Menteri Luar Negeri Retno Marsudi baru saja membuka Pacific Exposition 2021, sebuah pameran perdagangan dan investasi terbesar di Pasifik. Sebelumnya, Indonesia juga diketahui telah menyumbang dana sebesar US$18 juta untuk 12 negara kepulauan Pasifik. Mengapa Indonesia sangat ingin membangun perekonomian kawasan yang mayoritas berpenduduk Melanesoid tersebut?
“For the only way in which a durable peace can be created is restoration of economic activity and international trade.” – James Forrestal, mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat
Di dunia yang semakin modern dan terbuka, hubungan antar-negara kerap menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Ini dilakukan negara-negara dengan membangun sejumlah kesepakatan perdagangan internasional.
Selain karena kepentingan ekonomi, hubungan ekonomi yang dijalin secara internasional juga dianggap dapat mempererat hubungan sosial dan politik. Hal tersebut karena perdagangan dapat menghasilkan manfaat yang bisa dirasakan secara nyata, seperti ketersediaan sumber makanan dan lapangan pekerjaan.
Pada 27 Oktober 2021, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi membuka sebuah perhelatan yang bernama Pacific Exposition (PE) 2021. Ini merupakan pameran perdagangan dan investasi terbesar di kawasan Pasifik. Acara ini adalah penyelenggaraan yang kedua setelah pertama kali diselenggarakan pada tahun 2019 di Auckland, Selandia Baru.
Pameran ini melibatkan 320 perusahaan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) besar Indonesia, seperti Pertamina dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Pada pertemuan yang pertama, diestimasikan hasil transaksi yang dijalin mencapai setidaknya Rp 1 triliun. Sektor yang ditampilkan cukup beragam, mulai dari pangan, kerajinan, dan manufaktur.
Acara ini diklaim sebagai hasil gagasan Indonesia, khususnya Menlu Retno dan Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, dengan dukungan Australia dan Selandia Baru. Retno mengatakan acara ini adalah komitmen Indonesia dalam membantu memulihkan ekonomi negara Pasifik setelah diterpa pandemi Covid-19
Baca Juga: Jokowi Perlu ‘Politik Rekognisi’ Papua?
Menariknya, selain negara yang telah disebutkan di atas, negara yang dilibatkan di pameran ini hanyalah negara-negara kepulauan Pasifik seperti Fiji, Samoa, dan Kepulauan Solomon. Undangan tidak diberikan ke negara besar seperti Amerika Serikat (AS) ataupun Tiongkok. Retno sempat mengatakan ini adalah bukti komitmen Indonesia yang kuat untuk membangun perekonomian kawasan Pasifik.
Selain dengan penyelenggaraan PE, Indonesia juga telah memberikan sumbangan yang cukup besar pada 12 negara Pasifik, dengan angka sekitar US$18 juta selama dua tahun terakhir. Sumbangan ini dilakukan dengan program yang bernama Indonesian Agency for International Development (Indonesia AID).
Ya, tampaknya pembangunan ekonomi di wilayah Pasifik sekarang menjadi salah satu fokus kepentingan ekonomi Indonesia. Terkait ini, Retno juga sempat mengakui bahwa keterlibatan Indonesia di negara-negara Pasifik merupakan elemen penting dari kebijakan luar negeri Indonesia saat ini.
Lantas, mengapa Indonesia bersikeras terlibat dalam pembangunan ekonomi negara-negara Pasifik?
Sebuah Upaya Resolusi
Anggapan umum yang beredar tentang keterlibatan Indonesia di kepulauan Pasifik adalah karena wilayah tersebut sangat menjanjikan secara ekonomi, dan Indonesia berusaha mempenetrasi pasar. Namun, penulis melihat sesungguhnya ada faktor lain yang membuat Indonesia sangat berkeinginan mendekati negara kepulauan Pasifik. Yaitu tidak lain adalah terkait kecaman-kecaman terhadap isu Papua.
Seperti yang kita ketahui, permasalahan Papua seringkali diungkit-ungkit di forum internasional, contohnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara kepulauan Pasifik kerap menjadi kelompok yang paling sering menyindir Indonesia. Kita tidak bisa lupa bagaimana setiap tahunnya ada kecaman yang dilontarkan, contohnya oleh Kepulauan Solomon pada tahun 2016, Tuvalu pada tahun 2018, dan juga Vanuatu pada September lalu.
Kecaman-kecaman tersebut dilayangkan bukan tanpa alasan. Mayoritas penduduk negara Pasifik adalah dari ras Melanesoid, ras yang juga mengisi mayoritas penduduk di beberapa provinsi wilayah timur Indonesia. Keterkaitan etnis ini kemudian melahirkan sebagian besar persamaan budaya dan sejarah. Oleh karena itu, wajar jika negara-negara Pasifik memiliki sentimen politik yang cukup kuat pada Papua dan Papua Barat.
Terkait itu, menarik jika kita melihat perwakilan yang dikirim Indonesia untuk PE 2021. Berdasarkan pernyataan dari Kemlu, Indonesia telah mengirimkan 6 provinsi wilayah timur. Mereka adalah Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat, wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya dari ras Melanesoid.
