Permohonan paspor sehari jadi menuai respons negatif di jagat sosial media. Biaya yang dibutuhkan untuk mengakses pelayanan ini dinilai jauh lebih mahal ketimbang pelayanan paspor biasa. Lantas, apakah pelayanan permohonan paspor sehari jadi telah sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan publik yang seharusnya?
Kebijakan permohonan paspor sehari jadi merupakan kebijakan yang telah diimplementasikan sejak tahun 2019 lalu, akan tetapi belakangan menjadi menjadi topik hangat di jagat media sosial. Kebijakan itu memantik keributan-keributan lantaran seseorang perlu meraup kocek sebesar Rp1 juta.
Nilai tersebut dinilai jauh lebih mahal dibanding biaya permohonan paspor biasa non elektronik sebesar Rp 350.000, sedangkan biaya permohonan paspor biasa elektronik sebesar Rp 650.000.
Menurut Dirjen Imigrasi, Silmy Karim, biaya permohonan paspor sehari jadi sebenarnya sudah banyak diterapkan di negara lain. Ia menambahkan, bahkan biaya yang perlu dikeluarkan untuk memperoleh pelayanan tersebut di negara lain bisa lebih mahal dibanding biaya pelayanan di Indonesia.
Silmy menilai penerapan program paspor sehari jadi telah terlaksana dengan baik. Dia menuturkan adanya kewajaran jika ingin cepat jadi, maka wajar bila dikenakan harga yang lebih mahal.
Menurutnya harga paspor sehari jadi bahkan masih dinilai wajar. Masyarakat pun masih bisa memilih biaya permohonan paspor dengan harga yang relatif terjangkau pada layanan lainnya. Namun demikian, Silmy tidak menampik adanya polemik soal biaya paspor sehari jadi.
Lantas, mengapa penjelasan institusi imigrasi tentang biaya layanan paspor ini justru akan jadi polemik baru?
Cacat Logika?
Menurut penjelasan dari Subkoordinator Humas Ditjen Imigrasi Achmad Nur Saleh kebijakan paspor sehari jadi bertujuan untuk mengakomodir masyarakat membutuhkan paspor dengan cepat serta mencegah pungutan liar yang umumnya dilakukan oleh oknum yang menjanjikan pelayanan paspor dengan cepat.
Achmad menekankan biaya permohonan paspor sehari jadi memang bukan diperuntukkan bagi seluruh masyarakat, melainkan bagi orang-orang yang membutuhkan paspor dalam situasi yang genting.
Pada umumnya, imigrasi menerima ribuan pemohon paspor yang terdiri dari pembuatan paspor reguler, prioritas untuk difabel, percepatan sehari jadi, dan paspor yang hilang, rusak, atau berubah. Oleh karena itu, Ditjen Imigrasi tidak mampu mengakomodasi seluruh permohonan tersebut dalam kurun waktu satu hari.
Setiap kantor imigrasi memiliki kuota layanan percepatan paspor. Pihaknya telah memiliki prosedur pembuatan paspor yang selesai dalam waktu 3-4 hari kerja.
Pembuatannya tidak perlu mendaftarkan diri melalui aplikasi M-Paspor dan dibayarkan melalui Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI).
Berdasarkan penjelasan tersebut, setidaknya permohonan paspor sehari jadi seharga 1 juta rupiah seolah mampu menjadi solusi bagi ketidakmampuan imigrasi untuk memenuhi permintaan paspor yang melebihi kapasitas serta pungutan liar.
Meskipun demikian, munculnya layanan permohonan paspor sehari jadi memperlihatkan kualitas pelayanan imigrasi memang masih belum memadai dari segi responsiveness alias ketanggapan.
Menurut Valarie A. Zeithaml, A. Parasuraman, dan Leonard L. Berry, dalam bukunya yang berjudul Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations, dikemukakan lima dimensi pokok dalam menilai kualitas pelayanan publik, antara lain tangibles (berwujud), reliability (kehandalan), responsiveness (ketanggapan), assurance (jaminan), dan empathy (empati).
Berdasarkan penjelasan Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, dimensi ketanggapan diartikan sebagai kesanggupan untuk membantu dengan ikhlas dan memiliki kepekaan yang tinggi dengan bertindak sesuai dengan kebutuhan. Petugas senang membantu dan mampu memberikan pelayanan yang cepat.
Oleh karena itu, pelayanan paspor sehari jadi dinilai tidak mampu menjadi solusi imigrasi untuk memenuhi seluruh permintaan paspor dengan pelayanan yang cepat. Alih-alih memperbaiki sistem agar lebih efisien, permohonan paspor sehari jadi dapat dianggap sebagai suatu pelayanan baru yang justru tidak mampu menjamin kebutuhan masyarakat dengan cepat.
