Bagaimana nasib partai Islam di tengah kebangkitan populisme Islam di Indonesia?
Pinterpolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]idak ada yang bisa memungkiri bahwa politik identitas Islam tengah menguat belakangan ini. Peristiwa besar bertajuk Aksi 212 di tahun 2016 lalu disebut-sebut menjadi penanda dari kebangkitan gerakan politik tersebut. Pasca peristiwa tersebut, nyaris semua politisi berusaha untuk merebut perhatian dari massa Islam.
Idealnya, bangkitnya momentum politik Islam itu bisa menjadi keuntungan bagi partai politik Islam atau yang terafiliasi dengan massa Islam. Partai-partai seperti PKB, PKS, PAN, PPP, dan PBB di atas kertas seharusnya bisa panen suara pada Pemilu 2019.
Nyatanya, merujuk pada berbagai survei, partai-partai tersebut justru seperti tidak menikmati momentum tersebut. Tak hanya stagnan, beberapa partai bahkan seperti berdiri di tepi jurang karena terancam tak lolos ke parlemen.
Kondisi partai-partai Islam jelang Pemilu 2019 ini seolah membuka kembali memori lama di mana partai Islam kesulitan meraup suara signifikan. Lalu, mengapa di saat momentum politik identitas tengah meninggi, partai-partai tersebut tetap mengalami stagnasi?
Stagnasi Menahun
Jika menilik pada sejarah, politik Indonesia kerap disebut memiliki dua aliran utama, yaitu nasionalis dan Islam. Sebagai konsekuensi dari hal ini, dikotomi partai nasionalis dan partai Islam jamak dibicarakan dalam politik Tanah Air.
Meski dianggap sebagai salah satu aliran utama, nyatanya partai Islam masih sulit untuk mendongkel popularitas partai nasionalis. Dalam beberapa kali gelaran Pemilu, partai-partai yang mengandalkan basis massa pemilih muslim kerap kali finish di luar tiga besar perolehan suara.
Hasil teranyar misalnya, pada Pemilu 2014, partai-partai tersebut belum mampu merangsek ke posisi tiga besar, apalagi menjadi kampiun. Memang, PKB dan PAN dapat dikatakan sempat mengejutkan dengan perolehan suara mereka, di mana masing-masing mendapatkan 9,04 persen dan 7,59 persen suara.
(1) Yang juara dan yang terhempas. Prospek pertarungan partai politik yang terbaca dalam lima kali survei dalam lima bulan survei nasional LSI Denny JA. Masih tersisa 3 bulan untuk mengubah dukungan. pic.twitter.com/41CJq4IQQ4
— Denny JA (@DennyJA_WORLD) January 9, 2019
Sementara itu, partai-partai Islam lain seperti tenggelam saat berhadapan dengan partai-partai lain. PKS dan PPP harus puas mendapat perolehan suara di kisaran 6 persen, setara dengan Partai Nasdem yang saat itu hadir sebagai pendatang baru. Lain lagi dengan PBB yang bernasib lebih tragis karena mengulangi nasib tak lolos ke parlemen dengan hanya 1,46 persen suara.
Padahal, sebagai negara dengan berpenduduk mayoritas Muslim, partai-partai tersebut seharusnya bisa memobilisasi massa dengan cukup signifikan. Apalagi, mereka memiliki afiliasi khusus dengan kelompok-kelompok atau ormas Islam yang memiliki jejaring kuat di akar rumput.
Jelang Pemilu 2019, partai-partai bercita rasa agama itu tentu berharap nasib mereka dapat berubah. Meski demikian, jika hasil survei pra-Pemilu yang jadi acuannya, partai-partai Islam tetap bukan favorit untuk tembus tiga besar perolehan suara nasional.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA bahkan sudah mewanti-wanti partai Islam jelang Pemilu 2019 nanti karena mereka belum aman dari parliamentary threshold sebesar 4 persen. Berdasarkan survei lembaga tersebut, perolehan suara responden untuk masing-masing partai adalah PKB mendapat 6,2 persen, PKS dengan 4 persen, PPP mendapat 3,7 persen, PAN 2 persen, dan PBB 0,2 persen. Kondisi tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah ironi jika melihatt kondisi politik Indonesia saat ini.
Momentum Populisme Islam
Pada kondisi yang ideal, jika partai-partai Islam harus memiliki momentum kebangkitan, boleh jadi sekarang adalah saat yang tepat. Saat ini sentimen populisme Islam tengah benar-benar menanjak dan kerap mengisi pembicaraan di ruang-ruang publik. Pandangan seperti ini disebutkan oleh banyak penulis, salah satunya oleh Marcus Mietzner.
Sementara menurut Vedi Hadiz, sebagaimana dikutip oleh Hatib Abdul Kadir, populisme Islam sebenarnya adalah sebuah desain untuk menarik banyak pemilih yang loyalitasnya berbasis pada identitas politik, terutama agama dan nasionalisme.
Merujuk pada kondisi tersebut, mobilisasi massa Islam untuk memilih partai Islam seharusnya bisa dilakukan dengan mudah. Secara sederhana, menarik pemilih yang memiliki loyalitas agama tinggi seperti dikatakan Hadiz seharusnya bisa dilakukan oleh partai-partai yang memiliki identitas serupa.
