Site icon PinterPolitik.com

Paspampres Jokowi Diterobos, Sebuah Rekayasa?

paspampres jokowi

Tangkapan layar detik-detik seorang wanita berhasil menerobos Paspampres untuk bersalaman dengan Presiden Jokowi di Bali pada Kamis, 17 November 2022 lalu. (Foto: Head Topics)

Paspampres yang mengawal Presiden Joko Widodo (Jokowi) seolah kebobolan telak setelah seorang wanita dan pria menerobos iring-iringan RI-1 di Bali. Reaksi minor yang muncul setelahnya tentu sangat wajar dan semestinya intelijen hingga DPR memerhatikan serius masalah ini. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Beruntung bukan seorang pelaku teror. Begitu kira-kira mayoritas komentar publik dan netizen setelah melihat video viral saat seorang wanita dan pria berhasil menerobos iring-iringan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Bali yang ironisnya dikawal ketat oleh Paspampres.

Kejadian tersebut terjadi pada Kamis, 17 November kemarin lusa saat mobil kepresidenan yang dinaiki Presiden Jokowi berada di Jalan Thamrin, Denpasar. Kepala negara sendiri saat itu sedang on the way untuk blusukan ke Pasar Badung pasca rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.

Meski berakhir tanpa insiden yang lebih buruk, komentar negatif tetap menjamur pasca kejadian dan bahkan melebar hingga isu-isu sensitif.

Mencoba meredam kekhawatiran publik, Istana kemudian langsung bersuara. Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung menyiratkan eksistensi wanita penerobos itu karena bentuk kecintaannya kepada Presiden Jokowi.

Lebih lanjut, Pramono mengatakan wanita itu hanya ingin bersalaman dengan kepala negara sekaligus ingin meminta kaos. Oleh karena itu, Pramono menyebut Presiden memerintahkan Paspampres untuk tidak berlebihan menangani insiden pada saat itu juga.

Namun, apa yang dikemukakan Istana melalui Pramono agaknya belum dapat menjawab keresahan publik atas penerobosan secara telak ke iring-iringan presiden. Responsnya justru seolah hanya ingin menggambarkan sisi humanis dan ketenangan Presiden Jokowi, plus Paspampres dalam menangani situasi genting.

Padahal, jamak reaksi publik dan netizen +62 yang sangat menyayangkan begitu ringkihnya pengawasan dan penanganan sosok yang dapat dikatakan “orang asing” di mana melakukan kontak jarak dekat dengan Presiden Jokowi.

Selain itu, dalam video penerobosan yang viral, terdapat sosok pria yang juga turut merekam dari belakang wanita itu dan justru tak mendapat atensi pengamanan karena Paspampres seolah terdistraksi oleh si wanita.

Tak hanya itu, komentar di lini masa ada juga yang menyebut insiden penerobosan hanyalah sebuah rekayasa demi tujuan tertentu.

Bahkan, tanggapan dan telaah bernuansa sensitif lain juga mengemuka saat membandingkan penanganan humanis itu dengan perandaian jika wanita yang menerobos itu menggunakan identitas keagamaan tertentu.

Akan tetapi, pertanyaan sederhana mengemuka, yakni mengapa reaksi minor tetap mengiringi insiden penerobosan tersebut meski Istana telah memberikan klarifikasi dan memastikan keamanan Presiden Jokowi?

Presiden Simbol Segalanya?

Insiden penerobosan orang asing yang mendekat ke kepala negara telah terjadi beberapa kali di berbagai penjuru dunia, baik di negara demokratis maupun mereka yang tak menganutnya.

Sayangnya, tak semua insiden berakhir dengan impresi lega karena sang pemimpin berhasil selamat. Terdapat sejumlah insiden yang berubah menjadi tragedi yang mana salah satunya menimpa Presiden ke-35 Amerika Serikat (AS) John Fitzgerald Kennedy (JFK).

Saat pembunuhan JFK, reaksi keras muncul dari warga AS dan tersorot ke berbagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab atas keamanan seorang kepala negara adidaya.

Wilfred E. Binkley dalam publikasi berjudul The President as a National Symbol, mengatakan bahwa di negara demokratis, presiden adalah powerful symbol of state’s democracy atau simbol yang begitu kuat bagi demokrasi.

Itu dikarenakan, presiden yang terpilih merupakan representasi suara rakyat, yang mana keamanannya benar-benar harus dijaga saat menunaikan tugas memimpin negara demi kemaslahatan rakyat itu sendiri.

Memang, insiden berujung tragedi atas penerobosan orang asing ke arah pemimpin negara telah terjadi sejak lama dan tak melulu memantik reaksi dari negara demokratis saja. Di masa lalu, pembunuhan kepala negara maupun kepala pemerintahan tak sedikit bermuara pada konsekuensi tak menyenangkan berupa konflik yang lebih luas.

Pada 28 Juni 1914, misalnya, Archduke Franz Ferdinand, pewaris takhta Austro-Hungaria, dan istrinya dibunuh oleh seorang ekstremis yang didukung Serbia bernama Gavrilo Princip.

Tragedi itu kemudian disebut-sebut sebagai salah satu pemantik signifikan meletusnya Perang Dunia I, pasca serangkaian variabel lain sebelumnya telah memanaskan tensi di antara pihak-pihak yang kemudian bergabung dalam Entente maupun Blok Sentral.

