Site icon PinterPolitik.com

Partai Ummat Sedang Bunuh Diri?

Partai Ummat Sedang Bunuh Diri?

Foto: Inilah.com/Harris Muda

Dalam Rakernas Partai Ummat, Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi menegaskan partainya mengusung politik identitas Islam. Dengan derasnya sentimen negatif terhadap politik identitas, kenapa Partai Ummat justru secara terang-terangan menggunakannya? Apakah Partai Ummat sedang bunuh diri?


PinterPolitik.com

“Awas, jangan mau jadi seperti lato-lato. Ditarik dan dibenturkan.” – Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi UMM

Berbagai elite politik, hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti untuk tidak menggunakan politik identitas. Wanti-wanti itu sekiranya bertolak pada panasnya tensi politik pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Dengan adanya trauma publik, terminologi politik identitas menjadi istilah yang sangat dihindari, khususnya oleh para elite politik. Menariknya, seolah menabrak trauma itu, Partai Ummat justru secara tegas menyebut dirinya mengusung politik identitas Islam.

“Kami akan secara lantang mengatakan, ‘Ya, kami Partai Ummat, dan kami adalah politik identitas’,” ungkap Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Ummat pada 13 Februari 2023. Lebih menarik lagi, Ridho menyebut politik identitas adalah politik pancasilais.

Sebagai partai baru yang berambisi lolos ke Senayan pada 2024, kenapa Partai Ummat justru menabrak trauma tersebut? Bukankah secara terang-terangan mengatakan diri mengusung politik identitas akan menggerus citra Partai Ummat?

Politik Identitas adalah Alamiah

Sayangnya, jika mengembalikannya pada literatur politik, deretan pertanyaan itu menjadi kurang relevan. Kita dapat memulai dari gagasan filsuf politik Chantal Mouffe.

Mengutip gagasan Carl Schmitt, Mouffe menegaskan bahwa politik dibangun di atas perbedaan “kita” dan “mereka” – us vs them.

Mempopulerkan istilah agonisme, Mouffe justru melihat konflik sebagai entitas positif. Dengan adanya konflik dan konfrontasi, itu menjadi penanda bahwa demokrasi yang lekat dengan budaya dialog dan kritisisme tengah hidup.

Mengutip buku Francis Fukuyama yang berjudul The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, gagasan us vs them merupakan nature dari politik itu sendiri. Menurut Fukuyama, secara alamiah (by nature) manusia mestilah berpolitik.

Ini merupakan konsekuensi dari sifat manusia yang hidup berkelompok. Peradaban manusia kemudian melahirkan “politik” untuk mengatur perbedaan-perbedaan tak terelakkan dalam kelompok.

Singkatnya, dapat dikatakan politik merupakan respons terhadap kesadaran atas perbedaan identitas. Konteks identitas ini luas, mulai dari identitas agama, suku, ras, kelompok kerja, dan seterusnya.

Bukti atas simpulan itu dapat kita lihat pada konsep konstituen di DPR RI. Setiap anggota DPR yang duduk di Senayan merupakan perpanjangan tangan dari suara konstituen atau daerah pilihnya (dapil).

Mereka adalah representasi suara identitas Jakarta Selatan, Makassar, Lombok, Bali, Aceh, Pontianak, Papua, dan seterusnya. Para anggota DPR harus menyuarakan kepentingan konstituennya, bukan konstituen anggota yang lain.

Dengan demikian, pernyataan Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi adalah tepat. Sebagai partai Islam, memang sudah sepatutnya Partai Ummat mengusung politik identitas Islam. Mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai representasi suara atau identitas Islam.

Kemudian, terkait pernyataan Ridho bahwa politik identitas adalah politik pancasilais juga dapat dibenarkan. Bertolak pada politik adalah pengakuan terhadap perbedaan identitas, itu merupakan salah satu prinsip mendasar Pancasila yang mengakui perbedaan.

Masalahnya adalah Politik Kebencian

Di titik ini, sekiranya masih banyak pihak yang menaruh tanda tanya dan mengkerutkan dahi. Mungkin beberapa pertanyaannya seperti ini. Apakah sekelumit penjelasan itu tengah membenarkan dampak destruktif dari politik identitas? Apakah terdapat upaya untuk meremehkan bahaya politik identitas?

Pertanyaan-pertanyaan itu setengah tepat dan setengah keliru. Disebut tepat karena memang terdapat bukti empiris riil di Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Namun, disebut keliru karena yang dirujuk sebenarnya bukan politik identitas melainkan politik kebencian (politics of resentment).

Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, menjelaskan bahwa tantangan utama demokrasi saat ini adalah tumbuh suburnya politik kebencian akibat penetrasi internet dan media sosial.

Secara singkat, kita dapat menyebut politik kebencian adalah tahap lanjutan dari politik identitas. Politik kebencian adalah fenomena politik ketika identitas selain diri atau kelompoknya ingin dihilangkan.

Politik kebencian terjadi ketika narasi-narasi identitas dibumbui oleh narasi reward and punishment. Sebagai contoh, jika tidak memilih partai politik X atau kandidat Y maka dapat dikatakan kafir.

Jika sekadar membangun narasi pilihlah partai politik X atau kandidat Y karena satu agama atau satu suku, itu tidak masalah. Yang menjadi masalah ketika narasi itu dibumbui dengan ancaman atau hasrat permusuhan.

Sebagai penutup, kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, melihatnya dari kacamata linguistik, politik identitas telah mengalami peyorasi makna atau maknanya menjadi negatif.

Karena masif diidentikkan dengan politik kebencian, politik identitas kemudian dilihat sebagai terminologi yang haram digaungkan. Kasusnya sama seperti kekeliruan dalam menyebut vandalisme sebagai anarkisme.

Kedua, sekiranya tidak ada yang salah dari pernyataan Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi. Jika Partai Ummat memutuskan sebagai partai Islam, maka secara konsekuen mereka memang harus mengusung politik identitas Islam. (R53)

Exit mobile version