Sejalan dengan hal itu, dari sisi solidaritas, rasa persatuan umat Islam tengah dalam gairah yang tinggi. Aksi 212 pada 2016 mau tidak mau menjadi gambaran utama bagaimana solidaritas masyarakat Muslim Indonesia sedang memuncak.
Sebagai partai Islam, PKS tak pernah ragu utk memperjuangkan aspirasi umat. Sikap PKS jelas dan tegas, tdk pernah abu-abu, selalu membersamai agenda umat dalam bingkai NKRI. Mau bukti? Klik aja -> https://t.co/vsjgZ23qph#2019PilihPKS #AyoLebihBaik pic.twitter.com/iH8FegQ8hF
— art.pks.id (@pksart) January 6, 2019
Solidaritas itu menurut Hadiz memiliki kaitan dengan kondisi sosial ekonomi yang sedang terjadi. Rasa persatuan dalam kadar tertentu bersumber dari narasi jangka penjang tentang penindasan dan marjinalisasi umat, yang kerap dituduhkan kepada kelompok berkuasa.
Di luar perkara politik, masyarakat Indonesia juga tengah mengalami peningkatan gairah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ariel Heryanto misalnya menyebutkan bahwa masyarakat kelas menengah Islam Indonesia tengah mengalami peningkatan dari segi kesalihan.
Jika diperhatikan, gairah masyarakat terhadap hal-hal berbau Islam memang tengah menanjak. Tren hijrah misalnya tengah menjangkiti banyak kalangan, termasuk figur publik. Produk-produk dengan label syariah seperti bank syariah mulai jadi primadona. Selain itu, dahaga masyarakat terhadap majelis-majelis dan pengajian-pengajian juga tengah menanjak.
Hal-hal tersebut sebenarnya bisa menjadi bahan bagi sesuatu yang disebut sebagai marketing morality oleh Hadiz dan Inaya Rakhmani. Pasar masyarakat Islam seharusnya bisa digarap oleh partai-partai Islam yang memiliki identitas serupa.
Kalah Populer
Pada praktiknya, momentum menanjaknya populisme Islam tersebut tidak bisa dengan mudah dikuasai oleh partai-partai Islam. Partai-partai berhaluan sekuler-nasionalis sejauh ini masih merajai survei jelang Pemilu 2019. Padahal, di atas kertas, partai-partai ini seharusnya tergerus oleh kebangkitan populisme Islam tersebut.
Kondisi itu seperti menggambarkan bahwa sentimen populisme Islam bukanlah sesuatu yang bisa dimonopoli satu kubu, termasuk partai Islam. Partai-partai berhaluan nasionalis dalam kadar tertentu tetap bisa bermain dengan sentimen tersebut, sehingga momentum seolah dinikmati semua jenis partai.
Nasib partai Islam di tengah populisme Islam tampaknya tidak akan banyak terbantu Share on XHal itu disebutkan misalnya oleh tim editorial dari Australia National University dalam situs East Asia Forum. Menurut mereka, politisi Indonesia dapat beradaptasi dengan proses Islamisasi di Indonesia. Para elite Indonesia digambarkan sebagai sosok pragmatis sesuai dengan kebutuhan mereka.
Jika diperhatikan, partai-partai nasionalis memiliki figur penting yang mampu mendongkrak suara mereka. Sebagai partai dengan perolehan suara tertinggi, PDIP dan Gerindra sangat terpengaruh pada sosok capres yang mereka usung, yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Tak hanya sekadar mendongkrak suara partai, kedua figur itu dapat dikategorikan ke dalam sosok pragmatis di era Islamisasi seperti disebut di atas.
Baik PDIP dengan Jokowi maupun Gerindra dengan Prabowo tergolong sama-sama berhasil memanfaatkan tren kebangkitan populisme Islam. Jokowi misalnya mulai tak ragu menunjukkan identitas muslimnya dan bahkan menggaet Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. Sementara itu, Prabowo berhasil merebut hati massa pro Aksi 212 dengan menjadi capres hasil Ijtima Ulama mereka.
Di antara partai-partai Islam, tokoh-tokoh seperti Jokowi maupun Prabowo cenderung tidak ada. Umumnya, tokoh-tokoh yang mereka miliki pamornya masih jauh jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh milik partai nasionalis.
Sebenarnya, partai-partai Islam itu juga berusaha untuk menjadi presidentialized party dengan memanfaatkan figur Jokowi atau Prabowo untuk mendongkrak posisi mereka. Akan tetapi, sebagaimana populisme Islam yang manfaatnya harus dibagi, efek ekor jas Jokowi maupun Prabowo juga harus dibagi dan dalam kadar tertentu hanya menguntungkan partai pendukung utama.
Oleh karena itu, untuk dapat memanfaatkan kebangkitan populisme Islam, partai-partai Islam idealnya bisa menghadirkan figur baru setara Jokowi dan Prabowo yang bisa memanfaatkan momentum itu. Jika mereka gagal, bukan tidak mungkin ancaman gagal lolos ke parlemen akan jadi nyata. (H33)