melaksanakan tindakan terorisme. Boko Haram, grup terorisme di Nigeria menggunakan perempuan dan anak-anak untuk melaksanakan misi bom bunuh diri. Perempuan dan anak-anak, terutama anak yang tinggal di jalan, diculik oleh Boko Haram untuk menjalankan misi bom bunuh diri.

Alasan mereka menggunakan anak-anak dan perempuan karena Boho Haram berasumsi bawah anak-anak dan perempuan mudah lolos dari pengawasan dan aparat keamanan. Selain itu, pembawaan mereka yang tidak mencurigakan atau mengancam oleh aparat keamanan dapat meningkatkan efektivitas keberhasilan misi bom bunuh diri.

Keterlibatan perempuan dalam grup terorisme juga terjadi di Jerman pada tahun 1970-an. Red Army Faction (RAF) merupakan organisasi teroris sayap kiri di Jerman yang aktif selama tahun 1970 hingga 1998. Perempuan terlibat aktif di organisasi ini dan melakukan berbagai penyerangan, dan menjadi 30 persen keanggotaan RAF.

Pada setiap aksi penyerangan, RAF memastikan ada representasi perempuan di dalamnya.

Salah satu operasi RAF yang disorot oleh media adalah serangan tahun 1975 yang menyerbu kedutaan Jerman di Swedia. Operasi tersebut dilaksanakan oleh lima anggota RAF dan dipimpin oleh seorang perempuan, Hanna Krabbe. Operasi tersebut menyandera delapan orang, meledakkan bahan peledak dan menewaskan dua diplomat.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa budaya patriarki menjadi faktor yang mendorong perempuan terlibat dalam aksi terorisme. Bagi perempuan jihadis, menjadi kombatan merupakan penghargaan tertinggi dalam melakukan jihad.

Selain itu, perempuan juga rentan untuk terpapar pemikiran ekstremisme karena ketimpangan gender yang dialaminya. Di luar itu semua, tentu kita berharap agar aksi terorisme, khususnya yang dilakukan oleh perempuan dapat menjadi perhatian lebih pemerintah ke depannya. (R66)


Exit mobile version