HomeNalar PolitikPartai Ummat, Kuda Hitam Pemilu?

Partai Ummat, Kuda Hitam Pemilu?

Partai Ummat menjadi perbincangan setelah beberapa pernyataan dan kebijakan yang cukup kontroversial. Selain mengaku sebagai partai yang mengusung politik identitas, Ketua Umum (Ketum) Partai Ummat, Ridho Rahmadi juga menyatakan perlunya kampanye di dalam masjid. Lantas, seberapa besar kemungkinan partai tersebut bisa survive di Pemilu 2024? 


PinterPolitik.com

 “Usaha dan keberanian tidak cukup tanpa tujuan dan arah perencanaan” – John F. Kennedy

Partai Ummat, sebagai salah satu kontestan baru di Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024), melakukan serangkaian manuver lewat berbagai pernyataan di konferensi pers maupun dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Ummat. Manuver yang dilakukan mereka lumayan ‘berani’ dan beresiko, karena bisa menguntungkan atau justru merugikan.

Pernyataan Ketua Umum (Ketum) Partai Ummat, yakni Ridho Rahmadi, soal politik identitas dan kampanye dari masjid tentu menjadi sebuah hal kontroversial yang ramai dibicarakan di media massa.

Karena ketika banyak partai lain, utamanya partai-partai islam, sedang menghindari stempel politik identitas pada partainya, Partai Ummat justru secara gamblang menyatakan bahwa mereka adalah partai yang mengandalkan  politik identitas.

Terkait itu, tentu sudah disadari bersama bahwa isu politik identitas ini sendiri sangat sensitif, terlebih ketika mendekati masa pemilu. Sementara itu, kampanye dalam rumah ibadah sendiri sebenarnya sangat dilarang, karena banyak yang menganggap itu sebagai usaha untuk melakukan politisasi agama.

Meski pada akhirnya mereka bisa saja tidak akan mampu ‘merangkul’ semua kelompok dalam partainya, namun manuver yang dilakukan Partai Ummat justru bisa berbuah dukungan besar dari beberapa kelompok yang menjadi targetnya, yakni kelompok Muslim Indonesia.

Kelompok Muslim konservatif dapat menjadi dukungan utama bagi Partai Ummat, yang mungkin dapat dipandang sebagai partai yang dapat membawa pembaharuan. Namun, bagaimana kira kira “benturan” antara Partai Ummat dengan partai berbasis islam lainnya?

image 48

Jadi Harapan Kelompok Muslim?

Sebagai partai yang berbasis Islam, Partai Ummat tentu memandang pemilih dari masyarakat Muslim, kemungkinan besar dari yang cenderung konservatif, sebagai target suara utama. Politik identitas yang diusung, akan membuat partai tersebut dapat menjelma menjadi identitas bagi kelompok kelompok yang demikian..

Terlebih lagi, sebagai kontestan baru dalam pemilu, Partai Ummat dapat memanfaatkan momentum emas, untuk menjadi  ‘kanibal’ dari suara dari partai partai Islam lainnya. Hal ini disebabkan karena umumnya, partai partai Islam memiliki target suara dari kelompok yang sama.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, menyebutkan salah satu alasan kenapa partai berbasis Islam tidak pernah mendapatkan suara besar dalam pemilu ketika era reformasi adalah karena partai-partai tersebut pada dasarnya memiliki target pasar yang sama, yakni orang-orang yang mudah digiring dengan isu sentimen Islam.

Nah, dalam proses ‘kanibalisasi’ tersebut, Partai Ummat bisa saja hadir sebagai partai baru yang menawarkan harapan akan ‘pembaharuan’ dan identitas islam yang lebih kuat. 

Apalagi fenomena yang terjadi di banyak partai Islam lainnya, yang banyak melakukan liberalisasi demi memperluas cakupan suaranya, tak hanya terbatas pada para pemilih muslim. Ini bisa saja jadi peluang besar untuk Partai Ummat.

Selain itu,menurut survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia), partai-partai baru memiliki kemungkinan untuk bersinar pada pemilu yang akan diikutinya. Hal ini juga didorong oleh kebijakan partai tersebut yang mendukung capres populer.

Contohnya Seperti Partai Gerindra, yang mengikuti Pemilu pertamanya dengan mengusung Prabowo Subianto sebagai cawapres dari Megawati Soekarnoputri. Lalu, pada tahun 2014 dan 2019 mengusung Prabowo sebagai capres. Kini, Gerindra menjadi salah satu partai penting dalam kontes pemilu.

