Eksistensi pasukan siber di kancah politik Tanah Air bukan sebuah fenomena baru. Perannya dinilai esensial dalam membendung berbagai bentuk propaganda dan disinformasi di media sosial. Hal inilah yang membuat partai politik termasuk PPP juga mengoptimalkan pasukan siber. Lantas, apakah pasukan siber bisa membantu PPP menepis anggapan partainya bakal tenggelam di 2024?
Di era post-truth, propaganda politik menjadi suatu fenomena yang umum, khususnya di media sosial. Salah satu studi Universitas Oxford mengungkapkan bahwa sosok pasukan siber-lah yang berperan penting untuk menyebarkan propaganda politik. Eksistensi pasukan siber atau cyber troops dalam kancah politik Indonesia bukan hal yang baru.
Beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta berencana membentuk pasukan siber untuk mengantisipasi ancaman hoaks. Upaya ini menunjukkan bahwa salah satu solusi untuk melawan propaganda para pendengung adalah dengan pembentukan pasukan siber.
Maka tidak heran jika sosok pasukan siber dianggap mampu mengantisipasi berbagai jenis propaganda, khususnya propaganda politik. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa bahkan berencana juga untuk membentuk pasukan siber untuk memantau dan menggalang opini di media sosial. Hal ini tidak lepas dari target partai tersebut untuk meraih 3.000 kursi DPRD di Pemilu 2024 mendatang. Selain mengupayakan pasukan siber, tim lapangan juga dipersiapkan oleh partai berlambang Ka’bah ini untuk menyongsong Pemilu 2024.
Fokus untuk meningkatkan elektabilitas sebenarnya bukan merupakan rahasia mengingat berbagai lembaga survei menyebut perolehan suara PPP tergolong rendah. Lembaga survei Charta Politica, misalnya, menyebut PPP berpotensi besar tidak bisa mencapai parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen. Pada survei ini, PPP memperoleh elektabilitas rendah, yaitu sekitar 2,3 persen.
Tidak hanya itu, lembaga survei lainnya, seperti LSI Denny JA bahkan menyebut PPP bisa karam atau tenggelam di Pemilu 2024. Narasi pesimisme ini mendapatkan reaksi penolakan dari internal partai tersebut karena dinilai terlalu berlebihan. Bantahan tersebut muncul karena hingga saat ini PPP masih ada di parlemen.
Meski sudah melontarkan reaksi penolakan, namun narasi pesimisme terhadap masa depan PPP di Pemilu 2024 masih disuarakan oleh mantan Ketua Umum PPP Hamzah Haz. Intinya, partai ini bisa ‘hilang’ di Pemilu 2024 jika tidak dikelola dengan baik. Melihat kondisi ini, lantas bagaimana dampak narasi pesimisme ini terhadap eksistensi PPP?
PPP Takut Tenggelam?
Bila mengacu pada hasil perolehan suara dari beberapa lembaga survei, tampaknya PPP harus menyalakan ‘mode’ waspada karena elektabilitasnya yang kecil. Tokoh senior PPP seperti Hamzah Haz bahkan pernah mengemukakan bahwa dirinya khawatir di Pemilu 2024 mendatang, partai ini tidak mampu bersaing dengan partai lainnya. Kekhawatiran ini sekiranya menjadi sesuatu yang wajar karena elektabilitas partai yang kecil.
Narasi pesimisme ini ternyata bisa berpotensi menimbulkan sebuah ketakutan. Menurut buku berjudul Denying to the Grave: Why We Ignore the Facts That Will Save Us karya Sara E. Gorman dan Jack M. Gorman, ditegaskan bahwa sebuah ketakutan bisa membentuk sebuah pemikiran manusia, sehingga seseorang tidak menyadari bahwa pemahamannya telah terbentuk oleh ketakutan. Selain itu, ketakutan juga dimaknai sebagai fenomena yang mampu menekan pikiran sehingga sulit untuk menghilangkannya.
Kondisi inilah yang menyebabkan seseorang terpicu untuk mencari rasa aman. Dalam teori hierarki kebutuhan yang dikemukakan psikolog Abraham Maslow dalam tulisan Saul McLeod berjudul Maslow’s Hierarchy of Needs, dijelaskan bahwa kebutuhan individu pada dasarnya adalah mencapai rasa aman hingga kepada tahap aktualisasi diri. Tahap akhir ini artinya seseorang mulai menyadari potensinya untuk menjadi yang terbaik.
