Walhi berencana untuk membentuk Partai Hijau demi mendorong agenda lingkungan dalam dunia birokrasi dan politik Indonesia. Namun partai yang berfokus pada lingkungan sudah pernah ada di Indonesia pada tahun 1998 dan 2012.
PinterPolitik.com
Menurut Dewan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid, Partai Hijau dibutuhkan karena agenda lingkungan masih menjadi agenda pinggiran bagi pemerintah ataupun partai politik (parpol) lainnya. Hal ini juga terkait dengan agenda advokasi Walhi yang dikatakan selalu bersentuhan dengan birokrasi, politik, dan kebijakan pemerintah.
Partai Hijau merupakan istilah yang diberikan kepada partai yang menjadikan isu lingkungan hidup sebagai agenda utama politiknya. Di Indonesia sebenarnya sudah pernah ada partai politik berbau lingkungan.
Ada nama “Partai Hijau” tahun 1998 yang kemudian muncul kembali pada pada 2012 dengan dukungan dari Walhi dan organisasi massa Sarekat Hijau Indonesia.
Sayangnya kiprah kedua parpol ini tidak pernah terdengar dalam perpolitikan Indonesia. Selain itu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga pernah mendeklarasikan diri sebagai Partai Hijau yang memfokuskan diri pada masalah lingkungan hidup.
Namun Walhi yang kembali memunculkan wacana pembentukan Partai Hijau sepertinya menjadi bukti bahwa partai-partai hijau sebelumnya dinilai belum berhasil mendorong agenda lingkungan ke tengah masyarakat.
Tapi, apakah memang Indonesia membutuhkan Partai Hijau?
Apa Urgensinya?
Di laut, Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik kedua terbesar di dunia. Selain itu 36 persen terumbu karang Indonesia rusak dan terus bertambah. Di udara, kualitas udara Jakarta belakangan ini menjadi yang terburuk di dunia.
Di darat, 24 persen sampah Indonesia tidak terkelola, hutan Pulau Sumatera tinggal 24 persen, dan tahun depan diperkirakan Pulau Kalimantan akan kehilangan 75 persen hutannya.
Selain kondisi-kondisi di atas, Indonesia masih memliki banyak permasalahan lingkungan yang harus segera ditangani.
Lalu, kalau masalahnya lingkungan, mengapa solusinya parpol?
Dalam sebuah negara demokrasi, parpol memiliki fungsi dasar untuk mengumpulkan kepentingan serta aspirasi masyarakat, mengubahnya menjadi kepentingan bersama, dan membuatnya menjadi suatu legislasi dan kebijakan.
Peran parpol juga dinilai tidak dapat digantikan oleh kelompok kepentingan lainnya. Parpol mengangkat isu-isu yang ada di masyarakat, menjadikannya sebagai agenda kampanye yang kemudian ditawarkan lagi kepada masyarakat dalam bentuk solusi kebijakan guna mengatasi isu tersebut.
Ketika berhasil masuk ke DPR, parpol memiliki kemampuan untuk mengajukan, menyetujui atau tidak, serta melakukan pengawasan terhadap suatu Undang-Undang.
Lalu, mengapa para aktivis lingkungan tidak memanfaatkan saja parpol yang sudah ada?
Jawaban dari pertanyaan ini berkaitan dengan pandangan negatif para aktivis lingkungan terhadap dunia perpolitikan Indonesia saat ini.
Menurut laporan yang berjudul Coalruption, beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan berpendapat bahwa rusaknya alam Indonesia di banyak wilayah adalah akibat aktivitas pertambangan batu bara yang punya pertalian kepentingan antara perusahaan, birokrat, dan politik di level pemerintah pusat maupun daerah.
Dalam laporan tersebut, disebutkan beberapa nama petinggi partai dan pejabat pemerintahan yang memiliki hubungan kuat atau bahkan memiliki perusahaan batu bara-nya sendiri yang merusak lingkungan.
Terpaparnya para elite politik dengan bisnis yang menghancurkan lingkungan inilah yang berpotensi menimbulkan conflict of interest sehingga para elite politik tidak maksimal dalam mengawal kebijakan pelestarian lingkungan.
Pertalian antara bisnis dan politik yang merusak lingkungan juga pernah ramai dibicarakan publik dengan munculnya film dokumenter Sexy Killers.
Film yang dipublikasikan jelang Pilpres 2019 ini memperlihatkan adanya permainan politik di balik rusaknya alam Indonesia. Bahkan nama-nama seperti Presiden Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan, Prabowo Subianto, hingga Erick Thohir turut disebut dalam film tersebut.
Luhut sendiri juga menjadi salah satu nama yang beberapa kali dikritik oleh Walhi. Keduanya saling kritik mengenai kelapa sawit dan terkait ancaman Luhut bahwa Indonesia akan keluar dari Paris Agreement.
Walhi bahkan membandingkan Luhut dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang sama-sama mengorbankan lingkungan demi keuntungan korporasi. Berbagai perusahaan milik Luhut juga dituduh oleh Walhi mencemari lingkungan dan merampas hak petani.
Kembali ke kinerja parpol dan urgensi Partai Hijau, hal serupa juga dikatakan oleh Doyle dan McEachern dalam bukunya yang berjudul Environment and Politics.