Saat ini, Partai Ummat sendiri telah resmi mendukung Anies Baswedan, salah satu capres yang belakangan begitu populer. Terlebih, kesamaan basis dukungan antara Anies dan Partai Ummat dapat memberikan keuntungan sendiri bagi Partai Ummat dalam pemilu.

Apalagi Partai Ummat secara gamblang menyatakan bahwa mereka merupakan politik identitas. Keuntungannya, mereka bisa meraup suara dari kelompok-kelompok yang sesuai dengan politik identitas mereka.

Politik identitas sendiri merupakan sebuah alat politik yang digunakan oleh suatu kelompok dengan agama, suku dan etnis tertentu. Identitas dipolitisasi dengan tujuan melakukan perlawanan atau menunjukkan jati diri mereka. Identitas ini dapat diinterpretasi lebih lanjut agar bisa meraih dukungan dari orang-orang yang merasa memiliki kesamaan tersebut.  

Hal ini tentunya dapat dilihat sebagai keuntungan bagi Partai Ummat, yang dapat memposisikan diri mereka sebagai identitas ‘Muslim’ yang sesungguhnya. Kesan eksklusif yang ditunjukkannya dapat berpotensi meraup suara dari kelompok kelompok Muslim yang tertinggal oleh partai berbasis Islam lain yang beralih haluan menjadi moderat.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengan penerapan kebijakan ini, mungkinkah ada tujuan khusus dari Partai Ummat dalam menghadapi pemilu nanti?

image 49

Partai Ummat Hanya Cari Aman?

Tentunya tidak semua partai baru memiliki perkembangan yang begitu cepat dan pesat, termasuk dalam survei LSI, partai-partai seperti PBB hingga Hanura yang sempat bersaing di pemilu awal mereka, justru kini tidak mampu bersaing dan tidak lolos parliamentary threshold.

Dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan, memang Partai Ummat bisa menjadi identitas dan pilihan bagi kelompok tertentu. Namun, disisi lain itu akan membuat pemilih Partai Ummat tersegmentasi, terpusat hanya pada kelompok Muslim yang cenderung konservatif.

Sehingga, perolehan maksimal suara yang bisa didapat oleh Partai Ummat jadi terbatas. Selain itu, suara-suara tersebut juga masih harus diperebutkan dengan partai-partai berbasis Islam lainnya. 

Selain partai-partai berbasis Islam, banyak kelompok Muslim yang juga mendukung partai nasionalis dan sekuler. Kelompok tersebut utamanya adalah para Muslim yang cenderung liberal dan moderat.

Menilik manuver-manuver yang dilakukan oleh Partai Ummat, rasa-rasanya mereka memang tidak berencana untuk menjadi partai terbesar di Indonesia. Kemungkinan target mereka hanyalah para pemilih Muslim, itupun yang termasuk dalam kelompok konservatif. 

Berkebalikan dengan partai-partai Muslim lainnya yang mulai ‘memoderatkan’ partai mereka, dalam upaya untuk semakin memperbesar cakupan suara mereka, sepertinya Partai Ummat ‘hanya’ berusaha untuk mengincar dukungan dari kelompok kelompok muslim yang konservatif, sebagai basis dukungan mereka.

Namun, Partai Ummat juga perlu berhati hati atas manuvernya, karena posisi mereka yang saat ini telah resmi mendukung Anies sebagai Capres. Anies sendiri telah sejak lama, dan bahkan saat rakernas Partai Ummat, membantah bahwa dia menggunakan politik identitas.

Hal ini tentunya bertolak belakang dengan pernyataan Ketum Partai Ummat,  Ridho Rahmadi, bahwa mereka adalah politik identitas.

Jika mereka terlalu berlebihan, bisa saja yang terjadi justru manuver ini menjadi bumerang bagi perjalanan Anies dalam Pilpres 2024. Anies sendiri telah diusung oleh Koalisi Perubahan, yang didalamnya terdapat partai partai nasionalis seperti Partai Nasdem, sehingga memiliki cakupan suara lebih luas dan variatif.

Jangan sampai perjalanan pemilu Partai Ummat dan capresnya, Anies, malah layu sebelum berkembang. Tentunya hal ini perlu diwaspadai, mengingat persaingan dalam pemilu yang sangat sengit dan ‘mengerikan’.  (R87)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Polemik JIS, Polemik Politik?

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam inspeksinya ke stadion Jakarta International Stadium (JIS) beberapa hari lalu, menyebut bahwa stadion tersebut akan direnovasi karena dianggap tidak memenuhi standar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Meski terlihat sebagai upaya perbaikan yang baik, beberapa pihak justru merasa keputusan ini sarat akan motif politik, terutama  menjelang Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Lantas, motif seperti apakah yang sebenarnya berlaku?