Demikian halnya dengan partai yang dipimpin oleh Suharso Monoarfa ini yang berambisi untuk menggapai target 3.000 kursi di DPRD dengan mengoptimalkan peran pasukan siber. Hal ini tidak lepas dari pengaruh pasukan siber yang dinilai cukup efektif untuk meredam arus propaganda yang merugikan. Maka tidak heran jika negara-negara di dunia juga mengerahkan pasukan di dunia maya tersebut untuk memenuhi kepentingannya.
Seperti halnya Vietnam yang membentuk pasukan bernama Force 47 untuk mengatur, memoderasi, dan mengunggah konten di grup Facebook. Pasukan yang terdiri dari ribuan tentara ini juga membuat ratusan grup di halaman Facebook dan menerbitkan ribuan artikel dan konten yang pro terhadap pemerintah. Sementara konten yang bertentangan dengan pemerintah akan mendapatkan tindak lanjut seperti pemblokiran.
Tidak hanya Vietnam, Indonesia pun ternyata juga tidak asing dengan penggunaan pasukan siber. Sebuah analis big data GDILab (Generasi Digital Indonesia) mengungkap bahwa sepanjang tahun 2018, pendukung pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di media sosial cenderung bergerak sebagai pasukan siber dengan komando terpusat. Temuan ini didasari dengan perbandingan jumlah konten unggahan orisinil dengan unggahan ulang atau retweet.
Efektivitasnya di media sosial dinilai teruji karena konten yang dihasilkan lebih terkoordinasi dengan baik. Sarana media sosial pun lebih dioptimalkan untuk meningkatkan popularitas sebuah isu supaya segera menjadi viral. Namun dengan berbagai upaya tersebut, pasangan Prabowo-Sandiaga Uno masih kalah dari pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Kondisi ini membuktikan manuver di dunia maya saja tidak cukup untuk mendongkrak elektabilitas atau popularitas individu maupun kelompok. Lantas apakah pasukan siber bisa menjamin PPP meningkatkan elektabilitas di 2024?
Perlu Operasi Teritori
Fenomena di atas memperlihatkan bahwa dalam sebuah pertarungan politik tidak bisa hanya mengandalkan satu sektor saja. Dalam jurnal berjudul Clausewitz and the politics of war: Contemporary Theory karya George Dimitriu, dijelaskan bahwa terdapat benang merah antara strategi perang dengan politik. Mengingat, perang bukan lagi hanya melibatkan sektor keamanan yang menggunakan persenjataan, melainkan meliputi sektor ekonomi, politik hingga budaya.
Maka tidak heran jika dalam pertarungan politik, setiap pihak yang terlibat di dalamnya masih menggunakan perspsektif perang untuk memenangkan kontestasi. Salah satu konsep yang digunakan melalui pendekatan teritorial yang langsung menyasar kepada publik atau masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Dalam tulisan David B. Carter yang berjudul The Strategy of Territorial Conflict, pendekatan teritori merupakan upaya untuk menguasai wilayah. Apabila berhasil, maka bisa meningkatkan kekuatan dan kapabilitas pihak yang menguasai.
Dalam bidang politik juga menerapkan hal yang sama, yaitu pendekatan tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan udara atau di dunia maya. Pendekatan yang sifatnya langsung juga penting dilakukan layaknya pendekatan teritori di sektor militer. Tujuannya untuk menguasai wilayah atau daerah. Penguasaan di dunia maya melalui pasukan siber belum bisa menjamin partai dan tokoh politik bisa memenangkan kontestasi.
Hal ini memperlihatkan bahwa manuver langsung ke lapangan masih menjadi suatu hal yang esensial dalam persaingan politik. Meski saat ini sarana penyebaran informasi masif mengalir melalui media sosial, namun pendekatan langsung sangat diperlukan sebagai bentuk kontrol atas suatu wilayah yang hendak dikuasai.
Maka, jika PPP menginginkan partainya tetap eksis dan bisa bersaing di Pemilu 2024, sepatutnya menyeimbangkan manuvernya, yaitu di media sosial dan melalui pendekatan langsung di lapangan. Apabila hal ini terealisasi dengan baik, PPP bisa tetap eksis sekaligus mematahkan persepsi bahwa partai ini akan tenggelam di Pemilu 2024. (G69)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.