Di era modern, pembunuhan JFK yang terjadi pada hari Jumat, 22 November 1963 di Dallas, Texas menjadi satu yang paling menyorot perhatian dan berdampak pada re-kalkulasi pengamanan seorang kepala negara.

Selain alasan filosofis karena kepala negara adalah simbol yang begitu kuat, di negara demokratis, sosok pemimpin dan instrumen pengamanannya pun dibiayai oleh para pembayar pajak (taxpayer) atau masyarakat itu sendiri.

Oleh karenanya, saat pembunuhan JFK, rakyat AS begitu keras mengkritik berbagai pihak yang dianggap bertanggung jawab serta menuntut perbaikan multi-aspek, termasuk regulasi, untuk mencegah tragedi itu terulang.

Satu institusi yang begitu disorot adalah Secret Service, sebuah lembaga federal di bawah Department of Homeland Security (sejak 2003) yang bertugas melakukan investigasi kriminal dan melindungi para pemimpin politik AS, keluarga mereka, dan kepala negara atau pemerintahan tamu AS.

Rakyat AS saat itu menyebut Secret Service bersama intelijen tidak mampu menganalisis dengan baik informasi yang dimilikinya sebelum pembunuhan dan tidak cukup siap untuk melindungi Kennedy.

Skeptisisme publik sebagai “pembayar pajak” berbuntut tekanan hebat kepada Kongres dan pemerintah federal untuk memperbaiki koordinasi antarlembaga dalam berbagai detail skenario pengamanan.

Brian Naylor dalam How Kennedy’s Assassination Changed The Secret Service mengatakan pembunuhan JFK benar-benar menjadi titik balik, metode pengamanan presiden AS berikutnya.

Perbaikan buku pedoman atau playbook Secret Service, koordinasi dengan intelijen dan keamanan yang lebih komprehensif, dan kerahasiaan yang meski tak terlihat tetapi tetap menjamin keamanan, dilakukan berbagai stakeholder terkait saat itu, termasuk regulasi dan pengesahannya oleh Kongres.

Itulah yang kiranya dapat menjadi refleksi sekaligus dapat menjawab mengapa reaksi cukup keras mengiringi penerobosan seorang wanita ke arah Presiden Jokowi meski dalam pengamanan ketat Paspampres.

Selain itu, terdapat satu hal lagi yang membuat perhatian dan perbaikan cukup serius kiranya harus dilakukan jika berkaca pada diterobosnya Paspampres Jokowi kemarin lusa. Apakah itu?

Hindari Konspirasi Destruktif?

Selain menimpa JFK, pembunuhan terhadap sosok kepala negara atau pemerintahan telah jamak terjadi. Kendati demikian, tak sedikit isu minor mengiringi tragedi semacam itu yang terkait dengan munculnya teori bernuansa konspiratif.

Meski tak secara spesifik menjelaskan soal konspirasi atas pembunuhan kepala negara, Andrea Molle dalam Conspiracy theories: a clear and present danger to national security and global stability? menyiratkan kemunculan teori konspirasi yang mengiringi insiden yang terkait keamanan negara (termasuk kepala negara) dapat berpengaruh pada stabilitas keamanan domestik, bahkan antarnegara.

Selain pembunuhan Franz Ferdinand yang berbuntut meletusnya Perang Dunia I, pembunuhan JFK pun turut diliputi spekulasi yang cenderung beraroma konspirasi.

Ya, dikaitkan dengan pembunuhan Lee Harvey Oswald oleh pemilik klub malam Jack Ruby dua hari pasca kematian JFK, teori konspirasi jamak mengemuka. Teori-teori itu menuduh keterlibatan CIA, para mafia, Wakil Presiden AS kala itu Lyndon B. Johnson, Perdana Menteri (PM) Kuba Fidel Castro, KGB, atau kombinasi dari individu dan entitas tersebut.

Selain itu, terbunuhnya PM India Indira Gandhi pada tahun 1991 hingga kematian PM Israel Yitzhak Rabin pada 1995 di tangan ultranasionalis bernama Yigal Amir juga menghadirkan berbagai spekulasi miring yang tertuju pada banyak pihak.

Dalam case penerobosan Paspampres Jokowi di Bali, spekulasi liar juga tak bisa dicegah saat video yang merekam detik-detik kejadian beredar di dunia maya.

Selain tuduhan “rekayasa” demi impresi positif serta respons humanis dari Presiden Jokowi dan aparat, nyatanya, sentimen minor juga meliputi Paspampres itu sendiri dikarenakan protokol detail keamanan yang begitu “berantakan”.

Di samping itu, isu sensitif yang membandingkan penanganan terhadap wanita saat itu dengan perandaian reaksi berbeda aparat jika pelaku menggunakan identitas Islam seperti jilbab atau cadar juga turut memperkeruh suasana.

Selain terkait ancaman konkret terhadap RI-1 di kemudian hari, bukan tidak mungkin, sentimen-sentimen minor itu akan menumpuk dan bermuara pada hal-hal di konteks lain yang mengancam stabilitas keamanan sebagaimana dikatakan Molle.

Di titik ini, stakeholder terkait seperti intelijen, TNI, Polri, dan DPR kiranya perlu turut buka suara dan melakukan evaluasi hingga audit ulang terhadap prosedur dan skenario pengamanan kepala negara yang lebih komprehensif. Tak terkecuali ketika Indonesia memiliki pemimpin yang terus berusaha terbuka atau blusukan, yang tentu menimbulkan konsekuensi meningkatnya ancaman. (J61)

Exit mobile version