Adapun biaya yang jauh lebih mahal belum tentu dapat menjamin tidak adanya pungutan liar. Pelayanan ini justru memposisikan masyarakat sebagai konsumer, bukan sebagai warga negara.
Mengapa pemikiran seperti ini salah jika dipakai negara?
Consumer vs Citizen?
Hakikat pelayanan publik sudah seharusnya memprioritaskan kebutuhan masyarakat. Masyarakat memiliki hak yang melekat sebagai warga negara untuk memperoleh pelayanan publik.
Setidaknya penjelasan itu mampu menjadi landasan pemerintah seharusnya tidak memandang masyarakat sebagai customer alias pelanggan, melainkan sebagai citizen alias warga negara.
Warga negara tentunya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tentunya, hak dan kewajiban tersebut jauh lebih luas ketimbang dalam perspektif pelanggan.
Seorang pelanggan mungkin dapat dilihat dari kemampuan membeli atau membayar suatu produk maupun jasa, namun warga negara perlu dipandang sebagai penerima dan pengguna pelayanan, sekaligus subyek dari berbagai kewajiban publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembedaan sudut pandang antara pelanggan dan warga negara dapat dengan mudah dipahami melalui paradigma New Public Management (NPM) yang didasari oleh fondasi epistemologi teori ekonomi, sedangkan paradigma New Public Service (NPS) didasari oleh fondasi epistemologi teori demokrasi.
Fondasi tersebut mampu mempengaruhi bagaimana institusi publik memberikan pelayanan kepada masyarakat. Asumsi terhadap motivasi pegawai publik dalam paradigma NPM dilandasi oleh semangat entrepreneurial, sedangkan paradigma NPS dilandasi oleh keinginan pelayan publik untuk melayani masyarakat.
Pada titik ini, pelayanan permohonan paspor sehari jadi merujuk pada paradigma NPM dimana Osborne dan Gaebler (1992) dalam bukunya yang berjudul Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector, menyebut paradigma ini sebagai reinventing government.
Osborne dan Gaebler menjelaskan istilah “steering rather than rowing” merujuk kepada penggambaran pemerintah sebagai pengendali kapal, sedangkan sektor privat dan masyarakat sipil berperan sebagai pengayuh kapal.
Meskipun tanpa sektor privat di dalamnya, responsivitas imigrasi agaknya dapat dinilai memandang masyarakat sebagai pelanggan. Lantas, bagaimana seharusnya pelayanan permohonan paspor yang paling efektif?
Paling Efektif?
Jika merujuk pada tujuan utama pelayanan, maka pemerintah dapat mengevaluasi kembali sistem yang lebih efisien untuk memenuhi permintaan paspor. Selain itu, pemerintah juga dapat fokus pada konteks budaya organisasi di imigrasi.
Selain itu, berdasarkan peringkat Government Effectiveness Index (GEI) pada tahun 2021, Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari segi efektivitas kebijakan. Adapun, poin-poin yang menjadi penilaian yakni persepsi kualitas layanan publik, kualitas pelayanan sipil dan independensi politiknya, kualitas formulasi dan implementasi kebijakan, dan komitmen pemerintahan pada kebijakannya.
Berdasarkan poin-poin penilaian tersebut, imigrasi agaknya dapat mengevaluasi kebijakan permohonan paspor dalam segala aspek jika ingin mendapatkan respons positif dari publik.
Paradigma NPM tidak selalu memiliki penilaian yang buruk, namun pemerintah perlu memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi berdasarkan sudut pandang sebagai warga negara.
Adapun, akar dari permasalahan permohonan paspor dan pungutan liar bisa jadi tidak terlepas dari “penyakit kronis” birokrasi di Indonesia. Hal ini pernah dibahas Gerald Caiden, dalam bukunya yang berjudul Administrative Reform Comes of Age, yang membedah 175 penyakit birokrasi yang menjangkit pemerintah Indonesia.
Sementara itu, menurut Prof. Dr. Eko Prasojo, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PANRB) pada Kabinet Indonesia Bersatu II, satu penyakit birokrasi saja sudah mampu membawa kesengsaraan.
Oleh karena itu, kebijakan permohonan paspor sehari jadi tidak terlepas dari penyakit birokrasi itu sendiri. Agaknya pendekatan NPM pada kebijakan ini belum mampu memberi respons positif masyarakat dan dinilai “cacat logika”. (Z81)