Mereka berpendapat bahwa parpol konvensional tidak dapat diandalkan untuk mengatasi masalah lingkungan. Parpol konvensional dan pemerintah pada umumnya dinlai lebih mementingan pertumbuhan ekonomi, meskipun sudah tersedia solusi-solusi yang dapat mengakomodir baik kelestarian alam maupun kebutuhan ekonomi secara bersamaan.
Untuk itulah dibutuhkan sebuah partai baru yang – baik pendanaan partai maupun kadernya – tidak terpapar oleh bisnis yang merusak lingkungan, sehingga dapat benar-benar memperhatikan isu tersebut.
Di Jerman, Partai Hijau sudah muncul sejak tahun 1980an dengan nama Die Grunen. Partai ini bahkan mampu meraih hingga 20 persen suara pada pemilihan tahun ini. Di Australia, partai The Australian Greens sudah mendapat kursi di parlemen sejak 1996.
Namun, semangat untuk mendorong isu lingkungan hidup di pemerintahan tidak selalu berjalan sukses.
Di AS, kandidat presiden dari Partai Hijau hanya mendapat 1-3 persen suara. Di Malaysia, Parti Hijau Malaysia sudah terbentuk sejak 2010, namun hingga saat ini hanya menjadi gerakan online lingkungan saja.
Mission Impossible?
Seperti parpol pada umumnya, sukses tidaknya Partai Hijau bergantung pada berapa suara yang bisa ia dapatkan. Hal ini berhubungan dengan seberapa penting isu lingkungan hidup yang menjadi “jualan” utama Partai Hijau di mata masyarakat.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, isu ekonomi jauh lebih penting dibandingkan isu lingkungan di mata masyarakat Indonesia. Hanya 1,6 persen responden yang menjadikan isu kerusakan lingkungan hidup sebagai masalah utama Indonesia saat ini.
Persepsi masyarakat ini juga menjadi penyebab sedikitnya parpol peserta Pemilu 2019 yang mengangkat isu lingkungan dalam agenda kampanyenya. Parpol tidak akan memprioritaskan isu lingkungan jika basis pemilihnya sendiri tidak menuntut hal tersebut.
Grant dan Tilley, dalam artikelnya yang berjudul “Explaining Variation in the Success of Green Parties”, juga mengatakan hal serupa. Partai Hijau cenderung hanya sukses di negara dengan tingkat kemakmuran tinggi dan isu lingkungan yang nyata.
Hal ini disebabkan karena masyrakat negara tersebut sudah tidak lagi terfokuskan pada hal-hal konvensional seperti pertumbuhan dan distribusi ekonomi. Mereka sudah mengejar tujuan yang lebih “tinggi”, yaitu kualitas hidup yang sebaik mungkin.
Selain permasalahan elektoral, sumber daya yang dibutuhkan untuk mengkampanyekan isu lingkungan juga menjadi hambatan. Ongkos politik ini diakui Walhi menjadi alasan gagalnya Partai Hijau untuk mengikuti kontestasi politik sebelumnya.
Di Indonesia, membentuk suatu parpol dan mengikuti Pemilu memerlukan dana dan sumber daya manusia yang besar.
Menurut peneliti Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem), Maharddhika, biaya tinggi ini salah satunya berasal dari persyaratan harus memiliki kepengurusan di semua provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan. Ditambah biaya saksi, penggerakan kader, dan lainnya, ongkos politik di level provinsi bahkan bisa mencapai Rp 100 miliar.
Apakah Jokowi memiliki komitmen terhadap isu lingkungan? Sejauh mana isu ini berjalan di eranya?
Simak tulisan in-depth "Janji Politik Lingkungan, Sudahkah Terpenuhi?" selengkapnya di https://t.co/maUffwQ0fZ pic.twitter.com/pxKGBlktzX
Terlepas dari keinginan Walhi untuk masuk secara langsung ke dunia politik, hal yang sepertinya lebih penting untuk terlebih dahulu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan menghubungkan isu ekonomi, sebagai isu paling populer di Indonesia, dengan isu lingkungan hidup.
Misalnya dengan membuktikan bahwa naiknya harga sembako berkaitan dengan kegagalan panen petani dan berkurangnya hasil tangkapan ikan karena terjadi pencemaran lingkungan di persawahan dan laut.
Peristiwa bencana alam seperti longsor dan banjir juga dapat dihubungkan dengan kerusakan alam karena sering kali bencana tersebut terjadi karena aktivitas pertambangan dan penebangan hutan.
Pada akhirnya, wacana pendirian Partai Hijau menarik untuk terus diikuti. Jika benar-benar berhasil mengikuti Pilkada ataupun Pemilu, kehadiran Partai Hijau dapat menjadi alternatif bagi masyarakat, khususnya bagi mereka yang menganggap isu lingkungan sebagai kepentingan utama.
Selama ini partai-partai di Indonesia dilihat oleh beberapa pengamat, didominasi oleh “kartel” parpol yang menyebabkan sangat sedikitnya perbedaan ideologi dan kebijakan antara satu partai dengan partai lainnya.
Hal ini menyebabkan masyarakat Indonesia hanya disediakan dua pilihan: memilih partai nasionalis atau partai Islami. Hadirnya Partai Hijau tentu akan memberikan lebih banyak pilihan untuk masyarakat.
Berhasil duduknya aktivis lingkungan di kursi pemerintahan bisa saja membuka “Sexy Killers-Sexy Killers” lainnya di Indonesia. (F51)