Lantas, bagaimana pendekatan etnis dan ekonomi seperti PE dapat membantu menangani ketegangan politik antara Indonesia dengan kepulauan Pasifik?
Ada tulisan menarik dari seorang wartawan senior Selandia Baru, Johny Blades, yang dimuat di kolom Lowy Institute dengan judul West Papua: The Issue That Won’t Go Away for Melanesia. Di tulisan ini, Blades mengatakan permasalahan Papua tidak dapat diselesaikan oleh Indonesia hanya dengan melakukan pendekatan ke Papua, tetapi juga perlu membangun hubungan yang sehat dan saling menguntungkan dengan negara-negara Melanesia yang berada di Pasifik.
Di tulisan ini Blades juga menegaskan, jika Indonesia bisa melakukan pendekatan ke negara seperti Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon, maka Indonesia bisa memperoleh kesempatan yang lebih tinggi untuk melakukan persuasi kesepakatan pemahaman terhadap permasalahan Papua. Akan lebih efektif lagi, kata Blades, jika mampu membangun rantai komersial, karena ekonomi akan memberikan efek yang lebih besar dibandingkan hanya dengan retorika-retorika politik.
Baca Juga: Membaca Manuver Retno di Afghanistan
Resolusi permasalahan dengan pendekatan ekonomi ini juga selaras dengan apa yang dikatakan oleh seorang ahli ekonomi, Will Kenton. Ia membawa sebuah teori yang bernama economic integration.
Pada dasarnya, teori tersebut membahas tentang pengaturan perdagangan di antara negara-negara yang mencakup pembukaan kesempatan luas dalam melakukan perdagangan. Teori ini juga sering disebut regional economic integration atau integrasi ekonomi kawasan karena sering terjadi di antara negara-negara tetangga.
Dengan teori ini, Kenton berpendapat bahwa ikatan ekonomi yang kuat dapat meningkatkan rasa percaya dan keterikatan di antara negara. Lalu, dapat menjadi insentif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat secara damai dan mengarahkan kondisi hubungan antar negara ke stabilitas yang tinggi. Kenton kemudian mencontohkannya dengan pendirian Uni Eropa. Ketika organisasi kawasan tersebut belum didirikan, konflik sangat sering terjadi di antara negara-negara anggotanya.
Oleh karena itu, tampaknya adalah hal yang sangat lumrah jika Indonesia berusaha mencuri ide-ide perdamaian ekonomi dari Uni Eropa untuk diterapkan ke kawasan Pasifik yang masih sangat rentan terjadi perbedaan pendapat politik.
Lalu, jika memang resolusi di Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan ekonomi ke negara-negara Pasifik, bagaimana strategi ekonomi yang perlu dilakukan Indonesia?
Membangun Jembatan Dunia
Hong Chen, seorang pengamat ekonomi, dengan tulisannya yang berjudul Pacific Island Countries: In Search of a Trade Strategy yang dimuat di International Monetary Fund (IMF), mengatakan alasan negara kepulauan Pasifik tertinggal secara ekonomi adalah karena mereka sangat lemah dalam perdagangan. Lemahnya perdagangan ini, tentunya muncul sebagai akibat dari minimnya konektivitas karena lokasi yang terpencil.
Karena itu, Hong Chen berpandangan, negara Asia Tenggara yang secara geografis terdekat dari kepulauan Pasifik dapat menjadi kunci pembuka kekayaan dan perdagangan internasional bagi negara-negara seperti Fiji dan Kepulauan Solomon.
Hal ini kemudian terrefleksikan dengan apa yang ingin dibawa Indonesia melalui PE. Jika kita melihat daftar perusahaan yang ikut dalam pameran, dari situs PE dan beberapa pernyataan dari Kemlu dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), mayoritas perusahaan besar yang dilibatkan adalah perusahaan manufaktur dan transportasi. Untuk tahun ini, Indonesia bahkan tidak hanya mengirim PTDI, sebuah industri pesawat terbang, tetapi juga PT PAL, sebuah industri kapal laut.
Baca Juga: Manuver Tiongkok di Balik Vanuatu?
Dengan demikian, kita bisa menalar dengan jelas bahwa selain berusaha membuka kesempatan dagang, Indonesia juga tampaknya ingin memperbaiki kelemahan terbesar negara kepulauan Pasifik, yaitu konektivitas.
Pada akhirnya, jika semuanya berjalan lancar, ini barangkali dapat menjadi perwujudan soft power paling kuat dari Indonesia. Karena sesuai yang dikatakan oleh Joseph S. Nye, upaya mendapatkan pengaruh dan mencapai tujuan nasional di era modern tidak lagi hanya bisa dilakukan melalui pendekatan kekerasan dan politik, tetapi terkadang justru lebih ampuh ketika melakukan gerakan berbasis kultural dan ekonomi.
Besar harapannya Indonesia bisa membangun hubungan ekonomi yang kuat dengan negara-negara Pasifik. Selain dapat membantu meringankan gejolak Papua, konektivitas Pasifik dapat membuka kesempatan perdagangan yang sebelumnya belum pernah dimaksimalkan. Menarik untuk kita saksikan perkembangannya. (D74)